tag:blogger.com,1999:blog-53178153684986049002024-02-08T02:40:39.444-08:00Kisah NyataKumpulan Kisah Nyatabloggerhoodshttp://www.blogger.com/profile/10478084473054067843noreply@blogger.comBlogger58125tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-275806285782641912012-03-14T20:15:00.000-07:002012-03-14T20:15:00.537-07:00Cerita Duka di Balik Lembaran Riyal (5-Tamat)<b>Aku Terus Berlari di Kegelapan Malam</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Rukmini yang berada di rumah Abdullah merasa sangat terkekan dan tidak betah. Di samping gaji yang diterimanya tidak sesuai dengan perjanjian, ia pun sering dimarahi, disiksa, bahkan dilecehkan. Bertahankan Rukmini dengan keadaan itu? Inilah akhir kisahnya yang ditulis Kuswari. Semoga dapat dijadikan cerminan.<br />
<br />
RUMAH istri muda Abdullah sangat besar berlantai tiga. Aku di rumah itu sendirian sebagai pembantu rumah tangga. Pekerjaanku sangat berat, apalagi di rumah itu ada 7 orang anaknya yang selalu minta dilayani. Ini membuat aku benar-benar kelelahan. Pekerjaanku tidak sesuai dengan gaji yang kuperoleh. Aku hanya menerima satu juta lima ratus ribu rupiah, padahal dalam perjanjian dengan perusahaan akan menerima dua juta.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Aku tidak banyak protes, aku terima saja uang sebesar itu meski sangat mendongkol. Aku mencoba untuk bersabar dan tidak banyak bicara, bekerja seperti biasa. Namun yang membuat aku cemas dan khawatir adalah kelakuan Husen yang memperlihatkan gelagat tidak baik. Husen pernah beberapa kali masuk ke dalam kamarku di tengah malam, di saat di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Aku berontak dan melawan sekuat tenaga.<br />
<br />
Aku hampir saja putus asa menghadapi lelaki yang sudah kemasukan setan. Aku melawan dengan tangan yang meronta-ronta serta kaki yang menendang. Namun ia bisa menghindar.<br />
v Husen tidak mau melepaskan buruannya begitu saja, apalagi dia tahu bahwa badanku kecil sehingga semakin bernafsu untuk menaklukkanku. Tenaga Husen memang kuat.<br />
<br />
Kulihat matanya dan wajahnya memerah, dia seolah kucing kelaparan yang akan menerkam seekor tikus. Napasnya ngos-ngosan dan jantungnya berdetak kencang, pertanda nafsu setannya sedang bergemuruh dalam dadanya.<br />
<br />
Aku meronta dan menjerit-jerit saat Husen semakin ganas merangkulku dan memaksa aku melayani nafsu setannya. Aku hampir terdesak, tenaganya begitu kuat dan tak sebanding denganku. Napasku sudah sesak, aku sudah pasrah menghadapi tekanan Husen yang begitu kuat. Aku berusaha untuk melepaskan diri. Mendadak aku mempunyai kekuatan ketika kakiku berontak, menendang alat vital Husen sekeras-kerasnya. Dia berteriak kesakitan, matanya mendelik menahan sakit.<br />
<br />
Segera saja aku berdiri saat melihat Husen meringgis. Aku bergegas lari keluar kamar. Untung saja, kamar tidak dikunci sehingga aku bisa leluasa keluar kamar.<br />
<br />
Tanpa pikir panjang aku segera saja keluar rumah di tengah malam. Aku sudah tidak memedulikan nasib yang kelak akan menimpa diriku. Lebih baik segera melarikan diri, keluar dari rumah setan yang akan membahayakan diriku. Aku bertekad akan pulang kampung, yang penting aku selamat. Syukur kalau aku bisa bekerja lagi, namun nampaknya aku tidak ingin lagi bekerja di Arab. Aku benar- benar kapok menjadi pembantu. Lebih baik hidup di kampungku sendiri, meski paspasan tetapi aku tidak merasa tertekan.<br />
<br />
Aku berlari meninggalkan rumah majikan. Suasana masih gelap di sekelilingku, namun aku tidak merasa takut, sebab sejak beberapa hari yang lalu aku sebenarnya sudah nekat untuk keluar dari rumah majikan. Aku benarbenar merasa berada di dalam neraka jahanam.<br />
<br />
Kehidupaku merasa terancam. Aku sama sekali tidak ingin kembali rumah yang terkutuk itu. Aku ingin pulang ke kampung halaman, aku ingin hidup sebagaimana layaknya gadis-gadis yang ada di kampungku.<br />
<br />
Ditolong mahasiswa<br />
<br />
Aku terus melangkahkan kaki di sebuah daerah yang sangat sepi. Ketika aku sedang terus berjalan, tiba-tiba aku terkejut sebab di depan ada dua orang lelaki yang sejak tadi mengawasiku. Aku takut menghadapi orang yang baru kukenal, apalagi keadaan yang sepi.<br />
<br />
Aku hanya bisa berdoa dan pasrah menghadapi dua orang lelaki yang tidak aku kenal. "Kamu mau kemana?" tiba-tiba salah seorang diantara mereka bertanya dengan bahasa Indonesia, tentu saja aku bahagia, berarti orang ini sama-sama berasal dari Indonesia.<br />
<br />
"Tolonglah, Pak. Aku mau kabur dari rumah majikan, mereka sangat jahat dan akan memperkosaku," kataku memelas dan berderai air mata.<br />
<br />
"Allahu Akbar!" teriak salah seorang lagi seraya mendekatiku dan menggelengkan kepada manakala melihat mukaku yang bengkak bekas pukulan majikan.<br />
<br />
"Kami juga tenaga kerja Indonesia yang sama-sama sedang mencari nafkah di negeri Arab ini, kami kebetulan di sini sedang belajar," ujarnya.<br />
<br />
Aku gembira mendengar keduanya yang ternyata mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Mereka rupanya kasihan melihatku, lalu berusaha membantuku dan membawa aku ke KBRI.<br />
<br />
Berkali-kali aku mengucapkan terima kasih atas kebaikan dua orang lelaki yang berasal dari Jawa Timur itu. Mereka pun memberi nasihat agar aku pulang saja ke Indonesia, sebab bekerja di Arab sebagai pembantu banyak risikonya. Aku mengangukkan kepala akan menuruti apa yang mereka ucapkan.<br />
<br />
Rupanya di KBRI tidak hanya aku yang mengalami tindakan yang tidak senonoh itu.<br />
<br />
Beberapa orang pembantu lain pun mengalami nasib yang sama, bahkan ada yang lebih parah dariku. Aku menarik napas panjang, beruntung aku sudah berada di KBRI sehingga aku bisa mempersiapkan diri untuk pulang kampung. Pihak kedutaan mempunyai perhatian terhadap kasus yang dihadapi olehku, maka mereka berusaha untuk membantu.<br />
<br />
Untuk sementara aku tinggal di KBRI sambil menunggu kepulangan ke Indonesia. Aku berterima kasih atas pelayanan yang diberikan mereka yang sangat perhatian sekali dan berkeinginan untuk membantuku.<br />
<br />
Banyak hikmah yang kuperoleh selama aku berada di KBRI, sebab berbagai masalah tenaga kerja wanita maupun laki-laki, ada saja yang melaporkan ke kedutaan. Berbagai masalah muncul yang sebagian besar menimpa kaum perempuan.<br />
<br />
Beberapa orang yang tinggal bersamaku, ternyata mengalami kasus yang jauh lebih mengerikan, ternyata temanku satu kamar itu diperlakukan bagaikan binatang oleh majikan di Arab.Bahkan dia telah melahirkan seorang bayi akibat pemerkosaan yang dilakukan oleh majikannya. Aku hanya berurai air mata ketika mendengar kisahnya yang sangat memilukan dan menyentuh hati. Semoga tidak ada lagi TKW yang diperlakukan bagaikan binatang.<br />
(Tamat)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-28459138764192444492012-03-13T20:14:00.000-07:002012-03-13T20:14:00.560-07:00Cerita Duka di Balik Lembaran Riyal (4)<b>Aku Diperlakukan Bagai Sapi Perahan</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Rukmini yang sempat terkurung di sebuah PJTKI di Jakarta, akhirnya berangkat juga ke Saudi Arabia. Dalam benaknya terbayang kekayaan yang melimpah. Tidak lama lagi ia akan segera menjadi orang kaya seperti Diana. Ia begitu tekagum-kagum ketika menginjakkan kakinya di Kota Riyadh. Sukseskah cita-cita Rukmini? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis oleh Kuswari.<br />
<br />
PERJALAN menuju majikanku lumayan jauh. Mataku tak berkedip melihat-lihat keadaan di Ibukota Riyad. Aku kagum pada keadaan kota yang sangat megah dan mewah. Beberapa kali aku menggelengkan kepala. Rasanya seperti mimpi. Akhirnya aku bisa berada di Arab Saudi.<br />
<a name='more'></a><br />
Ketika tiba di rumah majikan, aku seperti tidak percaya. Rumahnya sangat besar dan luas. Halaman saja masuk 5 unit kendaraan. Di dalamnya, kursi-kursi yang besar dan empuk. Aku diterima oleh ibu majikan yang menyuruhku untuk mulai bekerja. Aku sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, jadi aku hanya mengangukkan kepala saja.<br />
<br />
Tidak hanya aku yang bekerja sebagai pembantu di rumah Abdullah itu, tetapi juga ada pembantu yang sudah lama, namun usianya sudah tua. Dia sudah hampir 10 tahun bekerja sebagai TKW di Saudi Arabia. Dari Ibu Saodah namanya. Aku banyak belajar tentang kehidupan di lingkungan rumah yang baru itu.<br />
<br />
"Kamu harus hati-hati, soalnya Pak Abdullah mempunyai anak laki-laki yang banyak. Mereka kadang-kadang kurang ajar dan suka memperlakukan kita seenaknya," kata Ibu Saodah.<br />
<br />
"Memang Ibu pernah mengalami?" tanyaku penasaran.<br />
<br />
"Aku sudah terbiasa lagi, habis bagaimana," katanya.<br />
<br />
Sesaat aku jadi termenung, kekhawatiran terlintas dalam benakku. Bagaimana kalau mereka macam-macam kepadaku, sementara aku hanya seorang perempuan kampung yang belum berpengalaman. Aku mencoba untuk bersikap tenang mendengar kabar dari Ibu Saodah.<br />
<br />
Aku menjalani saja pekerjaan sebagai pembantu di rumah Abdullah. Masa adaptasi selama seminggu membuat aku tidak betah, apalagi kalau menghadapi anak laki-laki Abdullah yang usianya baru menginjak remaja, mereka kerapkali kurang ajar, bahkan seringkali menggoda dan menganggu.<br />
<br />
Aku belum begitu mengerti dengan bahasa Arab, sehingga terkadang terjadi kesalahpahaman yang membuat mereka seringkali marah-marah. Aku bingung apa yang diinginkan mereka, sebab aku belum mengerti apa yang mereka katakana. Untung saja Ibu Saodah banyak memberikan bantuan, sehingga aku bisa sedikit demi sedikit memahami apa yang diinginkan mereka.<br />
<br />
Adat orang Arab sungguh jauh berbeda dengan kita, mereka kerap menyepelekan kita, bahkan kalau ada keinginan untuk makan di waktu malam, mereka akan membangunkan kita meskipun sedang tidur lelap. Pokoknya tidak ada alasan untuk mengatakan tidak, apalagi membantah keinginan mereka.<br />
<br />
Aku paling tidak suka pada laki-laki yang bernama Amir. Dia yang membuat aku stres dan aku sangat membenci lelaki itu. Dia sering mencuil dan menggerayangi payudaraku. Aku marah karena merasa harga diriku dilecehkan. Pernah ketika aku sedang memasak di dapur, tiba-tiba Amir datang dan langsung memegang payudaraku. Ku maki dan ku marahi. Tapi dia malah tertawa-tawa sambil berlari.<br />
<br />
Dibandingkan dengan anak lalaki yang lain, Amir ternyata lebih berani dan sering mengintipku kalau aku sudah masuk ke kamar atau kalau akau sedang berada di kamar mandi. Aku mulai curiga pada perilaku Amir yang nampaknya mempunyai dorongan syahwat yang besar. Aku menjadi takut dan kerapkali aku meminta bantuan kepada Ibu Saodah.<br />
<br />
"Si Amir itu memang lelaki kurang ajar. Pernah juga kepada ibu dia berperilaku begitu, namun pernah suatu kali aku pukul alat vitalnya, sehingga dia kesakitan, aku tantang untuk berkelahi sambil ku todong dengan pisau tajam. Sejak saat itu, dia kapok," ujar Ibu Saodah.<br />
<br />
"Apakah aku juga harus begitu?" tanyaku.<br />
<br />
"Ya, kalau memang itu jalan terakhir. Pokoknya kita lawan saja."<br />
<br />
Aku mengangguk. Kalau begitu aku harus mempersiapkan pisau dapur yang tajam, untuk menakut-nakuti si Amir itu. Saran Ibu Saodah aku jalankan. Aku menyimpan pisau dapur tidak jauh dari jangkauan. Jadi kalau si Amir datang dan akan memegang payudaraku, aku harus secepat kilat menyambar pisau tajam dan mengancam. Esok aku akan melaksanakannya.<br />
<br />
Namun besoknya aku tidak bertemu dengan dia, karena dia pergi ke luar kota untuk menyelesaikan tugas sekolah. Dia memang seorang pelajar, yang usianya tidak akan jauh berbeda denganku. Hanya saja badannya besar dan kulitnya agak hitam.<br />
<br />
Bekerja sebagai pembantu di rumah Abdullah, aku sangat tertekan dan tidak memiliki kebebasan. Mereka menyerahkan tanggungjawab urusan dapur kepadaku dan Ibu Saodah. Kami bekerja siang malam, tiada henti. Terkadang aku merasa capai. Namun aku salut pada Ibu Saodah yang selalu mendorongku untuk sabar dan tabah menghadapi semua ini.<br />
<br />
"Ibu juga sebenarnya sudah malas bekerja di sini, namun karena mereka melihat ibu paling lama dan sudah mempercayai sepenuhnya, maka ibu berusaha untuk bekerja sebaik-baiknya. Ya memang, kita harus sabar bekerja di Arab Saudi ini," katanya.<br />
<br />
Aku kagum padanya. Ternyata memiliki keteguhan jiwa yang luar biasa. Meski usianya sudah 50 tahun, namun tenaganya masih kuat. Beruntung aku bisa bersama-sama dengannya, sebab aku bisa belajar tentang kehidupan orang-orang Arab, terutama lingkungan keluarga Abdullah.<br />
<br />
Kukira akan tetap bersama-sama dengan Ibu Saodah berada di rumah itu, namun belum sebulan aku disuruh tinggal di rumah istri muda Abdullah. Aku berharap, selama tinggal dengan istri muda Abdullah tidak terlalu lelah bekerja. Pekerjaanku sebenarnya tidak hanya memasak di dapur, tetapi juga mencuci piring, membersihkan rumah, mencuci pakaian dan menyetrika. Lumayan sangat capai.<br />
<br />
Istri muda Abdullah mempunyai anak yang kelakukannya mirip dengan si Amir, nahkan lebih kurang ajar. Namanya Husen. Selama berada di rumah itu, aku benar-benar muak melihat wajahnya, sebab ia melihatku bagaikan kucing yang akan menerkan tikus. AKu betul-betul sangat ketakutan.<br />
(Bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-40133419211943289352012-03-12T19:51:00.000-07:002012-03-12T19:51:00.204-07:00Cerita Duka di Balik Lembaran Riyal (3)<b>Tiga Bulan Aku Terkurung di Wisma PJTKI</b><br />
SEBELUMNMYA diceritakan Rukmini nekat melamar sendiri ke sebuah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia di Jakarta karena saking inginnya menjadi orang kaya. Bahkan dia pun tidak mengatakan kepada orangtuanya tentang niatnya pergi ke Arab Saudi.Bagaimana perjalanan Rukmini selanjutnya? Inilah kisahnya yang ditulis Kuswari. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
SELESAI menandatangani perjanjian kerja, aku disuruh menempati ruangan nomor 20. Bayangan yang terlintas dalam benakku, wisma yang ada di perusahaan ini cukup untuk ditempati 5 atau 10 orang. Namun ketika aku berjalan di antara beberapa ruangan, aku kaget bukan main karena banyak sekali wanita yang tinggal di situ, bahkan ada pula yang usianya masih sangat muda, mungkin lulusan SD.<br />
<a name='more'></a><br />
Setiap ruangan diisi tidak kurang 50 orang dan tidur hanya beralaskan tikar dengan bantal dari kantong atau cukup dengan kardus yang ditutup kain. Suasana sangat sumpek dan ramai. Kulihat beberapa orang sedang bercakap-cakap, bahasa campur; ada bahasa Sunda, Jawa, Batak, dll. Mereka berasal dari berbagai daerah yang sama-sama ingin mengadu nasib di luar negeri.<br />
<br />
Ruangan itu cukup besar juga. Berukuran sekitar 15 x 15 meter persegi. Lantainya berkeramik warna putih. Ada kipas angin yang selalu menyala dan membuat Suasana tidak terlalu gerah. Setiap meter di ruangan itu sudah diisi oleh beberapa orang berasal dari tempat tinggalnya yang sama. Mereka berkelompok antara 4 sampai 6 orang dan terlihat sedang serius bercakap-cakap. Sebagian lagi ada yang sedang menyeterika baju dan membereskan piring bekas makan siang.<br />
<br />
Ada 2 ruangan kamar kecil yang digunakan oleh seluruh penghuni yang tinggal di situ. Kulihat ada beberapa yang berdiri di kamar kecil, mungkin sedang menunggu giliran masuk ke kamar kecil.<br />
<br />
Beberapa orang yang tadi berada di ruangan bersamaku, terlihat berada di sudut, aku mendekati seorang wanita yang tadi sempat saling sapa. Dia menganggukkan kepala ketika aku mendekatinya. Kami pun mengobrol.<br />
<br />
Tinggal di wisma yang sumpek, pengap, dan kadangkala makan seadanya membuatku merasa tidak betah berlama-lama berada di situ, namun aku berusaha bertahan sebab perusahaan melarang setiap calon pekerja untuk meninggalkan wisma. Mereka selalu menjanjikan bahwa tidak lama lagi akan ada visa untuk tenaga baru. Memang sekali memberangkatkan tidak kurang 30 orang. Kalau ada rombongan yang berangkat, suasana di wisma tidak seramai biasanya. Terkadang sepi, hanya ada beberapa orang saja yang tinggal. Tapi 3 atau 4 hari kemudian datang lagi calon pekerja yang baru.<br />
<br />
Aku sudah jenuh dan berniat akan pulang kampung, karena selama tinggal 3 bulan di wisma belum ada tanda-tanda akan berangkat bekerja. Namun lagi-lagi perusahaan menghalang-halangi, bahkan mereka minta ganti rugi selama aku tinggal di wisma itu.<br />
<br />
"Sabar, nanti juga kamu berangkat!" kata seorang petugas yang berwajah hitam dan staf perusahaan urusan tenaga kerja.<br />
<br />
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menarik napas panjang. Betapa tidak jenuh dan membosankan berada di wisma; kegiatanku hanya duduk-duduk, mencuci baju, membersihkan wisma, makan, minum, belajar sebentar di ruangan yang ada di situ, lalu kembali ke wisma. Persis seperti berada di tahanan. Aku berusaha menahan kejenuhan dan kebosanan selama berada di wisma. Makanan di sini ala kadarnya, terkadang hanya dengan tahu atau tempe saja sudah untung, daripada sama sekali tidak makan. Pihak perusahaan menyediakan makanan seadanya. Siapa pun tidak boleh protes dengan kondisi seperti itu. Satpam yang selalu mengawasi dan menjaga di wisma itu akan segera menegur dan memarahi.<br />
<br />
Akhirnya berangkat<br />
<br />
Waktu yang ditunggu tiba juga. Bukan main gembiranya ketika aku menerima visa yang disitu tercantum namaku, lengkap dengan fotonya. Namun pimpinan perusahaan mengatakan bahwa gajiku dipotong 50% karena aku telah dibantu oleh perusahaan serta untuk membayar selama aku tinggal di wisma. Aku tak bicara sepatah kata pun, aku hanya mengangguk.<br />
<br />
Esok harinya aku terbang dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta tepat pukul 08.00 WIB, menuju Saudi Arabia. Dalam benakku bayangan indah kembali menari-nari. Sesekali aku tersenyum sendiri membayangkan akan menjadi orang yang kaya dan bisa membeli tanah dan rumah di kampungku.<br />
<br />
Ketika berada di pesawat, aku seperti tidak percaya pada keadaan diriku. Beberapa kali aku mencubit tanganku sendiri. Aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Aku akhirnya bisa meninggalkan tanah airku sendiri.<br />
<br />
Tiba di bandara internasional, aku terkagun-kagum dengan bangunan yang ada di sekelilingnya. Aku terheran-heran dengan ibukota Saudi Arabia, karena suasana sangat ramai dan sibuk sekali.<br />
<br />
Di bandara aku dijemput oleh salah seorang petugas di sana. Kuperlihatkan data-dataku ke petugas yang membawaku. Lalu petugas yang berbadan agak gemuk dan berjengot itu membawaku ke sebuah sedan. Baru pertama kali ini aku bisa duduk di kursi mobil mewah empuk.<br />
(bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-40606521090156232972012-03-11T19:47:00.000-07:002012-03-11T19:47:00.132-07:00Cerita Duka di Balik Lembaran Riyal (2)<b>Aku Nekat Melamar Sendiri ke Jakarta</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Rukmini merasa iri melihat kawannya, Diana, yang mendadak kaya raya setelah pergi ke Saudi Arabia. Padahal Diana belum lama bekerja di sana. Sedangkan dia yang sudah bertahun-tahun menjadi buruh pabrik, hidupnya tetap berada di bawah garis kemiskinan dengan gaji sangat kecil. Timbul niat dalam hatinya untuk mengikuti jejak Diana. Nah, berhasilkan Rukmini? Ikuti lanjutan kisahnya yang ditulis Kuswari. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
IMPIANKU menjadi orang kaya terus menari-nari dalam benakku, apalagi ketika aku membayangkan dalam tiga tahun aku akan bisa membeli rumah dan sawah. Lalu aku hidup berlimpah uang. Uang itu kusimpan di bank untuk bekal di masa yang akan datang. Jika terbayang impian itu, aku suka tersenyum sendiri.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Rencanaku sudah bulat untuk segera pergi ke Jakarta dan mendatangi alamat yang sudah kumiliki itu. Kedua orangtuaku tidak curiga ketika aku mengatakan akan mencari pengalaman dan bekerja di sana.<br />
<br />
"Kenapa kamu mendadak begitu mau ke Jakarta? Memangnya di sana tinggal dengan siapa?" tanya ibuku sambil menatap tajam.<br />
<br />
"Pokoknya Ema dan Apa jangan khawatir, sebab aku ada teman di sana yang siap memberikan pekerjaan dengan gaji yang besar!" jawabku.<br />
<br />
"Bukan itu masalahnya. Kamu kan wanita. Kamu harus hati-hati, soalnya Jakarta itu berbeda dengan di daerah kita!"<br />
<br />
"Doakan saja, Ma, semoga aku menjadi orang yang sukses di Jakarta dan pulang ke kampung halaman bisa membeli rumah dan sawah," kataku optimis.<br />
<br />
Ayah dan ibuku tak bisa berbuat banyak saat diberitahu aku akan ke Jakarta untuk bekerja. Aku berusaha meyakinkan mereka dengan mengatakan kalau di Jakarta aku sudah mempunyai kenalan yang bisa membantuku. Ayah hanya menatapku dengan wajah diliputi kecemasan ketika aku berpamitan padanya. Aku bisa memaklumi, dia sangat polos dan tidak banyak bicara.<br />
<br />
Aku melangkahkan kaki keluar rumah dengan perasaan berkecamuk tak menentu. Dalam benakku terbayang kalau aku kelak akan menjadi orang yang kaya seperti Diana. Akan kutunjukkan pada orang kampungku hasil kerja kerasku di Saudi Arabia. Aku yakin bisa menjadi orang yang patut diperhitungkan.<br />
<br />
Ketika bus melaju meninggalkan terminal, hatiku pun berdebar-debar tak karuan. Aku hanya memegang alamat perusahaan yang sudah kusimpan di tasku. Kukira tidak sulit alamat itu, apalagi ada nomor teleponnya. Kuharap selama menuju alamat perusahaan itu, aku tidak mengalami kesulitan.<br />
<br />
Sebagai orang yang baru pertama kali ke Jakarta, aku dibuat bengong menyaksikan gedung-gedung yang menjulanng tinggi serta jalan layang yang berliku-liku. Sesaat aku hanya terpaku berada di Jakarta. Benar-benar luar biasa keadaan di Jakarta. Hiruk pikuk terasa bergema ketika aku turun di Terminal. Banyak pedagang asong yang menawarkan jajanan, serta calo yang juga menawarkan kendaraan untuk disewa.<br />
<br />
Aku tidak menghiraukan semua yang ada di sekelilingku. Aku bergegas mencari wartel, sebab kalau aku menanyakan ke operator perusahaan yang aku tuju, mereka pasti akan memberikan informasi yang jelas dan lengkap. Benar saja ketika aku menanyakan harus naik kendaraan apa dan berhenti dimana, operator di kantor menjelaskan secara rinci dan aku disuruh untuk menemui Pak Beni.<br />
<br />
Setelah semuanya jelas, aku bergegas naik kendaraan sesuai dengan informasi yang aku peroleh. Kendaraan berwarna coklak dengan nomor 102. Aku pun naik angkutan kota. Tidak lama perjalanan, aku sudah sampai di sebuah perusahaan yang cukup besar. Di situ ada plang dengan hurup yang jelas sekali.<br />
<br />
Seorang satpam menyambutku saat aku menanyakan Pak Beni. Satpam itu mencatat nama dan alamatku. Lalu Dia menyuruhku masuk ke ruangan. Di situ ternyata sudah banyak pula wanita yang hampir seusiaku denganku. Tidak kurang 10 orang mereka tengah duduk menunggu panggilan. Aku pun duduk di kursi yang sudah tersedia disitu. Ruangan itu tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung 10 orang. Kursi yang ada di situ, bermerk chitos yang terlihat sudah agak rusak. Ada tulisan di dinding "Selamat Datang di Perusahaan Kami". Jam dinding tertempel di dekat pintu masuk ke ruangan pimpinan. Waktu sudah menunjukkan jam 14.00.<br />
<br />
Dilihat dari wajah dan bicaranya, aku tahu mereka semuanya berasal dari Jawa. Usianya bahkan ada yang lebih muda dariku. Aku hanya mendengarkan dan memperhatikan apa yang sedang mereka perbincangkan. Namun aku bingung, sebab tak aku pahami maksudnya. Mereka menggunakan bahasa Jawa yang medok sekali.<br />
<br />
Seorang demi seorang, mereka dipanggil masuk ke dalam. Aku mendapat giliran yang terakhir. Lumayan kesal juga, namun aku harus sabar. Mereka yang sudah dipanggil tidak keluar lagi. Aku tidak tahu, mereka ke mana? Mungkin di kantor itu ada wisma untuk menetap, pikirku. Aku penasaran, ingin tahu keberadaan kantor itu.<br />
<br />
Ketika tiba giliranku, aku segera berdiri dan melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan yang tidak terlalu jauh dari ruangan tamu. Aku berhadapan dengan seorang lelaki yang berusia kira-kira 40 tahunan. Wajahnya bulat dan sedikit gemuk. Kulitnya agak hitam, namun dia sangat ramah, murah senyum. Aku merasa betah ketika berhadapan dengan lelaki itu. Apalagi ketika menanyakan tentang identitas aku dan maksud serta tujuan aku datang ke perusahaan ini.<br />
<br />
"Aku ingin bekerja di Saudi Arabia," jawabku saat dia menanyakan tujuanku datang kemari.<br />
<br />
"Tapi kamu harus sabar menunggu dulu visa dari Saudi Arabia. Kamu harus tinggal di asrama dan belajar sedikit bahasa Arab, agar kelak selama di sana kamu bisa menyesuaikan diri," katanya.<br />
<br />
Aku menangguk. Kemudian dia meminta uang muka untuk tinggal di asrama, sebesar satu juta rupiah.<br />
<br />
"Berapa uang yang harus saya siapkan akan berangkat ke sana?"<br />
<br />
"Kamu jangan khawatir, perusahaan yang akan menanggung semuanya. Makan tidur, semua sudah kami tanggung. Kamu tinggal berlatih dan belajar bahasa arab sambil menunggu visa. Nanti ada yang membimbing,"<br />
<br />
Aku hanya mengangguk. Selanjutnya aku disuruh menandatangani surat perjanjian kerja. Banyak sekali kalimat yang tercantum di situ, membuat aku malas untuk membacanya. Yang penting bagiku, aku bisa cepat kerja. Aku tidak mau membaca ketentuan yang tercantum di situ. Terserah perusahaan tentang aturan kerja, yang penting aku bisa terbang ke Arab Saudi.<br />
(bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-66847603102515613482012-03-10T19:46:00.000-08:002012-03-10T19:46:00.052-08:00Cerita Duka di Balik Lembaran Riyal (1)<b>Aku Iri Melihat Keadaan Diana</b><br />
KISAH mengharukan ini dialami oleh Rukmini (20), TKW asal Cililin, Kab. Bandung. Banyak cerita duka yang dialaminya saat bekerja di Saudi Arabia. Anak majikannya selalu menggoda dan mengganggunya bahkan secara kasar sering memintanya meladeni keinginan syahwatnya. Mampukah Rukmini bertahan atau sebaliknya menjadi budak nafsu? Simaklah perjalanannya seperti yang ditulis oleh Kuswari.<br />
<br />
SEBAGAI wanita yang hanya lulusan SD dan tinggal di daerah perkampungan yang jauh dari kota, aku mempunyai keinginan yang sama dengan teman sekelasku, namanya Diana. Dia teman dekat sewaktu kami sama-sama sekolah. Rumahnya tidak jauh denganku. Dia bernasib baik, dalam usia yang masih muda, dia bisa membanto orangtua dan bekerja di Saudi Arabia selama 3 tahun lebih. Sungguh mencenggangkan ketika pulang ke Indonesia, dia bisa membeli rumah, sawah, dan mobil.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Perubahan yang luar biasa itu telah menimbulkan perbincangan antartetangga, sehingga tidak banyak warga, terutama kaum wanita, yang ingin mengikuti jejak seperti Diana.<br />
<br />
Jujur saja aku iri melihat dia mendadak kaya dalam waktu yang begitu cepat. Sementara aku yang yang sudah bertahun-tahun menjadi buruh pabrik, tidak pernah merasakan nikmatnya tidur di kasur empuk atau makan di kafe. Diam-diam aku mempunyai keinginan yang sama dengan Diana, aku ingin berubah! Aku tidak mau terus menerus dalam duka dan derita, apalagi keadaan orangtuaku yang tidak bisa diandalkan. Mereka yang bekerja di kebun dan sekali-kali membantu tetangga mencuci pakaian, kapan bisa menjadi kaya?<br />
<br />
Aku berontak terhadap keadaan. Aku berpikir jauh ke depan dan memikirkan agar hidup yang kelak kujalani bisa sesuai dengan impianku yang begitu indah. Aku ingin seperti mereka yang bisa mengendarai kendaraan sendiri atau setiap satu minggu bisa pergi ke salon untuk memperbaiki wajah dan rambutku. Aku benar-benar terbuai dengan mimpi itu!<br />
<br />
Apalagi kemudian dia berangkat lagi untuk melanjutkan kontrak kerja ke Saudi Arabia. Setahun kemudian, rumah sederhana bapaknya yang dulu terbuat dari kayu, telah berubah menjadi rumah yang permanen di depan rumahnya terparkir mobil. Diana menjadi perbincangan di kampung kami, karena dia menjadi sosok wanita yang kaya raya.<br />
<br />
Dia temanku sejak masih SD, bahkan aku ingat dia selalu bersama-sama kalau pergi dan pulang sekolah. Orangnya jarang sekali bicara. Setelah keluar dari SD, orangtuamya lalu menikahkannya dengan seorang lelaki yang masih ada hubungan leluarga. Di kampung kami, sudah adat dan kebiasaan menikahkan anaknya dalam usia yang relative masih sangat belia. Sayang, Diana tidak lama mempunyai suami, karena suaminya menceraikan dengan meninggalkan seorang anak lelaki.<br />
<br />
Entah bagaimana jalan ceriteranya, aku hanya mendengar dari sesama temanku kalau Diana sudah bekerja di Saudi Arabia. Aku sempat kaget dan tidak percaya, namun setelah aku menanyakan langsung kepada ibunya, memang dia sudah berada di Saudi Arabia. Diana bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada salah seorang majikan yang kaya raya.<br />
<br />
"Gimana sih caranya dia bisa ke sana?" tanyaku pada ibunya.<br />
<br />
"Menurut Diana, dia mendaftarkan dulu ke sebuah perusahaan yang ada di Jakarta, kemudian dia ditampung di sana selama beberapa bulan, kemudian tidak lama bisa berangkat. Apakah kamu berminat juga bekerja di Arab?" jawabnya.<br />
<br />
"Ya, ingin mencoba dulu. Soalnya bekerja di si ni gajinya kecil dan tidak seberapa," kataku.<br />
<br />
"Berapa sih biayanya untuk mendaftar ke perusahaan di Jalarta!"<br />
<br />
"Kalau Diana membawa uang dari sini hanya dua juta rupiah, katanya untuk kebutuhan selama menginap di Jakarta," terangnya.<br />
<br />
"Di mana alamatnya, Bu?"<br />
<br />
"Sebentar, kalau tidak salah Ibu menyimpan alamatnya," jawabnya lalu pergi ke belakang.<br />
<br />
Mataku tak berkedip melihat keadaan rumah orangtua Diana. Berbagai perabot rumah tangga yang harganya cukup mahal sudah ada di situ, mulai lemari es, mesin cuci, TV besar, lemari kaca dan lain-lain. Aku hanya menarik nafas. Dalam dadaku terbit rasa keinginan yang mengebu-ngebu untuk bisa seperti Diana. "Pokoknya aku harus bisa ke Arab, menjadi orang kaya raya seperti temanku," bisik hatiku dengan pikiran yang menerawang.<br />
<br />
Ketika alamat sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja sudah kuperoleh dari Ibu Diana, bukan main aku berbahagia, apalagi ketika di situ pun ada nomor teleponnya. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ibu Diana.<br />
<br />
Tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku, aku sudah bulat akan pergi ke Arab Saudi, sebab aku menyimpan uang dalam tabungan yang nilainya tidak kurang dua juta rupiah. Kupikir uang itu akan cukup untuk bisa berada di Jakarta. Aku tidak perlu menyampaikan niatku kepada kedua oranguaku, sebab mereka tidak akan mengizinkan dengan alasan bahwa aku masih sangat muda. Ya, usiaku memang masih 17 tahun, usia yang sangat muda sekali. Namun di kampungku tidak sedikit yang sudah mempunyai anak atau sudah menjanda karena bercerai dengan suaminya.<br />
<br />
Esok harinya, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Aku segera mencari wartel untuk bisa menghubungi perusahaan jasa tenaga dan menanyakan berbagai persyaratan. Seorang lelaki yang memberikan penjelasan dari perusahaan itu dan menyuruhku untuk mencatat semua persyaratan. Memang tidak rumit semua persyaratan yang jelas aku harus membawa uang dua juta rupiah sebagai ongkos selama tinggal di asrama.<br />
(bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-85223664312872192462012-03-03T19:38:00.000-08:002012-03-03T19:38:00.741-08:00Ketika Orang-orang Tercinta Pergi (3-tamat)<b>Hari itu Wajah Hendra Bercahaya</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Ibu Mimi kehilangan Andri, anak laki-laki satu-satunya. Si bungsu tenggelam di sungai saat sedang bermain dengan teman-temannya. Ternyata mimpi buruk yang dialami betul-betul menjadi sebuah firasat. Apa yang terjadi selanjutnya? Bertahankan mental Bu Mimi? Atau sebaliknya, ia terguncang? Inilah akhir dari kisah pedihnya yang diceritakan kembali oleh Kuswari. Semoga menjadi cerminan dan dapat diambil manfaatnya.<br />
SETELAH anakku tidak ada, semua baju dan mainan kesukaannya kuberikan pada tetangga agar aku tidak mengingatnya lagi. Aku bisa gila kalau terus menerus memikirkannya. Jujur saja, hatiku belum ikhlas atas peristiwa pahit yang kualami. Aku betul-betul merasa bersalah. Kecelakaan itu akibat aku lalai mengawasinya.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Secara perlahan-lahan aku mampu melupakan anakku meskipun tidak semudah yang diucapkan. Berat badanku melorot turun karena tak berselera makan. Untung aku diberi nasihat oleh beberapa ustaz. "Insya Allah, Bu, dia akan menjadi penghuni surga. Hadis mengatakan, jika orangtua ikhlas atas kepergian anaknya, kelak ia akan dijemput sang anak di surga karena sang anak meninggal dalam keadaan syahid," jelas Ustaz H. Abdurahman.<br />
<br />
Aku bahagia mendengarnya, sebab anakku mati dalam keadaan tenggelam dan usianya masih muda. "Syukurlah kalau Mama sudah mengikhlaskannya. Biarlah Allah menggantinya dengan kebahagiaan," ucap suamiku.<br />
<br />
Karena nasihat dari ustaz dan suami serta orang-orang terdekat, akhirnya aku bisa melupakannya. Bahkan belakangan aku merasa ngat terhibur oleh hadirnya cucu dari anak sulungku yang secara kebetulan juga laki-laki, Hendra namanya.<br />
<br />
Setiap hari aku mengasuh cucuku. Sengaja aku meminta anakku untuk menitipkan anaknya padaku saat mereka bekerja.<br />
<br />
"Tapi ibu pasti repot," kata anakku.<br />
<br />
"Tidak apa-apa. Kalian bekerja saja dan cari pembantu. Sementara anakmu biar Mama yang ngurus," jawabku.<br />
<br />
Anakku tampak agak keberatan, ia tak ingin merepotkanku. Tetapi karena aku yang meminta mereka pun setuju. Setiap akan bekerja, mereka menitipkan anaknya.<br />
<br />
Aku sudah terhibur dengan cucuku bernama Hendra yang terus tumbuh sebagaimana anak-anak yang lainnya. Kulihat dia memiliki kelebihan dalam bidang akademis. Nilainya selalu di atas tujuh. Tentu seja sebagai orangtua aku merasa bangga bisa mempunyai cucu cerdas. Selain wajahnya ganteng, diapun memiliki banyak kawan di sekolah maupun di sekitar rumah. Banyak anak perempuan seusianya yang menyukai cucuku. Dia pandai bergaul dan selalu ramah pada siapa pun.<br />
<br />
Aku betul-betul sudah melupakan anakku yang telah meninggal dan kasih sayangku tumpah pada cucuku. Dalam setiap pertemuan dengan ibu-ibu pengajian, banyak ibu-ibu yang memuji sikap cucuku yang sopan. Ditambah lagi memiliki prestasi yang membanggakan.<br />
<br />
Hendra menjadi kebanggaan kami. Bahkan aku bangga ketika dia berceritera ingin menjadi sarjana dan ingin kuliah di ITB. Aku hanya tersenyum sambil menepuk bahunya. Dalam hati kuucap doa, semoga Allah mengabulkannya.<br />
<br />
Ditinggal lagi<br />
<br />
Hidup ibarat roda berputar, kadang bahagia kadang nestapa. Di saat aku tengah bahagia bersama dengan cucuku, aku kembali mendapat sebuah musibah yang membuatku terpukul. Cucuku tertabrak mobil saat ia pergi mengikuti bimbingan belajar. Aku terkesiap. Dunia seakan runtuh. Aku harus kehilangan kembali orang yang kusayangi.<br />
<br />
Aku sendiri tidak tahu bagaimana kejadian yang sesungguhnya, sebab saat itu kami diberitahu oleh tetangga kalau Hendra sudah ada di Puskesmas. Tubuhku lemas dan rasanya dunia ini berputar cepat saat aku diberi tahu oleh tetangga kalau kondisi cucuku kritis. Badanku sudah tak mampu lagi bergerak, aku tidak mau harus kehilangan cucu yang sangat kusayangi.<br />
<br />
Nyawa Hendra tidak tertolong. Ada pendarahan di otaknya. Aku menangis sejadi-jadinya. Suami dan anak-anakku berusaha menenangkanku. Bumi terasa runtuh saat suara mobil jenazah memasuki halaman rumah. Rasanya seperti mimpi apa yang terjadi dengan Hendra. Sehari sebelum meninggal dia masih bertemu denganku dan meminta uang untuk membeli buku pelajaran fisika. Saat itu wajahnya bercahaya dan aku sempat bertanya.<br />
<br />
"Kok wajahmu bercahaya begitu?"<br />
<br />
"Masa ada wajah bercahaya?"<br />
<br />
"Maksud nenek, wajahmu putih bersih!"<br />
<br />
"Kalau begitu aku mengerti...eh nek sejak beberapa hari ini aku sering mimpi yang aneh-aneh?"<br />
<br />
"Mimpi apa sih!" aku penasaran<br />
<br />
"Aku berada di tempat yang sangat jauh sekali namun tempat itu begitu indah!" Itulah pertemuan terakhir dengan Hendra.<br />
<br />
Sulit bagiku melupakan cucuku. Berkali-kali aku jatuh pingsan saat Hendra dibungkus kain kafan dan terlebih ketika dia dimasukkan ke dalam liang lahat. Aku menjerit dan menangis sepuas-puasnya saat dia diletakkkan di atas tanah kuburan. Aku tak dapat lagi menguasai emosiku saat tanah kuburan sudah menyatu dengan cucuku. Aku pun kembali terjatuh.<br />
<br />
Aku baru sadar telah berada di rumah. Orang-orang mengelilingiku.<br />
<br />
"Kematian adalah takdir Allah yang tidak bisa ditolak dan tidak bisa pula dihindari. Semua akan mati dengan takdirnya sendiri-sendiri. Kita harus pasrah sepenuhnya kepada pemilik langit dan bumi," ujar Ustaz Abdurahman ketika aku sudah mulai tenang.<br />
<br />
Aku mengarik nafas panjang. Terbayang hari-hari yang indah bersama cucuku. Air mata tak dapat kutahan. Hatiku sakit sekali. Ya, Allah, ampunilah dia, maafkan dan sayangi dia. Jadikanlah ia penghuni surga.<br />
<br />
Hari-hari kulalui dengan duka dan air mata. Sungguh berat menghadapi semua ini. Anak dan cucu adalah permata hati yang selalu terpatri dalam dadaku. Kini mereka sudah tidak ada. Kugumankan kata, "Surgalah di tanganmu, Tuhan di sisimu!"Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-34690414439590460202012-03-02T19:37:00.000-08:002012-03-02T19:37:00.073-08:00Ketika Orang-orang Tercinta Pergi (2)<b>Dia Pergi dengan Sesungging Senyum</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Ibu Mimi bermimpi rumahnya terendam banjir. Dalam mimpinya, si bungsu, Andri hanyut bersama banjir. Sejak saat itu Ibu Mimi merasa sangat khawatir pada Andri, apalagi pembantunya mengaku bermimpi yang sama. Apakah mimpi itu firasat buruk atau hanya sekadar bunga tidur? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis Kuswari.<br />
ENTAH berapa lama aku tertidur di kursi panjang. Aku terbangun saat mendengar suara ribut anak-anak bermain di halaman rumah. "Ada apa, sih? Kok berisik banget?" Aku bicara sendiri sambil menggosok-gosok mata.<br />
<br />
Teriakan itu masih menggaung. "Buuu! Andri tenggelam!" Kudengar salah seorang di antara mereka berteriak keras.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Bagai disambar petir di siang bolong, aku meloncat dari kursi. Kucubit kulitku, ternyata bukan sedang bermimpi. Teriakan itu memang berasal dari luar, dari teman-teman bermain Andri.<br />
<br />
"Buuu, Andri tenggelam!" kembali teman-teman Andri berteriak.<br />
<br />
Secepat kilat aku berlari ke luar, "Ada apa? Andi kenapa?" tanyaku.<br />
<br />
"Ia tenggelam, terbawa arus sungai, Bu!" jelas salah seorang di antara mereka.<br />
<br />
Darahku tiba-tiba naik ke kepala, jantungku berdebar kencang. Dunia seakan bergerak terbalik, tubuhku terasa dingin. Penglihatanku jadi gelap. Bruk, aku jatuh. Tidak ingat apa-apa. Aku baru sadar ketika kurasakan ada tetesan air dingin di dahiku. Aku juga menghirup minyak kanyu putih. Samar-samar kudengar orang-orang berbisik.<br />
<br />
"Maaa," kudengar seseorang memanggilku. Pelan namun cukup jelas di telingaku, aku tahu persis suara itu suara si sulung.<br />
<br />
Kubuka mataku perlahan-lahan, ribuan sinar masuk ke kelopak mataku. Silau. Kututupi mataku dengan telapak tangan. Selintas kulihat banyak orang di sekelilingku. Anak-anakku mengerubungiku.<br />
<br />
"Alhamdulillah, sudah siuman," kudengar orang mengucap syukur yang pasti ditujukan kepadaku.<br />
<br />
Wajah Andri tiba-tiba saja berkelebat. Jantungku kembali bedebar, darahku bergolak. Keringat dingin mengucur seluruh tubuhku, tubuhku terasa lemas sekali.<br />
<br />
"Andri, anakku. Kau ke kenapa, sayang?" ucapku.<br />
<br />
Hatiku terasa sakit sekali. Aku menangis, aku kecewa kehilangan anak laki-laki satu-satunya.<br />
<br />
Ya, Allah, kenapa Engkau begitu cepat memanggilnya? Ia anak yang sangat cerdas, saleh, penurut, dan tidak pernah membuatku jengkel. Ia juga sangat ramah dan sopan pada semua orang. Masih terbayang dalam benakku, ketika ia makan begitu lahap sepulang sekolah. Masih terlihat jelas ketika ia buru-buru menyudahi makannya saat kawan-kawannya memanggilnya untuk bermain. Aku masih merasakan lembut tangannya saat berpamitan bermain. Senyuman khas dan tatap matanya yang bening masih berkubang di pikiranku.<br />
<br />
Aku menangis sejadi-jadinya. Kupanggil terus namanya. Aku menyesal sekali kenapa kuizinkan ia pergi bermain. Padahal aku sudah mempunyai firasat buruk. Mimpi itu kini menjadi kenyataan, Andri betul-betul hilang ditelan arus air sungai. Aku bersalah, mengapa tak mendengar kata hatiku. Kenapa tidak mendengar firasat buruk itu. Seandainya aku melarangnya pergi, mungkin ia masih ada di sini bersamaku, bersama kakak-kakaknya.<br />
<br />
"Sudahlah, kita harus bersabar," kata suamiku sambil mengusap kepalaku.<br />
<br />
Kudengar suaranya sangat berat. Kurasakan ada sebuah penyesalan dalam nada suaranya. Aku menangis kembali. Kupengani tangan suamiku. Aku betul-betul menyesal dan merasa bersalah.<br />
<br />
"Aku tidak bisa menjaganya, Pa. Maafkan aku!" kataku.<br />
<br />
"Sudah, sudah! Ikhlaskan saja. Allah menghendaki dia pergi lebih dulu. Ini adalah kebaikan dari Allah. Tidak perlu disesali," katanya lagi.<br />
<br />
"Bagaimana keadaan anak kita, Pak? Di mana dia?" tanyaku.<br />
<br />
"Sabar. Sebentar lagi dia datang," jawab suamiku.<br />
<br />
Aku tidak tahu suamiku juga baru datang dari tempat kerja. Baru saja suamiku menjawab. Serombongan orang dipimpin Pa RT datang. Kulihat mereka menggendong jasad anakku. Aku menjerit. Kurangkul tubuh anakku yang basah kuyup dan kaku. Perutnya kembung. Pipinya membiru.<br />
<br />
"Andriii!" aku berteriak.<br />
<br />
Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi. Suara orang membaca Yasin membangunkanku. Kulihat suami dan keempat anakku mengelilingiku. Kudengar dia mengucap hamdallah ketika aku sadar kembali. Kulihat mata mereka merah dan bengkak. Mereka pun pasti menangisi Andri. Mereka pun pasti sangat kehilangan karena Andri anak yang sangat baik.<br />
<br />
Jiwaku kembali terguncang hebat ketika jasad Andri digendong oleh ayahnya masuk ke dalam "pasaran" (keranda) usai dikafani dan disalati. Beberapa saat kemudian Andri pergi bersama puluhan orang tetangga ke pemakaman. Aku sebenarnya ingin sekali mengikutinya, tetapi suamiku dan beberapa orang tetangga melarangku. Aku bersama anakku menunggu di rumah. Aku minta anakku mengambilkan air untuk berwudu. Kubaca Yasin dengan terbata-bata lalu kupanjatklan doa untuk Andri.<br />
<br />
"Allahumagfir lahuu war hamhu wa' aafihii wa'fu anhu, wa wasi'madkhalahuu wa akrim nuzulahuu, birahmatika ya arhamar raahiimin.. Ya Allah, ampini dia, sayangi dia, maafkan kesalahannya, luaskan tempat masuknya, dan muliakanlah tempat kembalinya. Kuusap wajahku. Terbayang wajah dan senyumnya. Selamat jalan, sayang!<br />
(bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-2094551210097982822012-03-01T19:35:00.000-08:002012-03-01T19:35:00.123-08:00Ketika Orang-orang Tercinta Pergi (1)<b>Aku Bermimpi, Rumahku Terkena Banjir</b><br />
KISAH ini dialami Mimi (65), warga Batununggal, Kota Bandung. Musibah menimpanya berkali-kali. Peribahasa mengatakan, sudah jatuh tertimpa tangga. Belum lipur lara pertama, duka berikutnya mendera lagi. Dia harus merelakan anak laki-laki satu-satunya pergi untuk selamanya karena tenggelam saat bermain. Beberapa waktu kemudian cucunya mengalami musibah. Meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Bagaimana kisah pedih yang dialaminya? Berikut penuturannya yang ditulis kembali oleh Kuswari.<br />
<br />
BETAPA bahagianya aku ketika anak yang kelima lahir adalah anak laki-laki yang selama ini sangat didambakan. Kulitnya putih, matanya bulat, hidungnya mancung, dan rambutnya ikal. Namun yang membuat aku bangga adalah kecerdasan otaknya yang tidak jauh berbeda dengan kakak sulungnya. Tidak hanya itu, anak yang kemudian kuberi nama Andri ini pun sangat rajin membantu pekerjaan di rumah. Meski aku melarangnya, dia tak peduli. Anak bungsuku ini lebih mandiri dari kakak-kakaknya yang perempuan. Pulang sekolah, segalanya dikerjakan sendiri. Bahkan makan pun mengambil sendiri.<br />
<a name='more'></a><br />
Terus terang saja, aku sagat memanjakannya. Bukan berarti aku tidak menyayangi kakak-kakaknya atau menganakemaskannya. Kendati demiian, dia tidak manja. Tidak pernah berbuat macam-macam. Bahkan aku melihatnya memiliki kelebihan dan mempunyai bakat kepemimpinan. Hal itu terlihat saat bermain dengan teman-temannya, dia selalu tampil sebagai pemimpin. Dia kerap mengatur anak-anak tetangga, sehingga dia dikenal sebagai anak yang suka bergaul.<br />
<br />
"Kalau bermain dengan teman jangan sombong dan jangan ingin menang sendiri," kataku suatu ketika mengingatkannya. Dia mengangguk. Ia memang penurut.<br />
<br />
Senin siang, sepulang dari sekolah dia makan dengan sayur dan daging ayam kesukaannya. Belum juga selesai makannya, teman-temannya memanggil. Setelah kulihat melalui jendela ternyata teman satu sekolah yang tempat tinggalnya tidak jauh dengan rumah.<br />
<br />
"Mau main ke mana?" tanyaku saat anakku meminta uang jajan.<br />
<br />
"Main di lapang sepak bola..." katanya.<br />
<br />
"Jangan main jauh-jauh ya!" kataku seraya memberikan uang jajan. Beberapa kali aku menatap wajahnya, mendadak ada perasaan khawatir. Entahlah. Bahkan tadi malam aku bermimpi buruk. Rumahku kebanjiran, sampai-sampai kami harus menyingkir agar terhindar dari banjir. Tetapi banjir itu tidak pernah berhenti dan kulihat Andri berteriak-teriak meminta tolong, namun tidak ada seorang pun yang menolongnya. Aku sempat terbangun kaget saat anakku semakin menjauh dan terbawa arus banjir.<br />
<br />
"Ibu kenapa?" tanya suamiku malam tu. Mungkin ia kaget mendengar teriakanku. Ia memegang bahuku dan menanyakan apa yang telah terjadi.<br />
<br />
"Aku bermmpi buruk, Pak! Andri terbawa arus banjir!"<br />
<br />
"Ibu cuma mimpi. Sudah, jangan terlalu dipikirkan itu hanya mimpi."<br />
<br />
Aku menarik napas dalam-dalam, semua seperti nyata. "Ya Allah, jangan timpakan kepada kami musibah yang berat," jeritku dalam hati.<br />
<br />
Mimpi itu seakan kembali menari-nari dalam benakku, terlebih ketika pagi-pagi akan berangkat sekolah, Andri mencium tanganku lama sekali. Namun aku diam saja.<br />
<br />
"Bu, doakan Andri, ya!" katanya sesaat sebelum meninggalkan rumah. Sampai dia menghilang mataku tak lepas menatapnya.<br />
<br />
Ada perasaan tidak enak hari itu yang membuat aku tidak begitu bergairah. Selain semalam terganggu mimpi buruk sehingga hampir dua jam aku sulit tidur, ditambah sejak beberapa hari yang lalu kondisiku agak kurang enak.<br />
<br />
Sepanjang pagi aku tidak terlalu banyak kegiatan, kecuali hanya berbaring di kursi panjang. Anak-anak sudah pergi sekolah, suami pun sudah berangkat. Di rumah aku hanya dengan pembantu yang setiap hari ikut membantu pekerjaanku di rumah.<br />
<br />
"Bu, dua hari yang lalu aku bermimpi rumah ini kebanjiran." Tiba-tiba Ma Eneh berkata begitu.<br />
<br />
Tentu saja aku kaget.<br />
<br />
"Aneh! Tadi malam juga aku bermimpi yang sama," jawabku. "Mudah-mudahan tidak ada kejadian yang tidak kita inginkan.<br />
<br />
Sejak mimpi itu aku selalu teringat Andri. Ah, semoga tidak ada apa-apa yang menimpanya. Semoga Allah melindunginya.<br />
<br />
"Kemarin juga Andri memberi uang kepada bibi seribu rupiah untuk membeli makanan kesukaan bibi, padahal tidak seperti biasanya dia begitu," kata Ma Eneh lagi.<br />
<br />
Aku tidak berkata sepatah kata pun, selain menarik napas panjang, seakan ingin menjauhkan segala mimpi yang tadi kualami. Ada kekhawatiran yang berkecamuk dalam dadaku dan itu terjadi sampai detik ini.<br />
<br />
Untuk menghilangkan lelah dan tidak enak badan, aku minum obat dari warung. Setelah itu aku berbaring di kursi panjang. Tidak lama aku merasakan kantuk yang luar biasa. Aku pun tertidur di kursi.<br />
(bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-63402362098854221572012-02-23T20:27:00.000-08:002012-02-23T20:27:00.394-08:00Perjalanan Hidup Seorang Mantan Penari Ketuk Tilu (3-Habis)<b>Tiba-tiba Aku Tak Dapat Melihat</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan Hertati telah dua kali menikah tetapi kedua suaminya meninggal saat mereka sedang menikmati kebahagiaan. Ada yang bilang suaminya meninggal karena disantet. Hertati memutuskan untuk berhenti bermain Ketuk Tilu karena tidak ingin dimusuhi orang. Ia lalu menjual harta kekayaaannya, termasuk rumahnya, untuk mengobati penyakit batinnya. Bagaimana nasib Hertati selanjutnya? Inilah akhir kisahnya yang ditulis D. Ruspiyandy. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
SETELAH anakku meninggal, semua cintaku kucurahkan kepada kedua cucuku. Kutinggalkan usaha jualan nasi kuning di Padalarang, aku ingin fokus kepada cucu-cucuku yang juga sering sakit-sakitan. Aku hidup dengan kedua cucuku dan mantan menantuku. Dua tahun kemudian mantan menantuku menikah lagi. Aku begitu senang dan bahagia karena beban mantan menantuku dan bebanku bisa berkurang dengan kehadiran laki-laki pilihannya.<br />
<a name='more'></a><br />
Tetapi dugaanku meleset. Rupanya lelaki yang menikahi mantan menantuku adalah seorang pengangguran yang selalu mengandalkan uang dari isterinya yang bekerja serabutan. Beban kami bukan berkurang, melainkan bertambah satu. Aku sering memberikan uang untuk kebutuhan sehari-hari karena aku bekerja di pabrik plastik dan kemudian berpindah ke pabrik limun.<br />
<br />
Rupanya kehadiranku membuat suami mantan menantuku gerah. Ia benci kepadaku karena aku selalu menasihatinya bahwa suami itu adalah kepala keluarga dan bertanggung jawab mencari nafkah. Rupanya kata-kataku menyinggung perasaannya dan ia selalu berupaya membuat masalah agar aku tidak betah di sana. Karena terus menerus sering dibikin masalah, akhirnya mengontrak rumah sendiri. Biar pun tempatnya kurang layak tetapi bagiku lebih senang tinggal sendirian dari pada tiap harus selalu direcoki oleh orang yang membenciku. Aku keluar dari rumah itu tahun 2008.<br />
<br />
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mau bekerja apa saja asal halal dan menghasilkan uang. Aku jadi buruh cuci, tukang urut, bahkan menjadi pembantu. Pokoknya semua kulakukan untuk kehidupanku dan juga cucuku yang sesekali nengok ke tempat tinggalku. Aku pernah belajar mengurut pada saat masih main di bidang seni. Aku pun selalu melakukan ziarah. Dari sana aku bertemu dengan guru yang bisa mengajariku cara mengurut yang baik. Setelah kupraktekkan, alhamdulillah bisa menghasilkan uang.<br />
<br />
Aku mengontrak di sebuah rumah di kawasan RW 05 Dungus Cariang, Kota Bandung. Di sana terus terang aku berjuang sendiri karena kalau mengandalkan orang lain tentu tidak akan mungkin menjamin kehidupanku. Apa pun yang terjadi aku harus bisa mempertahankan sisa hidupku ini. Aku mencoba berjualan susu tepung yang kukemas sendiri. Tahun 2008 aku berjualan di SD YWKA, Jln. Dadali, Kota Bandung tetapi karena sakit aku berhenti. Dari situ aku berjualan di SD Garuda, SD Karang Mulya, dan SD BPMD Taruna. Aku meminjam modal dari rentenir dengan bunga yang sangat tinggi.<br />
<br />
Februari 2010 aku mengalamai musibah. Penglihatanku tiba-tiba berubah menjadi remang-remang. Aku berpikir mungkin karena usiaku sudah tua maka penglihatanku jadi seperti ini. Namun lama-lama aku tidak dapat melihat sama sekali. Dunia yang tadinya terang berubah menjadi gelap. Aku tidak bisa ke mana-mana. Usahaku terputus, kecuali memijat. Untuk makan sehari-hari mengandalkan pemberian dari tetanggaku.<br />
<br />
Karena kebaikan Udin<br />
<br />
Biar begitu, aku tetap yakin aku bisa melihat lagi. Setiap hari aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkan mataku dan mengembalikan penglihatanku. Aku begitu yakin akan ada orang yang menolongku. Entah dari mana caranya aku sendiri tak mengetahuinya. Terus terang keadaan gelap itu berjalan hampir 3 bulan lamanya.<br />
<br />
Suatu saat aku teringat cerita orang-orang tentang Udin, yang sering membantu orang. Karena itulah aku meminta bantuan tetanggaku, Mamah Ojat, untuk menemuinya. Padahal aku sendiri tidak tahu siapa Udin. Kepada Mamah Ojat kutitipkan KTP, KK, dan Kartu Jamkesmas. Ternyata usahaku itu tidak sia-sia.<br />
<br />
Satu hari setelah itu, Udin menemuiku dan menanyakan maksudnya. Menurutnya mengalami penyakit katarak. Udin membawaku ke Puskesmas Garuda kemudian di rujuk ke RS. Cicendo. Aku dioperasi. Aku begitu bersemangat agar bisa dioperasi padahal aku sendiri tak memiliki uang. Akhirnya aku tahu Udin dan temannya berbicara dengan RT di tempat tinggalku dan ia mengumpulkan uang dari warga. Setelah itu Udin pun mencari tambahan ke Dompet Dhuafa dan meminjam kepada beberapa orang temannya untuk membantu operasiku. Menurutku Udin adalah manusia yang mulia walaupun sebenarnya ia memiliki anak yang lumpuh.<br />
<br />
Operasi mata pertama berlangsung tiga hari untuk mata sebelah kanan dan pada Juni 2010 yang sebelah kiri. Masing-masing operasi aku menginap di RS Mata itu selama tiga hari. Aku kembali bisa melihat secara normal setelah kontrol beberapa kali. Aku merasa bahagia karena bisa melihat lagi. Tetapi itu bukan akhir dari segalanya. Waktu terus berjalan dan aku harus tetap melewati hari-hariku. Aku terus berjualan susu tepung itu ke SD yang biasa kutempati. Hal itu kulakukan karena aku harus makan, bisa ngontrak rumah dan mencicil uang dari rentenir.<br />
<br />
Aku hanya berharap bisa mengumpulkan sejumlah uang untuk bisa membeli lahan makam saja. Aku ingin meninggal tanpa menyulitkan orang lain, setidaknya, aku punya makam sendiri. Aku tak bisa mengandalkan kedua cucuku karena mereka hidup pas-pasan. Biarlah aku berjuang sendiri. Biar usiaku telah senja, tetapi aku yakin Allah akan member rejeki kepadaku. Aku selalu yakin, suatu saat Allah akan mengubah hidupku. Allah pasti mengabulkan doaku. **Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-47567993027145690292012-02-21T20:25:00.000-08:002012-02-21T20:25:00.841-08:00Perjalanan Hidup Seorang Mantan Penari Ketuk Tilu (2)<b>Aku Kembali Kehilangan Orang-orang Tercinta</b><br />
Sebelumnya diceritakan Hertati menikah dalam usia muda dengan seorang penari ketuk tilu. Mereka berjumpa dalam sebuah pergeralaran seni. Setelah menikah, Hertati ikut bersama suaminya pentas keliling Indonesia. Rumah tangga mereka pun bahagia terutama setelah kehadiran sang anak. Sayangnya, di saat berbahagia, sang suami meninggal secara mendadak di atas panggung. Bagaimana nasib Hertati? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis oleh D. Ruspiyandy. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
KARENA aku hidup dalam bidang seni, setelah ditinggal suamiku tercinta aku berjodoh lagi dengan pekerja seni. Kang Anda namanya. Pertemuan kami terjadi saat aku pentas di Pekan Raya di daerah Tegal, Jawa Tengah. Tetapi terus terang, saat itu sesungguhnya kiriman santet selalu datang kepadaku. Hanya kata orang yang tahu, aku dikirim santet memang tidak akan mati tetapi tentu penyakit akan terus diderita dan akan kena kepada pendamping hidup.<br />
<a name='more'></a><br />
Aku menikah dengan Kang Anda pemilik lingkung seni Pancawarna, tahun 1967. Kang Anda seorang duda yang dtinggal mati oleh isterinya. Saat awal berumah tangga aku terus terusan diserang penyakit fisik dan penyakit aneh. Ada biji lada dan jarum keluar dari telingaku. Untuk menyembuhkannya terpaksa kujual gamelan yang ada bahkan sampai akhirnya rumah yang kutempati pun dijual pula untuk pengobatan.<br />
<br />
Karena aku sibuk menjadi penari ketuk tilu dan aku sering sakit-sakitan, Heri, anakku titipkan di kakak iparku, Nani Yunengsih, yang juga terjun di dunia seni. Anakku disekolahkan di daerah Cibuntu, Kota Bandung.<br />
<br />
Tahun 1979, ketika rumah tanggaku menginjak usia 12 tahun peristiwa menyakitkan kembali terjadi. Kang Anda yang baru saja pulang melatih dari Gedung Merdeka tiba-tiba saja mengeluhkan rasa pusing yang begitu hebat. Malamnya ia muntah darah. Esoknya, tak pernah kusangka sebelumnya, Kang Anda menghembuskan napas terakhirnya dalam pangkuanku.<br />
<br />
Menurut orang yang mengerti, penyebab kematian suamiku adalah santet kiriman orang lain. Aku percaya tidak percaya. Dibilang tidak percaya, aku melihat dengan mayat kepala sendiri suamiku muntah darah kemudian meninggal. Disebut percaya, sebetulnya aku masih ragau apakah betul ada penyakit semacam itu?<br />
<br />
Aku jadi ingat ucapan salah seorang yang mengerti urusan santet bahwa aku akan terus-terusan diserang, Tapi aku punya daya tahan yang luar biasa sehingga, katanya, akan berimbas pada suami. Aku hanya bisa pasrah menerima semua itu.<br />
<br />
Dari Kang Anda aku tak dikaruniai seorang anak pun. Rupanya setelah kematian suamiku, hal-hal yang berbau santet tak berhenti sampai di sana. Hal itu pun ternyata menyerang diriku. Untuk menyembuhkan penyakit itu, apa yang kumiliki akhirnya kujual satu persatu. Terakhir kujual rumahku tahun 1986. Aku tak pernah meyesalinya yang terpenting aku bisa mengurus anakku sampai dewasa kelak. Biarpun nantinya kelak aku tidak main ketuk tilu lagi. Pokoknya aku akan membiayai anakku dengan usaha yang lain saja.<br />
<br />
Akhirnya kuputuskan untuk tidak main ketuk tilu lagi. Aku sudah mengatakan cadu (pantang) bermain ketuk tilu lagi. Bukan tabu karena seninya, karena aku sangat mencintai seni, melainkan karena peristiwa di balik semua itu. Karena aku menggeluti ketuk tilu, dua suamiku meninggal. Aku menjadi trauma. Tetapi sesekali aku diminta kaul, misalnya dalam pesta pernikahan. Sedangkan untuk pentas khusus ketuk tilu, aku tetap menolaknya.<br />
<br />
Setelah tidak menjadi penari, aku bekerja serabutan. Dari mulai menjadi buruh sampai berjualan. Aku sementara menumpang hidup di saudara iparku didaerah Cibuntu. Tetapi karena saudaraku sakit-sakitan, kuputuskan untuk hidup mandiri dengan cara mengontrak rumah petak.<br />
<br />
Tanpa kusengaja aku bertemu dengan teman-teman sewaktu di lingkung seni yang mengajakku untuk tinggal di rumahnya di daerah Padalarang. Temanku itu berprofesi sebagai pembuat gamelan dan aku di sana ditugaskan untuk memasak. Atas kebaikan temanku, aku disarankan untuk berjualan nasi kuning dengan modal darinya. Alhamdulillah berjalan hingga selama 4 tahun. Aku setuju dan aku jalankan usaha itu perlahan tapi pasti. Walaupun temanku itu sudah tiada, tetapi saat ini anak-anaknya selau ingat dan selalu menanyakan keadaanku. Bahkan selalu mengunjungiku.<br />
<br />
Sebelum ke Padalarang itulah aku sempat menikahkan Heri dengan Suryati wanita asal Dungus Cariang, Kota Bandung. Sayang usia anakku setelah menikah tak begitu lama. Tahun 1990 aku menerima kabar bahwa anakku sakit.<br />
<br />
Kutengok dia, seluruh badannya bengkak-bengkak. Beberapa minggu aku tinggal bersamanya. Namun setelah kuanggap penyakitnya tidak terlalu berat, aku kembali ke Padalarang dan berjualan. Sepekan kemudian aku mendapat kabar bahwa anak meninggal dunia. Betapa sedihnya aku saat itu karena peristiwa itu merupakan peristiwa ketiga aku kehilangan orang-orang yang aku cintai. Kalau tahu dia akan meninggal, mungkin aku tidak akan meninggalkannya saat sakit. Aku tak tahan menahan tangis saat melihat jenazah anakku saat dimasukkan ke liang lahat di TPU Sirnaraga, Kota Bandung. Langit Bandung terus disaput mendung. Aku meninggalkan Sirnaraga dengan langkah gontai. Wajah anakku masih menggelayut di kelopak mataku. "Ya Allah, ampunillah dosa-dosanya, sayangi dia, dan terimalah ia di sisi-Mu karena Engkau sebaik-baiknya tempat kembali," aku berdoa dalam hati. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-36332761044951642512012-02-20T20:24:00.000-08:002012-02-20T20:24:00.537-08:00Perjalanan Hidup Seorang Mantan Penari Ketuk Tilu (1)<b>Suamiku Meninggal di Atas Panggung</b><br />
KISAH ini dialami oleh Mak Herta --nama asli di KTP tertulis Hertati (68)-- seorang mantan penari ketuk tilu. Ia pernah melanglangbuana ke seluruh pelosok negeri menjadi seorang pekerja seni. Nasib tragis menimpanya setalah suami pertama dan keduanya meninggalkannya. Kini wanita berdarah Belanda-Sunda itu hidup sendiri. Bagaimana kisah perjalanan hidupnya? D. Ruspiyandy mengisahkannya untuk Anda. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
MENURUT ibuku, aku dilahirkan sekitar tahun 40-an. Walaupun di KTP tertulis 1943, itu hanya kira-kira saja. Ayahku bertugas di gudang senjata milik Belanda. Ia diculik dan mungkin dibunuh pihak tentara Jepang di daerah Temanggung. Sampai saat ini pun aku tak tahu kuburnya. Kata ibu, ayahku orang Belanda. Anehnya aku tidak seperti orang Belanda, padahal kakak dan adikku justeru hidungnya mancung dan berwajah Indo. Aku asli seperti wanita Sunda. Mungkin gen ibuku yang asli Bogor lebih kuat melekat padaku.<br />
<a name='more'></a><br />
Ayah dan ibu berjodoh di Bogor dan menikah di sana. Ayahku juga sempat bekerja di gudang senjata di kawasan Kiaracondong, Kota Bandung. Lalu setelah itu pindah ke Yogyakarta.<br />
<br />
Aku punya kakak laki-laki yang bernama Alex. Usianya terpaut empat tahun denganku. Ia lahir di kawasan jalan Lengkong, Kota Bandung. Sedangkan adikku, Edi, umurnya beda dua tahun denganku. Ia lahir di Kota Gudeg.<br />
<br />
Tatkala tentara Jepang masuk ke wilayah Yogyakarta, setelah ayah menghilang, Ibu hidup di pengungsian tanpa ada jaminan yang pasti dan pindah dari satu lokasi menuju lokasi lain. Hingga akhirnya ibu memutuskan untuk memeliharaku. Sementara kakakku dibawa oleh orang lain ke Temanggung dan adikku Edi dibawa oleh orang lain pula ke Parakan, sebuah daerah di Jawa Tengah.<br />
<br />
Tidak berapa lama, ibu mendengar kabar bahwa adikku meninggal dunia karena sakit. Aku pun sedih mendengar berita itu. Kami tidak sempat melayat karena jarak yang jauh. Aku juga tak sempat bertemu dengan kakakku, Alex. Kalau harus aku mengatakan sampai aku menjadi nenek-nenek pun belum pernah bertemu dengannya. Aku hanya berharap, seandainya kami sama-sama panjang umur, semoga Tuhan mempertemukan kami sebelum meninggal.<br />
<br />
Demi kelangsungan hidup sehari-hari, ibu yang selalu kupanggil mamih, bekerja menjadi buruh di toko pakaian di Temanggung. Saat aku menginjak usia sekolah, aku disekolahkan sampai kelas 6 di Sekolah Rakyat di kota itu. Karena kerinduan ibu terhadap saudara-saudaranya yang tinggal di Bogor, kira-kira tahun 1953 setelah aku menamatkan sekolah, kami bersilaturahmi dengan saudara ibu di Panaragan, Bogor. Setelah itu kami kembali ke Temanggung dan menjalani kehidupan seperti biasanya.<br />
<br />
Sampai suatu hari, aku mendapatkan jodoh yang ternyata asli orang Bandung. Parman namanya. Kami bertemu saat menonton nonton ketuk tilu dari lingkung seni Pancawarna di Pekan Raya. Benih-benih cinta itu tumbuh. Selang dua minggu Kang Parman sengaja datang bermain ke desa-desa di Temanggung yang ternyata banyak pula orang Sunda yang tinggal di sana. Kang Parman diri mengungkapkan maksudnya untuk menikahiku. Tanpa banyak pertimbangan aku menerima lamarannya dan kami menikah saat usiaku 14 tahun. Acara pernikahan berlangsung sederhana saja. Itu sekitar tahun 1954.<br />
<br />
Aku tak menyangka, setelah menikah dengannya sering pergi ke seluruh pelosok di tanah air. Dua hari setelah menikah, aku bersama rombongan ketuk tilu tersebut melanjutkan perjalanan seninya ke Yogyakarta pada acara pasar malam. Dari sana ke Madiun terus mengunjungi Solo.<br />
<br />
Bahkan bersama suamiku aku berkeliling ke Makasar, ke Tanjungkarang, Tebingtinggi, Pangkalan Berandan, Tanjung Balai Karimun, Palembang, Jakarta, dan juga wilayah pulau Jawa. Bahkan di Medan kami menetap sampai tiga tahun. Bulan maduku pun habis di perjalanan. Namun biar begitu aku tidak mengeluh karena istri haruslah tetap taat pada suami. Bahkan karena tuntutan, tadinya aku yang hanya sebagai isteri biasa, lambat laun harus bisa menyesuaikan dengan keadaan lingkung seni itu. Akhirnya aku ikut terjun dan belajar ketuk tilu hanya dalam waktu dua minggu.<br />
<br />
Terus terang aku hidup bahagia karena selamanya dilalui dengan menghibur orang-orang. Jadi dapat dipastikan kalau rumah tanggaku dengannya ibarat bekerja dalam lingkung seni saja. Setelah berumah tangga 7 tahun, aku diberi momongan seorang anak laki-laki, yang kami beri nama Heri.<br />
<br />
Saat itulah suamiku meninggal. Aku benar-benar merasa kehilangan dirinya. Kalau orang Sunda mengatakan jiga disamber heulang. Kejadian itu tak pernah kusangka sebelumnya. Suatu pagi, suamiku mengikuti konkur atau adu tari di Hotel Preanger, Kota Bandung. O, ya, setelah tujuh tahun berkelana akhirnya aku menempati rumah di daerah Sukapakir, Taman Senang, Kota Bandung. Ketika adu tari Kang Parman mampu mengalahkan penari asal Kabupaten Subang.<br />
<br />
Hari Minggunya, suamiku diundang untuk bernnyanyi di pentas Wayang Golek di daerah Tegallega. Saat itu ada yang meminta untuk dinyanyikan "Tilil Kombinasi", "Panon Hideung", dan "Nagin". Dua lagi telah didendangkannya dan tinggal menyanyikan lagu "Nagin". Saat masih memegang mike, suamiku tiba-tiba batuk-batuk dan langsung tersungkur. Ternyata saat rekan-rekannya mencoba menolongnya, suamiku langsung meninggal. Itu terjadi tahun 1963.<br />
<br />
Aku menduga itu perbuatan orang yang iri pada keberadaan suamiku dengan mengirimkan santet kepadanya. Jenazah suamiku dimakamkan di daerah Kiaracondong. Selama tiga tahun kemudian aku hidup menyendiri. Aku tetap mejalani profesi sebagai penari ketuk tilu bahkan setahun sekali, setiap Ramadan, aku tampil di lapang Sriwedari Solo. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-13270596771974859352012-02-13T02:13:00.000-08:002012-02-13T02:13:00.075-08:00Dramatika Hidup Seorang Karyawan Periklanan (4-tamat)<b>Kulihat Istriku Sudah Menggelantung</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Ujang beberapa kali memohon maaf pada istrinya tetapi tidak direspon. Ia semakin merasa khawatir karena istrinya terlihat kian frustasi. Satu kali pernah mencoba bunuh diri. Apa yang terjadi selanjutnya? Inilah akhir kisahnya yang ditulis Kuswari. Semoga menjadi cerminan.<br />
<br />
KIAN hari aku kian cemas. Istriku terus mengurung diri di kamar sambil meracau. Kata-kata bernada penyesalan itu seolah ditujukan pada dirinya sendiri. Tetapi aku merasakan di balik kata-kata itu ada kekecewaan yang luar biasa. Setiap kata yang diucapkannya serasa menusuk-nusuk ulu hatiku. Istriku berubah seperti itu karena salahku, karena keteledoranku. Aku memang ceroboh.<br />
<a name='more'></a><br />
Kupukul kepalaku sambil kukatakan dalam hati bahwa aku bengal, egois, dan tidak mau menuruti nasihat istriku. Tetapi kupikir tindakanku ini tak ada artinya sama sekali. Nasi sudah jadi bubur, semuanya sudah hancur. Aku kehilangan harta, kehilangan kenyamanan dalam rumah tangga. Anak-anakku kehilangan kasih sayang, kehilangan ibu mereka tercinta. Meski raganya ada di hadapan mereka, tetapi batinnya sama sekali tidak bersama mereka. Iatriku betul-betul berubah drastis. Berubah seratus delapan puluh derajat.<br />
<br />
Aku semakin khawatir karena dia semakin jauh dari Allah. Salat yang lima waktu belakangan mulai ia tinggalkan. Beberapa kali kuingatkan, tetapi tetap bergeming. Ia dia seribu bahasa bagaikan sebuah patung. Begitu setiap aku mendekati dan mengajaknya bicara, tetapi ketika kujauhi ia selalu bicara sendiri.<br />
<br />
"Ma, kok Mama jadi begini, sih? Apa enggak kasihan sama anak-anak. Lihat mereka. Mereka masih sangat membutuhkan Mama. Mereka harus diperhatikan dan diurus!" kataku sambil duduk di tepi tempat tidur.<br />
<br />
Ia membalik ke arahku. Matanya melotot. Aku seperti tidak sedang berhadapan dengan istriku. Wanita yang berada di hadapanku seolah sosok orang asing yang tak kukenal. Dari kilatan matanya aku menarik maknanya. Pasti dia berbalik menyalahkanku. Ia pasti menudingku sebagai biang keladi dari semua ini. Ia tidak akan bersikap seperti itu seandainya akau tidak salah langkah.<br />
<br />
"Apakah sudah tidak ada kata maaf untuk Bapak? Apakah hati Mama betul-betul sudah tertutup untuk Bapak? Mama pernah bilang bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Pengampun, dan Maha Penerima Tobat. Seberat apa pun dosa manusia pasti diampuni-Nya. Tetapi mengapa sekarang Mama demikian keras dan tidak mau menerima permintaan maaf dari Bapak?" kataku.<br />
<br />
Matanya semakin berkilat. Ia memalingkan wajahnya. Matanya menatap ke ujung tembok, seakan ingin menembusnya. Kulihat tiba-tiba dadanya naik-turun dengan kencang. Tubuhnya bergetar hebat. Matanya semakin melotot. Lalu ia berteriak keras sekali. Aku terperanjat. Cepat-cepat kupeluk sambil kuucapkan laimat toyibah di telinganya.<br />
<br />
Setiap hari aku tidak berani keluar rumah. Aku terus mengawasi istriku. Peristiwa percobaan bunuh diri dengan pisau waktu itu membuatku semakin cemas. Seandainya ia kujauhi, bukan hal yang mustahil ia betul-betul akan menghabisi nyawanya sendiri. Jika itu terjadi, aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi pada anak-anakku. Mungkin ia akan dicemooh oleh temen-temannya dan akan dituduh sebagai anak dari orang yang tak beriman.<br />
<br />
Malam itu aku duduk di tengah rumah. Meski kantuk sudah menggelayut di mataku, aku berusaha untuk menahannya dengan menyeduh kopi sambil menonton siaran televisi. Kupindah-pindah channel-nya. Tak ada yang menarik. Sekuat apa pun aku menahan kantun akhirnya tidur juga. Kantuk membawaku ke alam impian. Dalam mimpiku aku melihat ada banjir yang besar. Kulihat anak dan istriku terbawa banjir. Aku berhasil menyelamatkan anak-anakku meskipun keadaan mereka cukup payah. Sayangnya, aku tak mampu menyelamatkan istriku. Ia terus timbul tenggelam di dalam air kemudian hilang dibawa arus.<br />
<br />
Aku terbangun. Ada tangis keras. Tangisan anakku. Aku mengusap wajag menghilangkan rasa pusing.<br />
<br />
"Ada apa, Nak?" tanyaku. Aku teringat mimpiku.<br />
<br />
"Mama, Pak. Mama....."<br />
<br />
"Kenapa Mama?"<br />
<br />
"Mama, Mama, Pak!" anakku menunjuk ke kamar.<br />
<br />
Aku segera berlari ke kamar istri. Astgfirullah! Aku tak percaya pada penglihatanku. Istriku sudah menggelantung. Tubuhnya kaku. Matanya melotot, dan lidahnya menjulur keluar. Tubuhku gemetar. Hilang keseimbanganku. Aku terduduk lemas. Ya, Allah ampunillah dosanya. Ampunilah dosa dan kesalahanku. Semua ini terjadi karena aku. Jangan Kausiksa dirinya ya, Allah.<br />
<br />
Kurasa langit seakan runtuh. Dunia terasa sangat gelap dan beku. Aku tak bisa berkata apa-apa kecuali menangis. (Tamat)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-91522232825225430462012-02-12T02:12:00.000-08:002012-02-12T02:12:00.768-08:00Dramatika Hidup Seorang Karyawan Periklanan (3)<b>Istriku Mencoba Bunuh Diri</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Ujang Deden yang semula sangat optimis akan mendapatkan keuntungan dari bisnis tanah bersama Alex, hanya mampu gigit jari. Usaha yang dijalankan Alex ternyata bangkrut dan meninggalkan banyak utang. Bagaimanakah nasib Ujang? Bagaimana hutang ke kantornya? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis Kuswari untuk Anda. Semoga dapat diambil hikmahnya.<br />
<br />
"Terus kita mau tinggal di mana? Anak-anak mau tinggal di kolong jembatan? Mengapa semua ini terjadi? Aku dulu kan sudah bilang. Jangan ambil risiko!" kata istriku sambil menangis.<br />
<a name='more'></a><br />
Ia membantingkan tubuhnya ke atas tempat tidur sambil terus menangis. Aku semakin bingung menghadapi istriku. Kian hari istriku kian murung dan sikapnya semakin tertutup. Ia lebih suka mengurung diri di kamar, hanya sesekali keluar kalau mau melaksanakan salat. Bahkan waktu makan pun ia tidak pernah keluar. Ia seperti sedang mogok makan. Tubuhnya semakin kerontang. Ah, aku merasa berdosa. Semua ini karena salahku.<br />
<br />
Beberapa kali aku mencoba meminta maaf padanya tetapi ia tetap dingin dan tidak merespon ucapanku. Ia hanya menjawab dengan tangis atau kadang-kadang dengan gumaman yang seolah ditujukan pada dirinya sendiri.<br />
<br />
"Aing mah cumah hirup ge. Euweuh nu ngadenge. Mending keneh paeh sakalian. Rek naon hirup oge, asa taya gunana pisan," katanya.<br />
<br />
Astagfirullahal 'Azhiim. Mengapa istriku jadi seperti ini? Bukankan ia seorang wanita yang beragama? Ia sangat taat beribadah kepada Allah dan sering mengajarkan kebaikan pada anak-anak, mengajar mengaji, mengajar akhlak? Aku memang bersalah. Aku memang egois dan tidak mau mendengar saran istriku. Kesalahanku terlalu banyak sehingga istriku pun tak mau memaafkan.<br />
<br />
Kasihan kedua anakku. Mereka belum dewasa. Anakku yang pertama baru berusia 15 tahun dan yang kedua 10 tahun. Di usia ini mestinya mereka mendapatkan kasih sayang yang penuh dari orangtua, dari ibu dan ayahnya. Tapi kenyataannya mereka sekarang malah dihadapkan pada seubuah kenyataan yang mengganggu perkembangan psikologis mereka. Mereka juga terlihat murung, tidak bergairah, bahkan secara fisik kelihatan kusut. Padahal sejak kecil mereka dirawat dengan baik, pakaian bersih, makanan bergizi, hidup dengan ceria.<br />
<br />
"Ma, kenapa Mama jadi begini? Mengapa Mama gak mau bicara. Aa dan Ade 'kan tidak punya dosa? Mengapa Mama memusuhi Aa sama Ade? Apa Mama sudah gak sayang lagi sama Aa?" Kudengar kata-kata si sulung suatu saat.<br />
<br />
Ibunya tetap bergeming. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.<br />
<br />
Hatiku perih sekali. Kata-kata yang keluar dari mulut anakku seakan mengoyak-ngoyak ulu hatiku. Aku memang salah. Akibat kesalahanku, anak-anakku pun menjadi korban. Mereka kehilangan keceriaan, mereka kehilangan kasih sayang, mereka kehilangan ibunya. Aku tidak tahan. Air mataku menetes di pipi, tapi cepat-cepat kuusap. Lalu kutarik nafas dalam-dalam.<br />
<br />
Suatu hari aku sangat terkejut. Tiba-tiba saja istriku berteriak keras tanpa sebab. Ia keluar dari kamar menuju dapur. Matanya memerah. Rambutnya kusut sekali.<br />
<br />
"Aing mah geus bosen hirup! Mending paeh tibatan kudu kieu mah!" katanya sambil mengambil pisau.<br />
<br />
Aku berlari mengejarnya. Kupukul tangannya sekuat tenaga hingga pisau yang berada di tangannya terlepas. Kurangkul kuat-kuat. Ia memberontak sambil terus berteriak penuh nafsu mengeluarkan kata-kata yang tidak biasa kudengar dari mulutnya.<br />
<br />
Melihat keadaan ibunya seperti itu, kedua anakku menangis. "Ma, jangan begitu, Mah! Sadarlah!" kata si sulung.<br />
<br />
Ia segera mengambil segelas air putih lalu ditempelkan di mulut ibunya. Sementara aku masih tetap merangkulnya .<br />
<br />
Perlahan-lahan tenaganya terasa mengendur. Badannya mulai lemas. Lalu kupapah menuju kamar dan kubaringkan di atas tempat tidur. Kulihat tubuhnya semakin kecil. Lalu kulihat butiran air mata deras keluar dari kelopak matanya yang semakin cekung. Dadanya berguncang. Ia menangis sambil menggigit bibir.<br />
<br />
"Sabar, Ma! Istigfar! Mama kan orang mengerti. Mengapa harus begini? Kalau ini salah bapa, maafkanlah. Coba lihat anak-anak kita. Mereka masih membutuhkan Mama!" ucapku lirih.<br />
<br />
Tak ada reaksi. Ia tetap menagis. Sementara kedua anakku duduk di dekat kakinya dengan mata sembab. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-52316298696615971512012-02-11T02:11:00.000-08:002012-02-11T02:11:00.331-08:00Dramatika Hidup Seorang Karyawan Periklanan (2)<b>Semua Terjadi karena Keteledoranku</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Ujang Deden yang sangat sukses dan dipercaya perusahaannya dalam bidang periklanan tiba-tiba tergiur oleh usaha investasi tanah. Laki-laki bernama Alex mendatangi dan meyakinkannya bahwa usaha itu sangat menjanjikan. Sukseskah Ujang? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis Kuswari. Semoga menjadi cermin.<br />
<br />
BULAN berganti bulan, bonus yang dijanjikan Pak Alex tidak juga aku terima. Bahkan Pak Alex berkali-kali kutelepon, tidak pernah mau menjawab. Aku mulai jengkel. Kudatangi kantornya. Aku hanya diterima oleh sekretarisnya. Sang sekretaris bilang bahwa Pak Alex sedang pergi ke luar Jawa.<br />
<a name='more'></a><br />
"Pulangnya kapan?" tanyaku.<br />
<br />
"Sekarang ini bapak jarang pulang. Terus terang saja, saya pun di sini sudah 2 bulan belum mendapat gaji," kata sang sekretaris dengan wajah memalas.<br />
<br />
Aku menggigit bibir dan menarik napas panjang. Ada rasa kecewa dalam hati. Kalau pegawainya saja tidak digaji, apalagi uang bonus yang dijanjikan padaku, jangan-jangan uangku amblas.<br />
<br />
"Perusahaan ini dalam keadaan kolaps. Banyak utang di mana-mana," katanya lagi.<br />
<br />
Duk! Seakan ada yang menonjok ulu hatiku mendengar ucapan sang sekretaris. Ingin sekali aku berteriak dan menumpahkan kemarahanku, tapi pada siapa? Sekretaris itu pun tampak tidak berdaya. Dia termasuk orang yang dizalimi.<br />
<br />
Impian indah dan kebahagiaan yang terbayang dalam benakku perlahan-lahan mulai memudar. Berubah menjadi hantu yang sangat menakutkan. Terbayang wajah istriku, aku merasa sangat bersalah. Mengapa aku tidak mendengar sarannya. Mengapa aku egois dan keras kepala. Aku mendesah. Kepala tiba-tiba terasa pening. Mataku berkunang-kunang. Keringat dingin mulai mengucur di tengkukku. Tubuhku ambruk dan tidak ingat apa-apa lagi.<br />
<br />
Ketika sadar, aku sudah berada di rumah. Kudapati istriku sedang menangis di atas dadaku. Aku mencoba mengingat peristiwa yang membuat aku pingsan. Tubuhku gemetar membayangkan wajah Pak Alex yang sudah ingkar janji. Tanganku mengepal. Gigiku gemeretak. Andai saja orang itu ada di hadapanku, mungkin sudah kuhabisi.<br />
<br />
"Sudahlah. Tidak perlu kausesali. Nasi sudah menjadi bubur," ucap istriku.<br />
<br />
Hatiku terasa semakin perih.<br />
<br />
Ketika aku mencoba kembali ke kantornya, dengan harapan dapat bertemu dengan Pak Alex, hatiku semakin sakit, tubuhku semakin lemas. Ternyata kantor Pa Alex sudah disita oleh bank karena terlilit hutang. Tak ada orang yang bisa kutemui di tempat itu kecuali tulisan besar di pintu depan: "Kantor Ini Telah Disita".<br />
<br />
Selain ditagih oleh perusahaan, aku terus dikejar-kejar debt collector karena aku pun meminjam uang ke bank untuk menutupi beberapa kebutuhan lain. Haduh, kepalaku seakan mau pecah. Setiap hari terasa bergolak dan panas. Rasanya aku sudah tidak betah lagi berada di rumah. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya, tetapi itu tidak boleh aku lakukan karena aku punya anak dan istri. Bagaimana pun aku harus tetap bertanggung jawab pada mereka.<br />
<br />
Hari demi hari kulalui dengan penuh ketegangan. Aku terus berpikir, dari mana aku mencari uang untuk melunasi utang ke perusahaan dan untuk membayar cicilan ke bank. Anehnya, semakin keras aku berpikir semakin terasa gelap. Kepalaku semakin berdenyut-denyut dan jantungku berdebar sangat kencang. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-47576510901393281742012-02-10T02:09:00.000-08:002012-02-10T02:09:00.974-08:00Dramatika Hidup Seorang Karyawan Periklanan (1)<b>Aku Sukses karena Bekerja Keras</b><br />
KISAH ini dialami oleh Ujang Deden, seorang mantan karyawan sebuah perusahaan media massa di bagian periklanan. Dia seorang pekerja keras sehingga meraih suskses kemudian dipercaya oleh perusahaannya. Suatu hari dia tergiur oleh oleh bisnis tanah setelah berjumpa dengan pria bernama Alex. Sukseskah? Inilah kisah hidupnya yang diceritakannya pada Kuswari sebelum Ujang meninggal tahun 2010 lalu.<br />
<br />
AKU dilahirkan di Cianjur dan bekerja di sebuah harian koran ternama di Bandung. Aku merintis karier dengan menjadi sales iklan. Memang tidak mudah bekerja sebagai orang lapangan, namun aku sudah telanjur menyukai pekerjaan itu. Aku ditugaskan di Ciamis, alhamdulillah aku bisa menyesuaikan diri di kawasan itu. Sedikit demi sedikit pekerjaanku mendapat respon dari pimpinan sebab aku mampu mengumpulkan iklan yang cukup banyak setiap bulannya.<br />
<a name='more'></a><br />
Aku berusaha bekerja sebaik-baiknya untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik. Ketika aku sedang merintis karier bidang periklanan, aku bertemu dengan seorang gadis. Aku terpana oleh kelembutan suaranya saat dia membacakan ayat-ayat suci Alquran. Dia seorang santri di pesantren ternama di Ciamis. Dia pun ikut dalam grup musik kasidah dan sebagai vokalis, karena memang memiliki suara yang merdu dan indah.<br />
<br />
Aku semakin tertarik pada wanita yang lugu dan sederhana itu, sehingga aku berusaha mendekatinya dan mengenalnya lebih dekat. Dia gadis yang sangat ramah. Banyak pemuda tertarik padanya.<br />
<br />
Aku beruntung sebab diterimanya dengat baik. Mungkin karena aku sudah bekerja dan punya sepeda meskipun tidak terlalu bagus. Sementara pemuda yang menginginkannya rata-rata belum bekerja. Rasa percaya diriku meningkat apalagi ketika kedua orangtuanya menyambut gembira kehadiranku di rumahnya. Imas, nama gadis itu, menerima cintaku.<br />
<br />
Kami tidak terlalu lama berkenalan. Orangtuanya khawatir terjadi fitnah di antara kami, kami pun akhirnya dipertemukan di pelaminan. Suka sama suka dan diredai kedua orangtua kami.<br />
<br />
Hari pernikahan merupakan hari yang bersejarah bagi kami. Istriku yang membacakan Alquran. Aku bangga dan bahagia mendengar ayat-ayat suci dari lantunan merdu suara istriku. Aku harap istriku bisa membawaku menjadi manusia yang lebih baik di bawah bimbingan wahyu Allah.<br />
<br />
Aku bahagia bisa mendapatkan seorang istri yang fasih membaca Alquran dan sangat rajin mengajar mengaji kepada anak-anak di mesjid. Aku pun semakin bersemangat bekerja dan berusaha menggapai impian untuk bisa mendapatkan rumah sendiri. Berkat ketekunan bekerja serta aku rajin mendatangi perusahaan besar, aku pun mendapat order iklan yang cukup lumayan besar. Sedikit demi sedikit kutabung di bank.<br />
<br />
Aku membeli tanah di Ciamis. Kemudian kubangun rumah. Alhamdulillah tahun berganti aku bisa lebih sejahtera dan bisa pula membeli kendaraan motor untuk keperluan bekerja.<br />
<br />
Suatu ketika aku dipindahtugaskan ke Bandung karena di Bandung membutuhkan tenaga pemasaran untuk penerbitan sebuah koran. Tentu saja aku tidak bisa menolak mendapat tugas dari pimpinanku. Kutinggalkan Ciamis dan berkarier di Bandung.<br />
<br />
Untuk sementara aku mengontrak sebuah rumah sederhana bersama istri dan kedua anakku. Sementara rumah di Ciamis dikontrakkan dan dititipkan kepada mertuaku. Hanya sebulan sekali ke Ciamis untuk sekadar menengok rumah.<br />
<br />
Di Bandung aku harus melangkah dari nol kembali, meski aku berkeyakinan peluang sebagai tenaga pemasaran iklan sangat prospektif, apalagi kota ini merupakan pusat pemerintahan dan menjadi kota kedua terpadat setelah Jakarta. Di samping itu, berbagai perusahaan tersedia dan bisa dimanfaatkan untuk pemasangan iklan.<br />
<br />
Jual beli tanah<br />
<br />
Setahun aku melangkah mencari iklan belumlah mendapatkan order yang besar, namun di tahun kedua dan selanjutnya, sungguh di luar dugaan, aku mampu melobi perusahaan sehingga order pun mencapai ratusan juta.<br />
<br />
Namun kuakui kalau aku melobi pemasang iklan, harga yang kuberikan berbeda dengan sales lain, aku memberi harga yang lebih rendah, sehingga menarik pemasan iklan. Aku mendapat komisi tidak besar, namun aku merencanakan akan jual beli tanah dari uang yang kuperoleh dari iklan. Jadi aku bisa mendapat untung besar dari jual beli tanah.<br />
<br />
Uang yang kuperoleh dari iklan, yang biasanya aku setorkan langsung ke bank, kali ini aku manfaatkan untuk berinvestasi dengan membeli tanah. Aku sangat yakin bisnis tanah akan menguntungkan berlipat-lipat, apalagi saat aku diyakinkan oleh Pak Alex bahwa dia telah mengalami keuntungan dalam bisnis tanah.<br />
<br />
"Pak Ujang tak perlu khawatir, tanah itu akan semakin mahal, apalagi di masa nanti akan banyak dibangun perumahan," ujar Pak Alex meyakinkan aku agar aku segera memasukkan uang ke rekening atas nama dirinya.<br />
<br />
"Saya bukan ragu, tapi terus terang saja uang yang ada pada saya sebagian bukan uang saya, tetapi uang perusahaan," ujarku.<br />
<br />
"Jangan ragu, Pak, saya akan siap membayar uang perusahaan jika saya gagal dalam bisnis tanah ini," ujarnya meyakinkanku.<br />
<br />
Tergiur dengan ucapan yang sangat menggoda keuntungan, maka esok harinya tanpa bicara dengan istriku aku segera mengambil uang di bank seratus juta rupiah untuk dipindahkan ke rekening Pak Alek, lelaki yang baru 2 bulan aku kenal di kantor sebuah perumahan di Bandung.<br />
<br />
Menurut Pak Alex, uang yang seratus juta itu akan dipergunakan untuk investasi membeli tanah di sebuah kawasan Bandung Timur sebab daerah tersebut sedang dipersiapkan menjadi kawasan yang ramai. Tentu saja aku percaya pada lelaki berpeawakan tinggi besar yang selalu naik mobil. Untuk lebih meyakinkanku, Pak Alek menyebutkan beberapa perumahan yang siap untuk dibangun atas nama perusahannya.<br />
<br />
Sesuai perjanjian dalam waktu 1 bulan aku akan dapat keuntungan 30 persen. Ketika akan diberikan kepadaku melalui rekening, Pak Alex berkata "Bagaimana kalau uang itu diberikan pertiga bulan saja, agar dapat untung besar. Jangan khawatirlah, pokoknya kamu dapat untung dari bisnis tanah ini."<br />
<br />
Aku pikir betul juga, 3 bulan ke depan aku akan dapat untung berlipat. Ke kantor biar kukatakan bahwa uang masih berada di pemasang iklan dan berbagai alasan bisa aku kemukakan. Namun aku pun berusaha untuk mencicil utang sedikit demi sedikit ke kantor.<br />
<br />
Hari berganti hari aku sudah yakin akan mendapat keuntungan yang berlipat-lipat. Ketika kusampaikan kepada istriku akan aku mendapat untung dari investasi yang sudah kuberikan, terlihat wajah istriku yang tidak bersemangat. "Lo, Mamah kok terlihat enggak bergairah. Ada apa?" tanyaku.<br />
<br />
"Enggak apa-apa. Tapi sejak beberapa hari ini aku bermimpi buruk. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan," katanya.<br />
<br />
"Mimpi apa?" Aku penasaran.<br />
<br />
"Rumah yang kita tempati ini terbawa banjir besar. Aku tidak bisa menyelamatkan diri. Aku terbawa banjir besar," jawabnya.<br />
<br />
Aku menarik napas dalam-dalam dan berkata pelan, "Mudah-mudahan tidak akan ada sesuatu yang tidak kita inginkan."<br />
<br />
Meski sedikit terganggu dengan mimpi istriku, aku meyakinkan diri bahwa Pak Alex benar-benar seorang pengusaha jujur dan bertanggungjawab terhadap keuangan yang aku investasikan. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-22917025169981136842012-02-05T20:35:00.000-08:002012-02-05T20:35:00.239-08:00Penyesalan Selalu Datang Terlambat (6-tamat)<b>Ikhlas Melepaskan Si Bungsu</b><br />
DADANG yang mendapati anaknya sakit sepulang merantau, segera melakukan berbagai cara demi kesembuhan anak bungsunya itu. Dari mulai pengobatan medis di rumah sakit hingga hal-hal yang berbau klenik dengan mendatangkan "orang pintar" dilakukannya, namun semuanya tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Kasih tetap tergolek lemah di tempat tidurnya dengan keadaan yang makin mengkhawatirkan. Dadang kemudian mendapat kabar penyakit Kasih disebabkan ulah Andi yang kembali rujuk dengan istrinya. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Dadang kepada Ela Hayati.<br />
<br />
AKU tak tahu apakah ia merasa bangga dengan tindakannya itu dan merasa diri menjadi Arjuna. Yang aku tahu, begitu lelaki brengsek itu muncul, tanganku sangat gatal ingin "mempermak" mukanya. Namun hasratku yang sangat besar untuk menghakimi lelaki yang telah membawa bencana bagi anakku itu tidak kesampaian karena orang-orang berusaha menahan dan menenangkanku. Empat orang pria harus bekerja keras menjauhkan aku dari Andi.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Beberapa orang lainnya harus menahan anak sulungku yang beberapa kali hendak melayangkan bogem mentah kepada orang yang telah menghancurkan hati adiknya itu. Andi tidak melawan, hanya bisa tertunduk dan tampak pasrah pada apa yang akan terjadi.<br />
<br />
Saat itu juga digelar rapat darurat. Ketua RT menjadi fasilitatorku --aku sendiri saat itu sudah tidak mungkin diajak berunding dengan kepala dingin-- saat berunding dengan ketua RT di tempat Andi tinggal. Disepakati, si Andi harus datang ke rumahku untuk menjenguk Kasih. Ia diminta mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Kasih. Andi yang nyalinya sudah menciut, hanya bisa mengangguk tanpa mempu mengeluarkan suara.<br />
<br />
Dikawal beberapa orang tetangga dan sesepuh kampung, Andi akhirnya datang menyambangi rumahku. Dengan setengah diseret ia dibawa masuk ke kamar anakku. Begitu melihat kondisi anakku, Andi tampak terkejut dan hanya berdiri mematung. Aku langsung berteriak memerintahkannya untuk berlutut di depan anakku.<br />
<br />
Kasih, yang selama berbulan-bulan, bahkan nyaris setahun hanya tergolek lemas dengan mata yang kuyu, melihat kedatangan Andi tampak bereaksi. Matanya yang selama ini redup, tampak menampakkan sedikit binarnya.<br />
<br />
"Kang...Kang Andi...?" katanya dengan suara yang sangat lirih.<br />
<br />
Adegan yang terjadi kemudian adalah Andi menangis sambil memegang kedua tangan anakku, memohon maaf dan ampunan. Ia tak tahu apa yang telah diperbuatnya telah membuat anakku sangat sengsara dan merana. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa anakku sangat mencintainya dengan sepenuh hati. Ia beralasan kembali rujuk dengan istrinya demi menyelamatkan rumah tangganya dan demi anak yang dikandung istrinya. Menurutnya, ia pun sebenarnya tidak tega telah meninggalkan Kasih begitu saja, namun ia tidak memiliki pilihan lain.<br />
<br />
Sebagai bentuk penebus kesalahan, Andi menyatakan bersedia menikahi Kasih dan akan mengganti biaya pengobatan yang selama ini kukeluarkan. Kedua tawaran itu kontan kutampik saat itu juga. Istriku yang ikut emosi melihat batang hidung Andi, berteriak-teriak tidak sudi menerima Andi sebagai menantunya.<br />
<br />
Kukatakan bahwa aku tidak minta penggantian biaya ataupun mengharuskannya menikahi anakku. Yang kuinginkan adalah ia menyaksikan sendiri akibat perbuatannya yang telah menyengsarakan orang lain. Yang aku inginkan, ia ikut merasakan penderitaan anakku, menyesali perbuatannya, dan menyadari bahwa dirinya adalah lelaki bejat yang sama sekali tak berguna. Aku ingin dia menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran dan selalu bermimpi buruk karenanya.<br />
<br />
Aku tidak tahu apakah saat itu keputusanku tepat atau tidak, tapi aku memang tidak melihat jalan lain sebagai alternatif untuk mengembalikan harga diri anakku yang telah dicabik-cabik dengan sewenang-wenang.<br />
<br />
Yang pasti, keesokan harinya setelah kedatangan si Andi, kondisi Kasih semakin memburuk. Beberapa kali ia muntah namun tak ada yang bisa keluar karena perutnya memang tidak pernah terisi. Tubuhnya yang tinggal tulang sering kejang, sebelum kemudian ia kehilangan kesadaran.<br />
<br />
Tak mau menunggu lama, aku segera memboyong Kasih ke rumah sakit. Aku yang sudah dalam taraf nyaris putus asa, berharap semoga Allah Yang Mahabijaksana memberikan jalan yang terbaik untuk anakku.<br />
<br />
Setelah dua belas jam berada di ruang gawat darurat rumah sakit, Jumat dini hari, anakku Kasih akhirnya mengembuskan napasnya yang terakhir. Ia pergi dengan tenang dalam pelukanku dan ibunya. Ia meninggalkan kami seperti saat ia lahir, diiringi doa dan keridaan kami orangtuanya. Bagi kami, Kasih adalah anak yang salehah. Yang terbaik yang pernah dititipkan Allah SWT kepada kami. Kenangan bersamanya, saat sehat dan saat ia terbaring sakit, akan kami kenang abadi selamanya. Kami berdua menangis, namun seluruh jiwa kami dipenuhi keikhlasan.<br />
<br />
Bakda zuhur, Kasih dimakamkan di pemakaman umum kampung kami. Tempat peristirahatannya berdampingan dengan neneknya. Kedua perempuan yang kucintai itu kini bersisian dalam keabadian. Sering terlintas dalam pikiranku, sungguh tidak selayaknya seorang bapak menguburkan buah hatinya. Seorang ayah semestinya mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan yang gilang gemilang. Namun kemudian kusadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah tercatat dalam Lauhul Mahfuz, sudah digariskan Yang Mahakuasa, sebagai takdir bagi makhluk-Nya. **Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-47012704603147644262012-02-04T20:37:00.000-08:002012-02-04T20:37:00.516-08:00Penyesalan Selalu Datang Terlambat (5)<b>Ikhtiar yang Berujung Gagal</b><br />
SETELAH berbulan-bulan bekerja sebagai buruh di sebuah pembangunan resor di Bali, Dadang akhirnya pulang. Namun, apa yang didapatnya sepulang dari merantau tidak seindah yang diangan-angankannya. Kasih, anak yang paling disayanginya, jatuh sakit akibat penderitaan batin, sehingga keadaannya sangat menyedihkan. Dadang pun segera membawa anaknya ke rumah sakit. Ia berharap anaknya bisa kembali pulih. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Dadang kepada Ela Hayati.<br />
<br />
SEPERTI aku, setelah beberapa minggu mempercayakan perawatan anakku di rumah sakit, terpaksa harus membawa si bungsu Kasih kembali ke rumah. Kesembuhan anakku yang kuharapkan ternyata tidak terwujud, karena penyakit Kasih memang penyakit batin. Selain itu, setiap hari biaya perawatan Kasih terus membengkak. Hasil kerja kerasku selama berbulan-bulan di Pulau Bali nyaris habis untuk membayar biaya Kasih selama dirawat di rumah sakit dan membeli resep. Karena itu, dengan berat hati kubawa kembali Kasih ke rumah.<br />
<a name='more'></a><br />
Tak mempan dengan perawatan dari dokter, aku pun mulai mencoba merambah pengobatan alternatif dan hal-hal yang berbau klenik. Beberapa "orang pintar" yang katanya sanggup mengusir roh jahat dan mengobati penyakit batin, kuundang untuk mengobati anakku. Namun semuanya nihil, para dukun itu pun menyerah.<br />
<br />
Akan tetapi aku tidak mau menyerah, selama aku hidup dan masih mempunyai uang akan kuusahakan sebisanya. Setiap kudengar ada orang yang memiliki kemampuan menyembuhkan, pasti kusambangi untuk memintanya mengobati anakku. Dan karena tidak mungkin membawa-bawa anakku yang sakit ke mana-mana, biasanya "orang pintar" itulah yang datang ke rumahku. Hal itu tentu saja membuat biaya pengobatan semakin bengkak karena aku juga harus menanggung biaya transportasi. Hasilnya? Aku kembali harus gigit jari. Kondisi Kasih sama sekali tidak membaik. Tubuhnya yang semula montok, kini bagaikan boneka skeleton yang dilapisi kulit. Kedua matanya cekung dengan bola mata yang tampak besar dan ganjil. Pipi-pipinya yang dulu penuh dan berisi, kini menjorok ke dalam dan hanya ditopang tulang rang yang semakin menonjol. Sama sekali tidak ada daging di sana.<br />
<br />
Hampir setahun aku berusaha menyembuhkannya melalui berbagai macam cara yang aku mampu tanpa kenal lelah. Selama itu setiap hari yang menyita pikiranku adalah bagaimana agar anakku sehat kembali. Tak terhitung doa yang kupanjatkan kepada Yang Mahakuasa agar anakku disembuhkan kembali. Aku pun meminta kepada-Nya diberi kekuatan dan ketabahan menghadapi cobaan ini. Karena satu yang sangat kutakutkan dalam menghadapi musibah ini, aku putus asa dan menyerah.<br />
<br />
Selain melakukan berbagai macam pengobatan, aku juga berusaha mencari tahu penyebab penyakit anakku. Dan karena Kasih tidak pernah mau bercerita --bahkan walaupun aku memaksanya dengan sedikit kasarkarena terbakar emosi-- aku meminta anak sulungku untuk "bergerilya" mencari tahu. Kusuruh dia menanyai teman-teman Kasih barangkali mereka tahu apa yang terjadi pada hubungan anak bungsuku itu dan si Andi.<br />
<br />
Beberapa hari kemudian aku mendapat laporan yang pasti mengenai penyebab malapetaka yang menyerang anakku. Hubungan Kasih dan si Andi memang telah lama berantakan. Dan itu terjadi karena kebrengsekan lelaki itu. Setelah puas menikmati "indahnya" cinta dengan anakku dengan berbagai cumbu rayu dan janji akan menikahi, ia pergi begitu saja meninggalkan Kasih yang kadung dimabuk asmara. Menurut kabar, si Andi rujuk kembali dengan istrinya. Tanpa merasa berdosa, ia meninggalkan anakku yang telah menyerahkan segalanya karena termakan rayuan gombalnya. Rupanya selama ini, Kasih, anak bungsu kesayanganku, anak gadisku satu-satunya, hanya dijadikan selingan dan pelampiasan nafsu lelaki bejat itu.<br />
<br />
Kabar terbaru yang kuterima itu tentu saja membuat emosiku meledak. Dengan diantar anak sulungku, aku meminta diantarkan ke rumah si Andi. Walaupun istriku dan beberapa tetangga berusaha mencegah, namun aku tetap memaksa. Gelap sudah seluruh akal sehatku terbakar oleh bara amarah. Mungkin karena khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan, ketua RT dan sesepuh kampung membuntutiku menuju rumah si Andi.<br />
<br />
Tiba di tempat yang dituju, aku langsung menggedor-gedor pintu dan berteriak-teriak meminta si Andi keluar. Kegaduhan itu tentu saja membuat beberapa tetangga di sekitar berdatangan ingin mengetahui apa yang terjadi. Ketua RT berusaha menenangkanku, namun sama sekali tak kudengar. Aku justru semakin kalap dengan semakin keras berteriak dan memaki si Andi. Anak sulungku yang sama-sama emosi, kusuruh berjaga di pintu belakang, jangan sampai si Andi keluar dari sana dan kabur.<br />
<br />
Setelah beberapa lama, si Andi akhirnya menampakkan batang hidungnya dengan wajah yang pucat seperti mayat. Ia pasti sudah bisa menduga apa yang sedang terjadi. Ia pun pasti sudah mengetahui apa yang terjadi pada anakku Kasih akibat ulahnya. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-11475852206189945512012-02-03T20:36:00.000-08:002012-02-03T20:36:00.313-08:00Penyesalan Selalu Datang Terlambat (4)<b>Kejutan Sepulang Merantau</b><br />
SELAMA bekerja di Bali, Dadang terkadang dilanda kekhawatiran mengenai kabar Kasih. Beruntung menurut istrinya, sikap Kasih sudah kembali normal seperti biasa. Meski demikian, dalam hati sebenarnya Dadang merasa kurang srek pada Andi, pacar anak bungsunya itu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada lelaki itu. Namun, ia tak bisa terlalu larut memikirkan hal itu karena kesibukannya yang menyita tenaga. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Dadang kepada Ela Hayati.<br />
<br />
AIR mulai menelusup ke dalam sepatuku ketika aku melewati tugu batas kampung. Di dalam pos ronda kulihat seseorang duduk berselimut sarung dalam gelap. Tak jelas kulihat seperti apa wajahnya, mungkin hanya orang yang ikut berteduh.<br />
<a name='more'></a><br />
Hatiku berdebar ketika berbelok masuk gang menuju rumah. Sekitar empat-lima rumah harus kulewati sebelum sampai di tempat tinggalku. Entah kenapa, ada perasaan yang tidak enak tiba-tiba merayap di hatiku. Entahlah, mungkin karena terbawa suasana malam itu yang sepi dan hujan.<br />
<br />
Pintu rumah kulihat tertutup rapat dengan kain gorden yang tertutup. Pekarangan hanya diterangi lampu bohlam lima watt yang cahayanya temaram, tak mampu menembus tirai hujan yang mulai deras. Kuketuk pintu itu beberapa kali, namun tak ada jawaban. Lalu kupanggil nama istriku, agak keras karena tersilap oleh suara gemuruh hujan. Kulihat ada bayangan bergerak dari balik gorden menuju pintu dan membuka kunci.<br />
<br />
Begitu pintu terbuka kulihat istriku yang telah beberapa bulan kutinggalkan. Semula ia tertegun, namun sedetik kemudian ia tersenyum gembira . Diciumnya tanganku dan dipeluknya aku. Kemudian tiba-tiba ia menangis. Aku jadi heran karena itu bukan tangis bahagia.<br />
<br />
"Ada apa, Ma?" tanyaku.<br />
<br />
Sambil terisak, ia hanya menjawab dengan tangan yang menunjuk ke kamar si Kasih. Aku jadi penasaran dan dengan segera masuk ke kamar anakku. Di tempat tidur kulihat Kasih, anakku, tergolek lemas. Ia tampak pucat dan kurus dengan pipi-pipi yang cekung, sementara sorot matanya menatapku sayu.<br />
<br />
Menurut istriku, dalam dua bulan terakhir ini perut Kasih nyaris tidak terisi makanan. Ia sama sekali tidak berselera makan, dan pekerjaannya hanya mengurung diri di kamar dan menangis. Kalau ditanya apa penyebabnya, ia sama sekali bungkam dan justru marah-marah. Hal ini sama dengan kondisi ketika menjelang keberangkatanku ke Bali. Bedanya, waktu itu Kasih sembuh kembali dan belum separah ini.<br />
<br />
Aku sadar, anakku sakit bukan karena penyakit biasa yang menggerogoti tubuhnya, tapi ia terserang penyakit batin. Hatinya mungkin terluka entah kenapa sehingga ia ambruk seperti ini.<br />
<br />
Aku kemudian bertanya mengenai hubungan Kasih dengan Andi. Istriku hanya menggeleng. Rupanya ia tidak tahu apa-apa, tapi menurutnya kemungkinan Kasih dan Andi telah putus karena sudah lama lelaki itu tidak pernah menyambangi rumah lagi. Mendengar itu, aku langsung menduga itulah masalahnya. Kasih, anak perempuanku satu-satunya, memiliki perasaan yang halus dan sensitif. Pasti ia patah hati karena hubungannya dengan Andi kandas.<br />
<br />
Bagi orang lain, masalah cinta mungkin urusan sepele. Mereka yang jiwanya periang dan easy going, pasti akan terheran-heran melihat reaksi anakku akibat ditinggalkan pacar. Padahal orang lain ada yang bergonta-ganti pacar dalam hitungan minggu. Tapi tidak demikian dengan anakku, dia sangat perasa. Dulu ketika masih kecil, ia pernah menangis berjam-jam hanya karena burung peliharaanku yang terlepas dari kandang, diterkam kucing tepat di depan matanya.<br />
<br />
Urusan putus cinta semacam ini serius bagi anakku. Buktinya kini ia jatuh sakit dan sama sekali menolak mengisi perutnya. Pekerjaannya hanya mengurung diri di kamar dan menangis hingga matanya bengkak. Dan karena menurut anakku ini serius, maka aku akan menganggap masalah ini pun serius dan gawat. Ini menyangkut nyawa anak kesayanganku.<br />
<br />
Malam itu juga, dengan menyewa mobil angkot milik tetangga, aku membawa anakku ke unit gawat darurat rumah sakit. Biarlah anakku ditangani orang-orang yang profesional di bidang kesehatan. Setidaknya dengan diberi cairan infus, tubuh anakku akan pulih, syukur-syukur kalau ia sehat kembali seperti sediakala.<br />
<br />
Memang menurut dokter yang menangani anakku, sebenarnya tidak ada penyakit serius yang di derita Kasih. Ia hanya kurang gizi karena selama dua bulan nyaris tidak ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Meski demikian, aku meminta anakku dirawat di rumah sakit agar kondisinya terkontrol, setidaknya hingga mencapai derajat kesehatan yang minimal.<br />
<br />
Sebagai seorang ayah, aku sangat menginginkan anakku sembuh dan sehat kembali. Tak sedetik pun pernah terlintas dalam pikiranku untuk mengabaikan buah hatiku itu. Namun, ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat kita terkadang dengan terpaksa harus menyerah pada keadaan. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-22979321641894480732012-02-02T20:35:00.000-08:002012-02-02T20:35:00.456-08:00Penyesalan Selalu Datang Terlambat (3)<b>Bekerja Keras demi Keluarga</b><br />
PADA kisah sebelumnya, Dadang yang hendak pergi merantau ke Pulau Bali dilanda perasaan waswas karena anak bungsunya, Kasih kerap uring-uringan dan selalu mengurung diri di kamar. Tak hanya itu, mata Kasih pun selalu tampak sembab dan bengkak seperti orang yang habis menangis berlama-lama. Semua itu membuat Dadang khawatir. Beruntung dia memiliki istri yang pengertian dan mampu meredakan keresahan hatinya, sehingga ia pun membulatkan tekad untuk bekerja di Pulau Dewata. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Dadang kepada Ela Hayati.<br />
<br />
MENGENAI Andi, menurut istriku, lelaki itu seorang duda tanpa anak dan merupakan teman sekerja Kasih, cuma berlainan bagian. Andi pernah mengatakan bahwa ia sedang dalam proses perceraian dengan istrinya.<br />
<a name='more'></a><br />
Kabar tentang si Andi tidak terlalu mengenakkanku. Walaupun belum pernah bertemu, tapi rasanya aku kurang merasa setuju pada anak itu. Sebenarnya aku ingin Kasih tak usah meneruskan hubungan dengan lelaki yang status dudanya pun belum begitu jelas.<br />
<br />
Istriku memahami kekhawatiranku, karena dia juga merasakan hal yang sama. Namun, rupanya Kasih sudah telanjur jatuh hati pada Andi, sehingga akan sangat melukai hatinya kalau kami memaksa memutuskan pacarnya itu. Sanggahan istriku membuatku masygul, yah waktu ada sedikit masalah kemarin dengan Andi, Kasih bisa sampai uring-uringan seperti itu, apalagi kalau dipaksa putus. Tak dapat kubayangkan.<br />
<br />
Naluri seorang bapak sebenarnya aku ingin melindungi anakku dari berbagai hal yang berbahaya, namun aku juga tak mau membuat perasaan anakku terluka. Mengenai masalah Andi, ada semacam sirene dalam diriku yang mengingatkan ada yang tak beres pada lelaki itu, namun di sisi lain aku tak berdaya karena tak mau menghanguskan harapan di hati anakku yang sudah tumbuh dan mekar.<br />
<br />
Seperti sebelumnya, kuminta istriku membatasi pertemuan Kasih dan Andi, jangan terlalu diberi kebebasan. Aku pun mengharuskannya tahu setiap aktivitas Kasih per harinya, dari jam berapa hingga jam berapa, dan di mana keberadaannya. Istriku agak keberatan dengan permintaanku itu.<br />
<br />
Menurutnya, Kasih bukanlah anak kecil lagi yang harus didampingi dan dijaga ke mana-mana. Anak bungsuku itu pun pasti akan merasa risi kalau ibunya selalu mengekor ke mana pun pergi. Sebagai remaja yang sedang tumbuh, ia tentu membutuhkan ruang privasi untuk dirinya sendiri. Apalagi, kata istriku, urusannya bukan hanya Kasih. Ia pun sibuk harus menjaga dua cucu kami dari anak pertama, karena kedua orangtuanya sama-sama bekerja. Ya sudah, kataku pada akhirnya, lakukanlah sebisanya, asal jangan terlalu diberi kebebasan. Istriku menyanggupinya.<br />
<br />
Setelah percakapan itu, aku cukup lama tidak menghubungi istriku. Bukan tidak ingin melakukannya, namun pekerjaanku setiap hari di proyek sangat menyita waktu. Kami para pekerja kasar harus membanting tulang setiap hari hingga jauh malam. Deadline yang semakin mendekat membuat kami seperti dikejar-kejar anjing yang sedang senewen. Aku dan teman-temanku baru bisa benar-benar istirahat menjelang tengah malam, dan bangun lagi di pagi buta karena tumpukan pekerjaan masih menunggu. Lelah luar biasa. Sungguh aku tak punya tenaga lagi untuk pergi keluar mes untuk sekadar menelepon dari wartel. Biarlah tak mengapa, yang kuharap keluargaku baik-baik saja. Lagi pula kalau mengingat penghasilanku yang cukup besar untuk ukuran buruh kasar sepertiku, aku seperti diberi tenaga baru untuk tetap semangat bekerja.<br />
<br />
Pulang kampung<br />
<br />
Proyek pembangunan resor yang kami kerjakan akhirnya tuntas kami kerjakan sesuai jadwal. Setelah enam bulan bekerja bagaikan kuda beban, akhirnya aku dan kawan-kawan bisa pulang ke kampung halaman. Hatiku girang bukan kepalang, inilah saatnya aku bertemu lagi dengan keluargaku. Aku pulang dengan hati yang ringan karena uang upah dan bonus yang kuterima sangat besar untuk ukuranku.<br />
<br />
Dari Bali, aku dan tiga rekanku yang berasal dari Bandung naik kapal feri menyeberangi selat Bali, kemudian dilanjutkan dengan naik kereta api dari Surabaya. Perjalanan pulang aku lakukan dengan santai, tidak terburu-buru. Aku dan teman-teman singgah dulu di beberapa pasar dan pertokoan sekadar membeli oleh-oleh untuk buah tangan. Sebelumnya di Pulau Dewata, aku sempat membeli beberapa helai baju untuk Kasih dan dua cucuku.<br />
<br />
Tiba di Bandung menjelang sore hari, aku tidak langsung naik angkutan menuju rumah. Aku dan rekan yang lain diajak untuk singgah dulu ke rumah salah seorang teman karena katanya istrinya menyiapkan semacam jamuan untuk kami, rekan-rekan "seperjuangan" selama di Bali. Ajakan itu tentu saja kami sambut dengan sukacita. Bagiku memang tidak alasan untuk buru-buru pulang. Aku memang rindu pada keluargaku, tapi tidak ada salahnya menjalin silaturahmi dulu dengan keluarga temanku. Lagi pula rumah temanku itu tidak terlalu jauh dari Terminal Leuwipanjang.<br />
<br />
Aku baru benar-benar pulang menuju rumah selepas isya, dengan naik angkutan umum. Satu jam kemudian aku turun di dekat sebuah halte bus. Dari sini aku harus menyusuri jalan menuju kampungku dengan berjalan kaki.<br />
<br />
Jalan menuju kampungku sebenarnya cukup besar dan bisa dilalui mobil, namun tidak ada angkutan umum yang melaluinya. Maklumlah, jalan ini cuma jalan desa. Biasanya ada tukang ojek yang menunggu penumpang di mulut jalan. Namun, saat itu tidak satu pun batang hidung mereka yang kutemui. Mungkin mereka malas narik karena udara yang dingin mencucuk dan hujan gerimis yang cukup menjadi alas an untuk batal keluar rumah. Bahkan aku terpaksa harus mematahkan satu pelepah daun pisang di pinggir jalan untuk kujadikan payung, karena hujan mulai agak deras. Sepi, warung-warung dan rumah di pinggir jalan tak ada satu pun yang buka, padahal belum terlalu malam. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-80293463078489545062012-02-01T20:34:00.000-08:002012-02-01T20:34:00.906-08:00Penyesalan Selalu Datang Terlambat (2)<b>Dilanda Waswas Jelang Merantau</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Dadang yang hanya karyawan rendahan di sebuah pabrik, terkena PHK karena perusahaannya mengalami kemunduran. Akibatnya, Dadang pun harus kerja serabutan ke sana kemari untuk mencari nafkah. Beruntung ketiga anaknya sudah besar dan telah memiliki pekerjaan. Bahkan si bungsu Kasih yang beranjak remaja, juga telah memiliki penghasilan sendiri. Namun kemudian, ada yang mengganggu pikiran Dadang karena perilaku Kasih tiba-tiba berubah. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Dadang kepada Ela Hayati.<br />
<br />
SIAPA tahu Kasih menuliskan unek-unek tentang pacarnya itu di buku harian atau handphone. Bahkan yang paling ekstrem, aku akan menyuruh kakak Kasih untuk memata-matai si Andi. Belum jelas memang apa yang menyebabkan perubahan sikap Kasih, tapi segala hal bisa saja menjadi penyebabnya, termasuk lelaki yang bernama Andi.<br />
<a name='more'></a><br />
Aku sendiri agak menyalahkan istriku --dan tentu saja juga menyalahkan diriku sendiri-- karena begitu bebasnya membiarkan Kasih yang masih belia untuk bergaul dengan lelaki yang belum diketahui asal-usulnya. Aku pun kaget mendengar penuturan istriku bahwa Kasih sering diajak jalan keluar oleh Andi selama seharian dan baru pulang selepas isya.<br />
<br />
Terus terang aku agak marah pada istriku tentang hal itu. Karena itu ia kuwanti-wanti untuk menyelidiki siapa Andi, dan kuminta ia melarang Kasih untuk sementara bertemu dengan lelaki itu. Aku tak mau kalau tiba-tiba harus menanggung aib akibat pergaulan anakku yang kebablasan.<br />
<br />
Aku memang sangat khawatir mendengar kabar tentang Kasih. Apalagi aku akan pergi meninggalkan keluargaku untuk bekerja di Pulau Bali. Ada seorang teman yang mengajakku bekerja sebagai buruh bangunan di Pulau Dewata dalam proyek pembangunan sebuah resor. Ajakan itu tentu saja kusambut dengan gembira, apalagi bayarannya beberapa kali lipat lebih besar dari yang kuterima selama ini.<br />
<br />
Namun di sisi lain, tiba-tiba aku diserang rasa waswas melihat perilaku anak bungsuku akhir-akhir ini. Beruntung aku punya istri yang mengerti bagaimana perasaanku. Dia berjanji akan mengawasi Kasih seketat mungkin, dan mencari tahu apa penyebab masalahnya.<br />
<br />
"Berangkatlah, mumpung ada kesempatan baik. Jangan disia-siakan. Soal si Kasih, tak usah menjadi pikiran, nanti juga baik lagi. Maklumlah, anak remaja masih labil," katanya menenteramkanku.<br />
<br />
Merantau<br />
<br />
Beberapa hari kemudian, bersama beberapa orang teman, aku pun berangkat untuk mengadu nasib di Pulau Bali. Kami berangkat dengan naik kereta. Nanti di Jawa Timur, kami akan menyeberang ke Pulau Bali dengan naik kapal feri.<br />
<br />
Sepanjang perjalanan aku fokus pada apa yang akan kukerjakan nanti di Bali. Menurut temanku, kami dikontrak untuk bekerja di sana selama beberapa bulan hingga pembangunan resor tuntas. Hal itu membuatku girang bukan kepalang. Bukan apa-apa, akhirnya aku mendapat pekerjaan dengan upah yang lebih dari layak. Walaupun pekerjaan ini hanya dalam jangka waktu beberapa bulan, namun karena bayarannya besar, bagiku itu merupakan suatu anugerah. Daripada tinggal di kampung sendiri dan hanya berkutat menjadi tukang ojek yang penghasilannya per hari tak seberapa, pekerjaan di Bali tentu saja menjanjikan harapan yang besar bagiku. Apalagi sudah lama tidak ada perhiasan yang bergayut di leher istriku. Aku berjanji dalam hati, saat pulang nanti aku akan membelikan istriku dan si bungsu Kasih kalung yang indah.<br />
<br />
Setiba di Bali, hari-hariku kemudian diisi dengan rutinitas baru, bekerja membanting tulang di sebuah proyek besar pembangunan sebuah resor di tepi pantai. Pekerjaannya lumayan berat karena dimulai dari jam tujuh pagi dan baru usai sekitar pukul sembilan malam. Tentu saja itu sudah termasuk lembur enam jam. Rupanya sang kontraktor dikejar deadline yang sangat ketat, sehingga tenaga kami para pekerja dipacu seperti kuda beban. Sangat melelahkan memang, namun karena aku menjalaninya dengan rasa senang di hati, semua pekerjaan rasanya ringan saja. Aku justru sangat girang karena dengan banyaknya waktu lembur, semakin banyak pula tambahan penghasilanku.<br />
<br />
Apalagi selama bekerja di Pulau Dewata, aku cukup terhibur dengan pemandangan alam di sekitarku yang sangat menakjubkan. Setiap hari kala senja aku disuguhi mahakarya Tuhan yang merupakan karya seni tiada tara, sunset Pantai Kuta yang termasyhur di seluruh dunia. Banyak orang yang membayar mahal untuk menikmati keelokan alam ini, sementara aku berada di sini justru dibayar. Karena itu rasanya hilang segala penat dan lelah, berganti dengan decak kagum dan perasaan bersyukur dianugerahi secuil kecil keelokan semesta.<br />
<br />
Hal lain yang menjadi hiburan selama aku bekerja di pulau pariwisata ini adalah kami para pekerja dapat cuci mata setiap hari. Di sekitar tempat kami bekerja, lalu lalang para turis mancanegara yang dengan cueknya berpakaian luar biasa minim. Hanya dua helai kain yang mereka jadikan penutup bagian yang paling vital, sementara bagian tubuh lainnya dengan murah hati dipertontonkan ke mana-mana. Bagiku yang hanya orang kampung, pemandangan itu sungguh mengejutkan. Terasa sekali ada semacam culture shock. Padahal aku masih berpijak di bumi Indonesia! Tapi sebagai lelaki normal, hal itu menjadi hiburan juga bagiku dan rekan-rekan. Kami sering geli dan terkadang malu sendiri melihat tingkah para turis yang tak acuh mengumbar auratnya. Karena itu, saat libur sehari di hari Minggu, aku dan rekan-rekan selalu memanfaatkannya untuk tamasya dan tentu saja cuci mata.<br />
<br />
Selama bekerja di Bali, beberapa kali aku menghubungi istriku untuk menanyakan kabar dan keadaan di rumah. Tak lupa, aku pun menanyakan kabar anak-anak, terutama kabar Kasih. Syukurlah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan selama aku bekerja di rantau. Istriku mengatakan semua baik-baik saja. Kasih pun kini sudah kembali seperti biasa, namun masih tetap berhubungan dengan si Andi. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-56691660529840489772012-01-30T20:30:00.000-08:002012-01-30T20:30:00.482-08:00Penyesalan Selalu Datang Terlambat (1)<b>Sibuk Cari Nafkah, Anak Terabaikan</b><br />
DADANG (bukan nama sebenarnya) selalu menyesali apa yang telah menimpa anak gadisnya, Kasih (juga bukan nama sebenarnya). Ia pun terkadang menyalahkan dirinya sendiri karena telah lalai mengawasi pergaulan putrinya itu. Namun apa mau dikata, takdir telah berlaku sesuai dengan apa yang telah digariskan Yang Mahakuasa. Dadang sebagai makhluk-Nya tak bisa lain selain menerimanya dengan pasrah dan penuh keikhlasan. Ia hanya berharap semoga anaknya yang telah meninggalkan dunia yang fana, diberi ketenangan dan kelapangan di alam kuburnya. Berikut penuturan Dadang mengenai kisah almarhumah anaknya seperti yang dituturkan kepada Ela Hayati. Semoga dapat diambil hikmahnya.<br />
<br />
ANAK ketigaku, Kasih lahir ketika usia perkawinanku dan ibunya genap menginjak usia enam tahun. Tak heran, kelahirannya kami sambut dengan kebahagiaan yang tak terkira.<br />
<a name='more'></a><br />
Apalagi Kasih merupakan anak perempuan yang kami tunggu-tunggu karena dua kakaknya adalah laki-laki. Kini genap sudah, aku memiliki dua anak laki-laki dan si bungsu perempuan. Aku merasa menjadi suami dan ayah yang paling bahagia di dunia.<br />
<br />
Beranjak remaja, Kasih tumbuh menjadi gadis yang cantik, kulitnya putih bersih seperti kulit ibunya, hidungnya mancung, dengan tubuh yang tinggi semampai. Tak heran, mulai ada beberapa teman lelakinya yang sering datang ke rumah untuk sekadar menarik perhatian anak bungsuku itu. Sebagai ayah, aku tentu saja bangga melihat anakku tumbuh menjadi wanita yang rupawan. Aku pun memberi kebebasan kepadanya untuk bergaul dengan teman-teman yang disukainya. Meski demikian, aku tetap mengingatkannya untuk selalu berhati-hati memilih teman. Sebenarnya aku sedikit iba pada anakku. Ia memiliki cita-cita untuk bersekolah setinggitingginya.<br />
<br />
Semangat belajarnya sejak kecil memang sangat besar. Namun apa daya, aku tak mampu membiayainya. Ketika Kasih mulai duduk di bangku SMA, perusahaan tempatku mencari nafkah mengalami kemunduran dan akhirnya berdampak pada para karyawan. Pegawai kecil sepertiku yang paling pertama kena dampaknya. Aku adalah karyawan dari gelombang pertama yang menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK).<br />
<br />
Karena itu, Kasih pun harus merelakan mimpinya mengenyam pendidikan di bangku kuliah terbang begitu saja. Seperti dua kakaknya, Kasih akhirnya harus puas dengan selembar ijazah SMA. Alhamdulillah, anak gadisku itu tidak larut dalam kekecewaan. Tak lama setelah lulus dia diterima bekerja di sebuah pabrik tekstil. Sehingga, ia kini bisa membeli kebutuhan dengan hasil keringatnya sendiri dan tentu saja hal itu meringankan bebanku. Apalagi dua kakaknya sudah berumah tangga dan sudah lepas dari tanggunganku.<br />
<br />
Terus terang, selama ini aku bukanlah termasuk ayah yang perhatian pada anak. Aku terlalu sibuk dengan urusan mencari nafkah ke sana kemari demi sesuap nasi, sehingga urusan anak-anak sepenuhnya kuserahkan kepada istriku. Apalagi setelah terkena PHK, aku lebih banyak berada di luar rumah, keluyuran ke sana kemari demi melakukan kerja serabutan.<br />
<br />
Ya, kerja apa pun mau kulakukan, asal menghasilkan uang dan halal. Dari mulai menjadi buruh tani, buruh bangunan, tukang ojek, hingga menjadi sopir "tembak" angkutan umum, semua kulakukan, yang penting bisa menghasilkan uang.<br />
<br />
Karena itulah, aku tak terlalu tahu dengan urusan anak-anakku dan apa masalah yang sedang mereka hadapi. Yang penting bagiku keluargaku bisa makan, maka urusan anakanak biarlah dibantu sama ibunya saja. Aku sudah terlalu capek dengan urusan mencari nafkah untuk hidup kami dari pagi hingga petang.<br />
<br />
Aku tahu sebenarnya hal itu keliru. Walau bagaimanapun, sebagai ayah, aku bertanggung jawab untuk memperhatikan perkembangan anak-anakku. Sayangnya hal itu baru kusadari kemudian, setelah semuanya terlambat.<br />
<br />
Anakku yang bungsu, Kasih, yang biasanya ceria dan selalu lincah, tiba-tiba berubah menjadi pemurung. Kalau sedang ada di rumah, ia lebih sering melamun atau mengunci diri di kamar selama berjam-jam. Bahkan istriku sering mendapati matanya bengkak dan sembab seperti orang yang telah menangis berlama- lama. Kalau ditanya ada masalah apa, Kasih tak mau menjawab. Ia justru uringuringan kalau ibunya terus mendesaknya mengungkapkan masalahnya.<br />
<br />
Aku yang biasanya tak pernah mau tahu urusan anak-anak, menjadi terusik juga karena istriku mengadukan hal itu. Kutanya istriku apakah belakangan ini Kasih pernah mengeluhkan masalah dalam pekerjaannya; barangkali ia cekcok dengan rekan kerjanya atau mungkin dengan atasan. Istriku menggeleng masygul. Menurutnya, Kasih tidak pernah mengeluhkan tentang pekerjaannya. Selama ini anak bungsu kami itu cukup dekat dengan ibunya sehingga di antara mereka tidak pernah ada rahasia. Dan menurut pengamatan istriku, tidak ada kendala di tempat kerja Kasih.<br />
<br />
Aku kemudian bertanya apakah mungkin Kasih terlibat perselisihan dengan pacarnya. Aku sendiri selama ini tidak tahu apakah anak gadisku itu punya pacar atau tidak. Istriku kembali menggelengkan kepalanya. Menurutnya, Kasih memang punya pacar dan pernah memperkenalkannya. Namun, dalam hal pacaran Kasih agak tertutup. Ia tidak pernah menceritakan tentang banyak hal tentang hubungannya dengan pria yang sebut saja namanya Andi (nama samaran). Mungkin ia masih malu-malu, maklum usianya baru jalan 18 tahun.<br />
<br />
Aku kemudian meminta istriku mencari tahu siapa Andi dan di mana tempat tinggalnya. Kusuruh istriku menanyakan hal itu kepada Kasih. Atau kalau Kasih keberatan mengungkapkannya, tak ada salahnya ia mencari informasi dengan mengintip isi kamarnya. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-84200471603773282832012-01-25T20:01:00.000-08:002012-01-25T20:01:00.233-08:00Mimpi Seorang Petani Kecil (7-Tamat)<b>Aku Yakin Anakku Akan Bangkit Kembali</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Cecep yang jatuh saat wisuda di kampusnya, dibawa ke rumah sakit. Dokter menyatakan Cecep pingsan karena kelelehan. Kondisi jantung dan organ lainnya sehat. Sesampainya di rumah keadaan Cecep tidak banyak perubahan. Ia tampak seperti orang yang kehilangan daya ingatnya. Sehatkah lagikah dia? Inilah akhir kisahnya yang ditulis M.Irfan. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
AKU sungguh-sungguh kecewa. Pantas ustazah yang biasa memberi ceramah di majelis taklim dekat rumahku sering mengatakan, jangan terlalu berharap karena jika harapan itu tidak tercapai, maka akan kecewa luar biasa. Ini benar-benar aku alami. Aku sangat berharap banyak, bahkan lebih dari itu, pada Cecep. Aku sudah bermimpi anakku menjadi orang sukses yang mampu mengubah nasib keluarga, membawa adiknya ke masa depan yang lebih baik. Kenyataannya, jauh panggang dari api. Dia sendiri tidak mampu berlari ke masa depan.<br />
<a name='more'></a><br />
Setelah peristiwa saat wisuda, Cecep tidak bangkit kembali. Kondisi fisiknya terus melemah. Ia sering mengeluh sakit di bagian tengkuk dan belakang kepala. Jika penyakitnya datang, ia biasanya menjerit-jerit. Mulutnya mengatup kuat, matanya melotot, seluruh tubuhnya kaku. Aku sering salah tingkah menghadapinya, demikian juga suamiku, dan Cucu. Paling-paling kami hanya mengompresnya dengan air dingin sambil terus membisikkan kalimah toyibah ke telinganya agar ia tetap bersabar dan mampu bertahan.<br />
<br />
Setiap malam, usai salat Magrib, kami sekeluarga selalu mengaji dan berdoa pada Allah untuk kesembuhan Cecep. Kami berharap kesehatan Cecep akan pulih sedia kala. Ia harus bangkit, ia harus semangat dan menyongsong masa depannya yang lebih baik.<br />
<br />
"Maafkan saya, Mak. Kenapa saya jadi begini? Saya mestinya membahagiakan Emak dan Bapak juga Cucu, tapi kenyataannya saya malah menyengsarakan kalian semua. Saya merepotkan kalian," ujarnya suatu saat sambil berlinang air mata.<br />
<br />
Kupeluk dia erat-erat. Kubelai lembut rambutnya dan kubisikkan kata semangat di telinganya.<br />
<br />
"Jangan berkata seperti itu, Nak. Emak tidak merasa terbebani. Ini adalah tugas orangtua, kewajiban Emak dan Bapakmu. Jangan berpikir yang macam-macam. Tetap semangat agar kamu cepat sehat untuk menghadapi masa depan yang lebih baik," kataku.<br />
<br />
Kurasakan ada butiran air membasahi pundakku dan kurasakan bahu Cecep berguncang. Ia menangis dan terus memohon maaf padaku. Kembali kuyakinkan padanya bahwa dia tidak bersalah. Semua terjadi bukan karena siapa-siapa melainkan kehendak Allah, ujian dari-Nya untuk umat-Nya.<br />
<br />
"Ini adalah ujian kesabaran bagi kita, Sayang. Bersabarlah. Allah sayang pada kita, Allah akan meningkatkan kualitas hidup kita dengan ujian ini," kembali kukuatkan batinnya.<br />
<br />
Aku merasakan kekecewaannya dari setiap guncangan bahunya, dari isak tangisnya, dari kata-katanya yang terputus-putus. Aku merasakan apa yang dirasakannya. Ia pasti punya mimpi yang lebih besar dari pada mimpiku, ia pasti punya sederet rencana setelah lulus kuliah. Itulah sebabnya ia begitu kecewa ketika menghadapi kenyataan pahit seperti ini. Sebetulnya kekecewaanya kekecewaanku juga. Tapi, aku tidak bisa berbuat banyak selain menyerahkan semuanya pada Allah dan berupaya maksimal.<br />
<br />
Hari demi hari kesehatan Cecep terus menurun. Sosok pemuda kesayanganku yang dulu tampak tegap dan gagah kini kehilangan aura. Wajahnya pucat, tubuhnya kering kerontang, matanya cekung. Padahal ia makan cukup lahap. Porsi makannya tidak pernah berkurang, bahkan cenderung lebih banyak. Anehnya seperti tak ada sari makanan yang menjadi daging di tubuhnya.<br />
<br />
Entah berapa puluh kali aku berusaha mengobatinya. Puluhan dokter yang kami jumpai mempunyai kesimpulan yang sama: Cecep sehat. Sama sekali tidak ada gangguan apa pun. Jantungnya normal, lambungnya bagus, ginjal tidak ada masalah, sirkulasi darah pun lancar.<br />
<br />
"Sakit di bagian kepala itu mungkin karena bekas benturan waktu jatuh dulu," jelas dokter.<br />
<br />
Ah, aku tidak puas dengan jawaban itu. Kendati aku orang awam, hanya seorang buruh, tetapi aku melihat dengan mata kepala sendiri Cecep jatuh tersungkur bukan dengan kepala bagian belakang. Aku tak habis pikir, penyakit apa yang diderita Cecep.<br />
<br />
Untuk menghabiskan rasa penasaranku, aku mencoba datang ke beberapa ahli pengobatan alternatif. Mereka menyebutkan penyakit Cecep itu dan ini, karena itu, karena ini. Ah, aku semakin pusing karena semua hasil pengobatan tidak ada satu pun yang membawa perubahan kesehatan anakku. Uangku kukuras untuk mengobatinya. Tidak penasaran. Meski aku sampai berhutang, tidaklah menjadi masalah yang penting Cecep sehat kembali. Kalaupun kenyataan seperti ini aku pasrah pada Ilahi. Aku telah berupaya.<br />
<br />
Tidak terasa lima tahun sudah Cecep menderita. Dari kesehatan fisik merambat pada kesehatan psikisnya. Ia sangat mudah tersinggung, mudah marah, kadang-kadang ia mengamuk bagai orang kesurupan. Aku yakin itu hanya pelampiasan kejengkelannya dan ketidaksabarannya terhadap penderitaannya. Aku sangat sedih ketika mendengar tetanggaku menyebut Cecep gila. Tidak! Cecep tidak gila! Aku berteriak dalam hati.<br />
<br />
Karena konsentrasi eknomi terfokus pada Cecep, biaya sekolah Cucu agak keteteran. Ia sering ditegur sekolah karena menunggak beberapa bulan. Bahkan hingga kini, ijazah Cucu masih ditahan oleh sekolah, SMK BK, karena kami belum mampu menyelesaikan utang-utang biaya pendidikan kepada sekolah. Tapi kami tidak menyalahkan sekolah, semua kesalahan ada pada kami. Bahkan aku sangat berterima kasih kepada ketua yayasan yang menaungi sekolah itu karena ia telah memberi Cucu fotokopi ijazah dan melegalisasinya untuk kepentingan melamar pekerjaan di Padang, Sumatra Barat.<br />
<br />
Kebaikan itu diberikan Ketua Yayasan BK ketika aku menceritakan semua yang terjadi pada keluarga kami. Bahkan ia menjelaskan bahwa penyakit Cecep adalah epilepsi. Menurutnya, agak susah disembuhkan karena sudah terlalu lama.<br />
<br />
"Dia butuh ketenangan dan perhatian dari orang terdekatnya, dari ibu. Sayangilah ia, perhatikan secara lebih, jangan dijauhi karena ia akan merasa semakin ditelantarkan dan merasa tidak berguna jika dijauhi. Di samping itu terus berobat dan berdoa," ujarnya dengan penuh perhatian.<br />
<br />
Kini Cecep semakin tertutup, semakin emosional. Ia selalu mengurung diri di kamarnya, tidak mau berkomunikasi dengan siapa pun. Meski demikian aku selalu mendekatinya, mengajaknya bicara, memberinya semangat seperti dulu. Aku yakin satu saat Cecep akan sehat kembali. **Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-68959320599625645032012-01-20T19:59:00.000-08:002012-01-20T19:59:00.205-08:00Mimpi Seorang Petani Kecil (6)<b>Anakku Nyaris Hilang Kesadaran</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Cecep yang baru saja naik ke panggung dilantik sebagai sarjana dan menerima ijasah S-1, tiba-tiba saja jatuh tersungkur tanpa sebab yang jelas. Ny. Entin, suaminya, dan Cucu menjerit histeris melihat peristiwa itu. Mereka segera menghambur ke depan memburu Cecep yang tidak sadarkan diri. Saat itu Cecep segera dibawa ke rumah sakit. Apa yang sebenarnya terjadi pada Cecep? Kembali sehatkah? Ikuti lanjutan kisahnya yang ditulis M. Irfan.<br />
<br />
PUPUSLAH sudah harapanku. Anak yang semula kubanggakan dan diharapkan dapat mengubah kehidupan gagal menjelang garis finis. Di saat Cecep hampir menjadi juara setelah menjalani perlombaan lari maraton, harus terjatuh beberapa jengkal menjelang garis finis. Menyakitkan memang. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Semuanya kuserahkan pada Allah.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ingin sekali aku menangis dan berteriak, protes kepada Allah, mengapa musibah ini ditimpakan pada Cecep, pada keluargaku, yang sudah berjuang mati-matian untuk meraih sukses dan mencoba mengubah nasib? Mengapa musibah itu justru terjadi di saat-saat kami baru menginjakkan kaki pada gerbang kebahagiaan. Tapi setelah kupikir dengan jernih, aku menyadari mungkin Allah punya rencana lain yang lebih baik. Boleh jadi yang kuanggap buruk saat ini sebenarnya adalah bentuk kebaikan yang Allah berikan karena aku tidak tahu rahasia di balik semua ini.<br />
<br />
Orangtua mana yang tidak merasa kecewa ketika anaknya hampir menjadi juara, gagal karena persoalan yang tidak terduga. Kupikir manusiawi sekali aku merasakan kekecewaan itu. Hingga berbulan-bulan bahkan sampai kini kekecewaan itu masih menggelayut dalam dada, meski aku sudah berusaha pasrah dan menerima keadaan.<br />
<br />
Menurut dokter yang memeriksanya, Cecep terjatuh dan pingsan karena faktor kelelahan. Ia terlalu memforsir diri saat akan menghadapi sidang akhir dan widusa. Pada saat puncak kelelahan, kondisi fisik Cecep tidak fit sehingga ia tak mampu menahan kesimbangan dan pingsan. Aku hanya menarik nafas panjang menerima penjelasan dari dokter. Kuharap anakku dapat pulih kembali.<br />
<br />
"Tidak usah khawatir. Anak ibu akan segera pulih dan sehat kembali. Ia harus banyak istirahat. Pikirannya jangan terlalu diforsir," ujar dokter. Aku mengangguk dan berjanji akan mengingatkan Cecep untuk beraktivitas secara normal.<br />
<br />
"Apakah dia akan kembali normal, dok?" tanya suamiku. Di wajahnya menyemburat warna kegelisahan.<br />
<br />
"Ya, ya, ya.... Dia akan normal karena dia memang normal, kok. Tidak ada apa-apa. Dia cuma kecapaian saja. Istirahatkan di rumah. Tiga hari paling lambat seminggu juga sudah pulih kembali,” ujar dokter.<br />
<br />
Aku mengucap hamdallah mendengar ucapan dokter. Menurut dokter cecep Cukup rawat jalan, tidak perlu rawat inap apalagi dirujuk ke rumah sakit. Syukurlah kalau begitu.<br />
<br />
Ya, Allah sembuhkanlah dan sehatkanlah kembali anakku. Dialah harapanku. Dialah kebanggaanku. Jangan Kauhilangkan kemampuannya. Dia harus menyelesaikan tugas hidupnya dengan mulus dan normal seperti orang lain.<br />
<br />
"Saya di mana?" tanya Cecep ketika ia telah kembali sadar.<br />
<br />
Kuciumi pipinya. Kuhujani dengan air mata. Sementara suamiku membelai trambut Cecep dengan wajah sekelam malam. Cucu sejak peristiwa terjadi terus menangis hingga matanya membengkak.<br />
<br />
"Lo, kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi padaku, Mak?" tanyanya lagi.<br />
<br />
"Tidak apa-apa. Kamu hanya pingsan saja tadi. Mungkin karena kecapaian dan belum sarapan dulu," dokter yang masih berada bersama kami mewakili kami.<br />
<br />
"Oooh...." katanya. Tatap matanya kosong. Dia sepertinya belum dapat mengingat peristiwa sebelum jatuh di hadapana senat universitas beberapa detik setelah pelantikan.<br />
<br />
Dengan izin dokter. Kami pulang menggunakan kendaraan rumah sakit. Ada sembilu yang mengiris pedih dalam hatiku ketika melihat anakku yang semula gagah dan tegap turun dari mobil rumah sakit dengan langkah bagai diseret. Aku dan suamiku memeganginya dari kiri dan kanannya.<br />
<br />
"Bu, ini ketinggalan!" kata petugas rumah sakit yang mengantar kami sambil memberikan tas berisi nasi timbel. Makanan yang telah kusiapkan untuk merayakan pesta kemenangan ini terpaksa kembali kubawa ke rumah. Mungkin nasi dan ayamnya sudah sangat dingin, sedingin hatiku yang dirundung pilu.<br />
<br />
"Sebenarnya apa yang terjadi, Mak?" Cecep kembali bertanya setelah berbaring di kamarnya.<br />
<br />
Kembali hatiku perih bagai diiris, ternyata anakku lupa apa yang menimpa dirinya. Bahkan ia pun lupa bahwa hari itu ia diwisuda. Ya, Allah, segera kembalikan kesadaran anakku. Sehatkan ia seperti semula. Kembalikan kemampuan fisik dan daya pikirnya.<br />
<br />
"Kamu baru saja di wisuda, Nak! Kamu sudah jadi sarjana!" jawab suamiku. Suaranya terasa berat menahan tangis.<br />
<br />
"Oooo, iya. Saya diwisuda. Saya diwisuda. Tetapi, ke mana teman-temanku?"<br />
<br />
Alhamdulillah. Dia mulai sadar. Pikirku.<br />
<br />
"Kamu tadi pingsan setelah diwisuda. Makanya kamu dibawa pulang," kataku.<br />
<br />
"Pantas Saya merasa lemas sekali. Saya mau salat dulu, Mak. Mungkin sudah waktunya salat Zuhur. Matahari sudah berada di barat," katanya sambil melihat sinar matahari yang menerobos kaca jendela rumah kami.<br />
<br />
Bahagia bercampur duka. Di saat seperti itu Cecep masih ingat waktu salat, padahal kulihat kondisi fisik dan pikirannya belum kembali pulih. Inilah hasil didikan matang dari sumiku. Dialah orang paling berjasa yang memancangkan akidah dalam hati anak-anak kami.<br />
<br />
"Biar Emak ambilkan air. Kamu tidak usah turun. Emak khawatir kamu jatuh lagi."<br />
<br />
"Biarlah Neng yang ngambilin air, Mak. Emak tunggu Aa saja di sini." Tanpa menunggu jawaban, Cucu langsung mengambilkan air dalam ember dan handuk kecil.<br />
<br />
"Sekalian kopeah Aa, Neng."<br />
<br />
"Ya," jawab Cucu. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-15103616094256304722012-01-15T19:50:00.000-08:002012-01-15T19:50:00.687-08:00Mimpi Seorang Petani Kecil (5)<b>Aku Tak Percaya Peristiwa itu Terjadi</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Ny. Entin sudah mempersiapkan segala kebutuhan untuk menghadapi hari wisuda Cecep, anaknya. Pakaian yang istimewa dicuci dan disetrikanya dua hari sebelumnya. Ny. Entin juga telah menyiapkan jas untuk Cecep. Bahkan, satu hal yang tak kalah pentingnya, Ny. Entin mempersiapkan nasi timbel dengan dua ekor ayam goreng. Bagaimana lanjutan kisahnya? Sukseskah Cecep? Ikuti terus kisahnya yang ditulis M. Irfan. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
AKU tak bisa menahan air mata bahagia ketika anakku dipanggil oleh panitia wisuda untuk dilantik sebagai sarjana ekonomi. Selama empat tahun aku dan suamiku berusaha sekuat tenaga agar anakku sukses menjadi sarjana, hari ini menjadi sebuah kenyataan. Rasanya dunia ini menjadi demikian luas dan penuh dengan bunga.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Usahaku selama empat tahun tidaklah sia-sia. Aku juga berhasil meyakinkan anakku bahwa ia bisa bersaing dengan orang-orang yang punya uang. Sekolah itu bukan hanya dengan uang melainkan dengan belajar yang gigih, berusaha keras, tidak pantang menyerah, dan tidak boleh mau kalah dalam persaingan yang sehat. Semua itu kutanamkan pada Cecep. Hari ini usaha Cecep itu terbukti. Aku sangat bangga, apalagi dari sekian ratus wisudawan Cecep termasuk yang berpredikat istimewa. Ia lulus dengan pujian.<br />
<br />
Kupegang erat tangan suamiku sebagai ungkapan hatiku. Kulihat suamiku melirik ke arahku. Matanya jelas berbicara penuh kebanggaan. Mata yang tajam itu seolah-olah ingin mengatakan kepadaku, "Lihatlah anak kita! Dia sanggup bersaing dengan orang-orang yang hidup berkecukupan!"<br />
<br />
Pandanganku terus mengikuti Cecep, sejak ia bangkit dari kursi menuju panggung. Kulihat langkahnya sangat tegap dan pasti. Senyumnya merekah mengembang. Ah, anakku ini semakin terlihat tampan dan gagah dengan pakaian seperti itu. Wajahnya mirip sekali ayahnya. Hidungnya mancung, sorot matanya tajam, dan badannya tegap. Ia semakin sempurna dengan gelar yang disandangnya.<br />
<br />
"Lihat, kakakmu begitu tampan, Neng!" bisikku pada Cucu yang sejak tadi terus menatap wajah kakaknya.<br />
<br />
"Iya, Mak. Neng juga ingin seperti Aa. Ingin menjadi sarjana. Ingin mengubah hidup kita," jawabnya. Tatapannya tetap menancap ke Cecep.<br />
<br />
Aku mengangguk. Jauh di dalam lubuk hatiku aku memuji tekad dan cita-cita Cucu. Dia memang harus menjadi perempuan yang berhasil. Ia tidak boleh seperti aku, tidak boleh seperti ibunya. Dia harus maju dan mengubah hidup. Cucu harus menjadi seorang istri sekaligus menjadi seorang ibu yang cerdas, tegas, dan penuh semangat. Ia harus menjadi pendamping yang baik bagi suaminya dalam segala hal termasuk dalam persoalan ekonomi. Wanita harus mempunyai penghasilan yang tetap untuk membantu memperbaiki ekonomi keluarga. Suami memang bertanggung jawab penuh terhadap keluarganya, tetapi istri yang baik tidak hanya cukup menerima dan mengelola uang suaminya. Kebutuhan masa sekarang jauh lebih berat. Aku merasakannya sendiri, aku harus banting tulang mencari biaya untuk sekolah anak-anakku. Cucu tidak boleh mempunyai beban seperti yang kualami sekarang.<br />
<br />
Ah, pikiranku tiba-tiba saja menjadi liar. Ini karena ada rasa bahagia yang meledak-ledak dalam hatiku. Aku tak bosan-bosan memuji Cecep dalam hati sambil bersyukur pada Allah yang telah memberi kekuatan, kesabaran, dan kemampuan paku dan suamiku. Aku juga bersyukur pada Allah yang telah memberi jalan rijki pada kami. Seandainya Allah tidak memberikan semuanya, aku sangat yakin hari ini Cecep tidak akan berdiri di tengah-tengah ratusan wisudawan dan aku tidak akan mendapat kebahagiaan yang luar biasa ini.<br />
<br />
Mataku kembali menatap ke depan. Tiba-tiba.... Oh, aku tak percaya pada penglihatanku. Aku memekik. Tetapi suaraku tertahan. Mataku seolah tak bisa berkedip, jantung berhenti sejenak, dan nafas tersenggal. "Ceceeeep!" teriakku ketika kulihat tiba-tiba saja Cecep jatuh tersungkur. Bukan tersandung, bukan pula keseleo. Ia jatuh secara tiba-tiba. Ijazah yang tadi dipegangnya terlempar jauh. Topi sarjananya terlepas. Wajahnya membentur lantai demikian keras. Aku mendengar suaranya.<br />
<br />
Aku merasakan ada sambaran petir yang luar biasa kerasnya memekakkan telinga. Dunia terasa bagai diguncang gempa. Aku menyeruak di antara kerumunan orang-orang yang berusaha menolong Cecep. Aku terus berteriak. Beberapa orang mencoba menahanku, tapi aku memberontak dan terus berlari ke depan.<br />
<br />
Kulihat Cecep tak bergerak. Matanya terbalik. Tubuhnya kejang. Mulutnya mengatup kuat dan nafasnya tersenggal. Allahu Akbar, apa yang terjadi padamu, Nak? Ya, Allah mengapa musibah ini kautimpakan kepada kami di saat kami baru akan merangkak menikmati kebahagiaan? Mengapa musibah ini Kau timpakan kepada orang yang paling membanggakan kami. Mengapa, ya Allah? Aku berteriak dalam hati. Memekik menyembul ke langit. Aku ingin segera dapat jawaban dari-Nya, namun yang kudengar hanya gemuruh orang dan tangisan Cucu.<br />
<br />
"Siapkan kendaraan. Cepat. Kita bawa ke rumah sakit!" kudengar salah seorang panitia berteriak.<br />
<br />
Suasana menjadi hiruk pikuk, prosesi terganggu sejenak.<br />
<br />
Aku tak tega ketika tubuh yang tegap itu digotong oleh beberapa orang menuju mobil yang disediakan panitia. Aku cepat mengikutinya. Naik ke mobil mewah ini. Tapi aku tak peduli. Aku lebih peduli terhadap anakku. Kupegangi dan kuciumi terus anakku sambil menangis.<br />
<br />
"Tabah, Bu. Dokter akan segera menolong. Kita bawa ke rumah sakit," kata salah seorang panitia.<br />
<br />
Aku melirik kepada suamiku yang hanya duduk terpaku dengan wajah penuh ketegangan.<br />
<br />
"Pak, anak kita, Pak!" ucapku.<br />
<br />
Kulihat matanya berlinang. Bibirnya bergetar. Menahan tangis. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5317815368498604900.post-52596558151495771512012-01-10T19:37:00.000-08:002012-01-10T19:37:00.373-08:00Mimpi Seorang Petani Kecil (4)<b>Kubuat Nasi Timbel untuk Pesta Wisuda</b><br />
SEBELUMNYA diceritakan, Ny. Entin yang sudah berbunga-bunga menghadapi masa wisuda anaknya, agak tersentak karena harus menyediakan uang untuk biaya wisuda dalam waktu hanya sepekan. Kendati terasa sangat memberatkan, ia tetap menyanggupi permintaan Cecep. Berhasilkan Ny. Entin dan suaminya mendapatkan uang itu? Ikutilah kisahnya yang ditulis oleh M. Irfan. Semoga bermanfaat dan menjadi cerminan bagi Anda.<br />
<br />
ADA peribahasa man jadda wajada, siapa pun yang bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu, pasti akan terwujud. Orang Sunda bilang lamun keyeng tangtu pareng. Meskipun dengan susah payah, akhirnya uang lima juta yang dibutuhkan untuk wisuda anakku, kami dapatkan pula.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
"Alhamdulillah, Wa Haji Junaedi masih mempercayai kita," ujar suamiku dengan wajah cerah ceria.<br />
<br />
"Jadi uang itu sudah Bapak dapatkan?" tanyaku untuk meyakinkan.<br />
<br />
"Ya. Ini!" jawabnya sambil mengeluarkan sebuah amplop besar tebal.<br />
<br />
Setelah kulihat isinya lima gepok uang pecahan seratus ribuan. Kuciumi uang itu dan kuletakkan di atas kepala sambil mengucap syukur pada Allah yang telah memberi jalan pada kami. Betapa bahagianya hati ini karena dengan uang inilah kami akan menyaksikan Cecep menjadi orang paling gagah di tengah-tengah ratusan wisudawan lainnya.<br />
<br />
"Terus, uang ini kapan harus kita kembalikan?" tanyaku.<br />
<br />
"Sebetulnya Wa Haji tidak menentukan kapan kita harus mengembalikan uang itu. Dia hanya bilang, 'Pakai saja dulu. Kalau kalian sudah punya uang, kalian boleh mengembalikannya.' Ini sebenanrnya beban. Kita tidak boleh keenakan," jawab suamiku.<br />
<br />
"Ya, mudah-mudahan hasil panen tahun ini memuaskan agar kita bisa menyicilnya," kataku sambil menyimpan uang di lemari pakaian.<br />
<br />
Besok Cecep harus segera membayarkan uang itu ke panitia wisuda agar tidak ada lagi beban.<br />
<br />
Rasanya pesta bahagia bagi Cecep lama sekali, padahal tinggal menghitung hari. Mungkin karena aku tidak sabar ingin segera menyaksikan anakku dikalungi medali dari kampusnya. Baju petingan yang dibeli menjelang Lebaran dua tahun lalu kuambil dari lemari. Kucium aroma kapur barus saat pakaian kesayanganku itu berada di tanganku.<br />
<br />
"Sebaiknya dicuci dulu agar aroma kapur barusnya hilang. Nanti kita semprot dengan minyak wangi," ujar suamiku.<br />
<br />
Aku tersenyum. Aku mengerti maskud suamiku. Ia tidak ingin mengecewakan Cecep. Ia tidak ingin kami berangkat ke pesta istimewa dengan semerbak kapur barus. Aku juga paham. Aku tak ingin Cecep mendapat rasa malu karena orangtuanya yang dianggap terlalu kampungan.<br />
<br />
"Jangan lupa, sekalian tolong cucikan pula baju batikku yang berwarna biru," kata suamiku.<br />
<br />
"Ya. Celananya yang biru dongker, 'kan?" aku balik tanya.<br />
<br />
Ia hanya mengangguk, kemudian berlalu. Kulihat ia mengambil peci hitam yang agak lusuh dan kain sarung yang menggantung di kapstok. Di luar, azan Ashar sudah berkumandang. Suamiku termasuk orang yang sangat disiplin soal waktu. Kendati sedang bekerja di sawah, ia tidak pernah meninggalkan salat Zuhur. Lalu sebelum Asar dia sudah berada di rumah.<br />
<br />
"Salat ini seperti makanan. Kalau kita tidak makan, fisik kita akan lemah, tidak bertenaga, bahkan sakit. Demikian pula jiwa kita, tanpa salat akan lemah bahkan juga sakit. Jika jiwa sudah sakit, maka akan sangat berbahaya bagi kehidupan di dunia dan akhirat," ucapnya suatu hari ketika sedang berkumpul bersama anak-anak.<br />
<br />
Kami kadang-kadang melaksanakan salat berjamaah di rumah. Usai salat kami mengaji satu dua ayat, lalu suamiku memberikan sedikit nasihat untuk anak-anaknya.<br />
<br />
"Tugas manusia itu ibadah dan bekerja. Kedua-duanya harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, penuh kekhusyukan, dan ikhlas. Ibadah harus ikhlas karena Allah pun ikhlas memberi kita tubuh dan perlengkapannya, memberikan rejeki dan jalannya. Bekerja juga harus sungguh-sungguh dan ikhlas karena hasil kerja yang sungguh-sungguh dan ikhlas akan mendatangkan hasil yang manfaat dan penuh berkah. Ibadah dan kerja yang sungguh-sungguh dan ikhlas merupakan bentuk syukur pada Allah. Siapa yang bersyukur, dialah yang akan mendapat kebahagiaan yang lebih," terangnya.<br />
<br />
Aku tidak salah mendapatkan suami. Walaupun dia bukan berasal dari keluarga yang berkecukupan, namun keteguhan akidah dan ketangguhan mentalnya sungguh patut dicontoh. Jujur saja, banyak orang yang secara ekonomis lebih baik ingin membina rumah tangga denganku, namun suamiku mempunyai kelebihan dalam urusan agama. Itulah sebabnya aku memilih dia sebagai pendamping hidup.<br />
<br />
Dua hari menjelang hari H, segala keperluan sudah kusiapkan. Selama dua hari aku sengaja tidak pergi ke sawah membantu suamiku, selain pekerjaan di sawah sudah tidak terlalu berat karena tinggal menunggu hasil panen, aku ingin berkonsentrasi menghadapi pesta anakku. Aku mencuci dan menyetrika pakaian kami yang akan dipakai pada saatnya nanti. Aku juga sudah meminjam jas berikut dasinya untuk Cecep. Pokoknya dalam hari istimewa itu kami ingin tampil istimewa.<br />
<br />
Bahkan kami pun menyediakan sedikit makanan, buat bekal di sana. Inginnya sih kami pergi ke rumah makan usai upacara wisuda, namun keadaan ekonomi kami tidak memungkinkan untuk itu. Oleh karena itu, biarlah kami merayakannya dengan makan nasi timbel yang kami bekal dari rumah. Dua ekor ayam kami potong sebagai lauknya. Aku pikir sudah cukup. Mudah-mudahan ini tidak mengurangi kebahagiaan kami dan bentuk rasa syukur kami. (bersambung)**Unknownnoreply@blogger.com0