Kisah Panjang Seorang Brandalan (1)

Aku Dikeroyok, Rumahku Dihancurkan
SEBELUMNYA diceritakan, Rasja preman yang selalu bikir onar, suatu malam ditugasi menjaga irigasi oleh kepala desa. Saat ia jaga di dangau, sepasanag muda mudi masuk ke dangau. Mereka tidak mengetahui di situ ada Rasja. Kedua nya melakukan perbuatan mesum. Setelah itu sang perempuan menangis dan sang pria manu menamparnya tapi Rasja menghalanginya. Sang pria menceburkan diri ke irigasi lalu dihajar oleh Rasja, sedangkan sang perempuan menceritakaan keadaan yang sebenarnya pada Rasja. Apa yang terjadi selankutnya? H. Undang Sunaryo masih menuturkan kisah Rasja.

SEBELUM meninggalkan rumah si Eni, aku diminta tolong untuk menangkap si Jatwo. Bila sudah ditangkap segera dibawa ke rumah Mang Kirman. Tapi aku harus behati-hati karena si Jatwo adalah preman dan banyak temannhya. Aku siap melaksanakan perintah itu dengan taruhan nyawa. Toh aku juga sama seorang preman.

Tak banyak pikir lagi, aku permisi dan langsung angkat kaki untuk mencari si Jatwo ke rumahnya. Namun si Jatwo belum pulang. Aku mendengar kabar biasanya dia suka tidur bersama teman-temannya di pos kamling. Aku bergegas cari dia. Ternyata di pos kamling ada empat pemuda sedang tidur pulas.

Tanpa basa basi lagi maka aku bangunkan mereka. Apa yang terjadi? Para pemuda langsung mengeroyokku dengan tendangan dan menghajarku, bahkan ada yang memukul kepalaku dengan batu. Kulawan mereka sekuat tenaga, aku tak kuat menahan rasa sakit di kepala yang berlumuran darah. Pertikaian selesai setelah sejumlah warga melerai pertengakar itu. Aku langsung diobati warga kemudian pulang ke tempat mangkalku di sebuah terminal angkot.

Karena kepala sakit, badan lemas, dan tak tahan kantuk, aku tidur di teras terminal. Sore hari aku bangun, seorang teman memberi kabar, bahwa rumah keluargaku dirusak sekelompok pemuda tetangga desa. Aku bergeas lari menuju rumah. Ternyata gubukku yang reyot sudah merata dengan tanah. Ibu menangis sendirian karena ayah dan adikku sedang bekerja mencari barang rongsokan.

Kurang ajar si manusia biadab. Kenapa tega berbuat seperti itu. Tidak berani melwanku malah merusak gubug orang tuaku. Aku tak kuat menahan emosi. Aku yakin si pelaku perusak rumah orangtuaku akan ku penggal lehernya. Aku sedih dan tak tega melihat ibu sedang menangis sendirian sambil menerawang rumah gubugnya yang luluh lantah.

"Ini gara-gara kamu, rumah dirusak! Dasar anak goblok! Anak durhaka!" kata ibu marah-marah sambil melempar batu ke arah tubuhku.

"Siapa pemuda yang merusak rumah kita, Bu?" tanyaku marah. Aku ingin membalas perbuatan mereka. Ibu tak mau menjawab, beliau malah marah-marah dan mengusirku mungkin karena sudah merasa jengkel atas perbuatanku.

Tak banyak pikir lagi aku nenggak anggur beralkohol, lalu angkat kaki sambil membawa golok di pinggang. Aku akan mencari pemuda biadab dan pasti orangnya adalah si Jatwo yang tadi pagi aku bangunkan di pos kamling. Pada hari itu aku tak berhasil menemui meraka. Hari kedua juga tidak. Dan pada hari ketiga aku menerima kabar bahwa di antara ketujuh pemuda yang merusak rumahku itu di antaranya si Kadir. Kudatangi rumahnya.

Begitu aku sampai di teras rumahnya, si Kadir lari terbirit-birit. Aku kejar dia dan kutangkap. Aku hajar mukanya dan aku tinju bagian dadanya hingga jatuh dan tak sadarkan diri. Masih belum puas aku cari temannya lagi si Kodim. Tak lama ketemu dia sedang mincing ikan disungai. Kucekikm kuhajar, lalu kulemparkan ke sungai. Masih belum puas, rencanaku akan ajak teman di terminal untuk mencari yang lainnya.

Saat mau masuk ke areal terminal tempat mangkal, akulihat beberapa polisi katanya sedang mencari aku. Tak banyak pikir, dari pada ditangkap polisi dan ditahan di sel, aku memilih lari lari dan kemudian naik bus jurusan Jakarta. Selamatlah aku dari pengejaran polisi.

Aku turun di terminal Bekasi. Demi untuk mempertahankan hidup aku bekerja sebagai tukang becak. Lumayan setiap hari selalu dapat uang. Hasil ngebecak bisa ngontrak rumah dan sedikit-sedikit bisa menabung. Karena merasakan sulitnya mencari uang maka aku secara tidak sadar tidak berandalan lagi seperti ketika berada di kampung.

Suatu hati aku merasa kaget. Ketika pulang ke rumah kontrakan, ada Pak Kirman sudah lama menunggu di rumah yang punya rumah kontrakan. Pikiranku galau barangkali kedatangannya bersama polisi akan menangkap aku. Namun ternyata tidak demikian. Dia ingin bertemu aku mengucapkan terimakasih.

"Sekarang si Eni sudah mengandung tua. Si Eni sering menanyakan kamu dan cinta sama kamu. Nah bagaimana kalau kamu mau menikah dengan anakku?" tanya mang Kirman.

"Lho mengapa tidak dikawinkan ama si Jatwo yang kurang ajar itu?" tanyaku.

Mang Kirman menjelaskan, memang si Jatwo bertanggung jawab atas perbuatannya dan dia siap menikah dengan si Eni, namun si Eni termasuk aku dan ibunya tidak setuju. Kami memilih si Eni menikah dengan kamu," kata Mang Kirman.

"Oke! Tapi apakah maukan si Eni punya suami tukang becak dan hidup sengsara di Bekasi?"

"Si Eni sudah tahu tentang keberadaan kamu di Bekasi. Yang penting dia punya suami dan segera hengkang dari kampung demi menutup rasa malu kami di hadapan masyarakat," kata Mang Kirman.

Karena merasa kasihan, aku rela menikah dengan si Eni meski harus memiliki bayi hasil perbuatan laki-laki lain. Tak apalah barangkali apa yang aku lakukan ini jadi amal baik agar aku menjadi dewasa dan bertanggung jawab dalam menempuh hidup ini.

Singkat cerita aku menikah dengan si Eni di Bekasi. Pada acara pernikahan yang diselenggarakan di rumah kontrakan hanya disaksikan ayah si Eni, kakaku, dan seorang ustaz. Status pernikahanku dilakukan dibawah tangan. Tidak apa-apa, rencanaku jika si Eni sudah melahirkan aku akan menikah sesuai aturan negara. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP