Cinta Pertama Sampai Mati (2)
Di Masa Tua Sama-sama Kehilangan Teman Hidup
SEBELUMNYA diceritakan, Enok dan Encim yang sudah berjanji akan mengakhiri masa lajang mereka dengan pernikahan, kandas di tengah jalan. H.Damuri, ayah Enok, dipanggil pemimpin pesantren tempat anaknya menimba ilmu. Enok dijodohkan dengan salah seorang santrinya bernama Ghafur. Apa yang terjadi selanjutnya? Undang Sunaryo masih mengisahkannya untuk Anda.
SETELAH mempertimbangkan berbagai kebaikan dan keburukannya, akhirnya Enok menerima saran ayahnya dan kiai. Meski antara Enok dan Ghafur belum tumbuh rasa cinta, demi syiar Islam dan mencari kemaslahatan, keduanya langsung menyatakan cinta dan siap menjalin rumah tangga di hadapan kiai.
Sepulang dari Jawa-Timur, H. Damuri langsung bertandang ke rumah orangtua Encim. Beberapa kali ia meminta maaf setelah menceritakan bahwa anaknya akan dijodohkan dengan salah seorang santri rekan di pesantren anak seorang ulama jumhur dari Jawa-Tengah. H. Damuri mengaku tidak mempunyai pilihan kecuali merestui keinginan sang kiai. Kendati demikian, ia sangat berharap tali silaturahmi di antara mereka tidak terputus hanya karena persoalan itu.
"Saya mohon keikhlasan dan kesabaran. Semoga menjadi kebaikan bagi kita. Ini kami lakukan demi dakwah Islam. Sesunguhnya anak kami masih sangat mencintai Encim," jelas H. Damuri.
Encim juga diberitahu dan diberi penjelasan tentang maksud dan tujuan mengapa Enok sengaja akan dinikahkan dengan Ghafur itu. Beruntung Encim dan keluarganya menerima putisan itu dengan hati terbuka.
"Silakan kamu cari perempuan yang lebih baik segala dari anak saya. Semoga kalian bahagia dan mendapat rida Allah. Doakan pula Enok jadi istri yang berbakti pada suam," kata H. Damuri.
"Insya Allah, Pak Haji. Saya ikhlas berpisah dengan Enok. Saya doakan semoga ia bahagia di dunia dan akhirat. Sampaikan pula padanya, doakan saya mendapatkan pengganti yang sebaik Enok," jawab Encim.
Meski menyatakan ikhlas hubungan tali kasih dengan Enok putus, Encim merasa belum puas sebelum bertemu dengan Enok. Ia ingin mendengar langsung apakah betul Enok akan menikah dengan Ghafur atas saran dari pimpinan pondok pesantren. Karena penasarannya itu Ghafur kemudian pergi ke Jawa-Timur menemui Enok.
Setelah bertemu, Enok langsung minta maaf kepada Encim. Enok pun menjelaskan semua yang terjadi tanpa ada yang disembunyikan sedikit pun. Encim pun merasa pusa atas penjelasan itu, berarti benar Enok akan menikah dengan Ghafur dengan tujuan yang jelas pula.
"Jika Allah menghendaki, kita pasti bersatu, Nok. Mudah-mudahan di masa tua kita bisa dipersatukan-Nya dengan cara yang baik dan diridai-Nya," kata Encim.
"Kita berdoa saja, Kang. Insya Allah. Kalau memang jodoh pasti tidak akan ke mana. Semoga Allah meridai jalan kita. Amin," jawab Enok sambil tersenyum, tapi air matanya tak bisa disembunyikan di balik senyumnya yang manis. Keduanya saling menatap sebelum mereka berpisah.
"Ingat. Berdoa untuk kita, Kang!" kata Enok ketika Encim berlalu. Encim hanya menengok, mengangguk, lalu tersenyum.
Selang beberapa waktu, pada tahun 1962, Enok menikah dengan Ghafur. Sejak menikah, Enok tinggal di sebuah kota di Jawa-Timur dan memimpin pesantren wanita milik mertuanya. Sementara Ghafur langsung diangkat menjadi pemimpin pondok pesantren.
Encim pun menikah dengan wanita cantik, tetangganya. Pada acara pernikahan Enok, Encim dan keluarganya menghadiri undangan. Enok memperkenalkan kepada suaminya bahwa Encim adalah seorang pemuda yang pernah menjalin tali cinta dengannya. Ghafur pun tak apa-apa. Begitu sebaliknya ketika Encim mengadakan resepsi pernikahan Enok dan Ghafur datang ke undangan dan Enok diperkenalkan kepada istri Encim.
Ditinggal pasangan
Setangah abad kemudian, dari hasil pernikahan dengan tetangganya, Encim dikaruniai empat anak. Dua laki-laki dan dua perempuan. Hingga tahun 2000 keempat anaknya sudah berumah tangga. Bahkan ada anaknya yang perempuan melanjutkan karier ayahnya sebagai guru. Sementara Encim sudah berusia 60 tahun dan sudah pensiun dari guru.
Sayang, istrinya Ny. Renah sering sakit-sakitan. Sudah hampir tiga tahun tak bisa keluar rumah akibat terserang lumpuh. Sudah diobati ke sana ke mari tak sembuh-sembuh. Akhirnya pada Desember 2003, istri Encim meninggal dunia.
Laki-laki yang ditinggal pergi oleh istrinya akan sangat merasa kehilangan, berbeda dibanding seorang istri yang ditinggal suaminya. Bedanya, jika istri betah tinggal bersama anak-anaknya yang sudah berumah tangga, tapi laki-laki sebaliknya merasa tidak betah jika harus diurus anak-anaknya.
Encim merasa dirinya akan membebani dan mengganggu ketenangan anak-anaknya karena ia sudah pensiun. Encim mencoba menjelaskan pada anak-anaknya, ketimbang ia harus membebani mereka, ia ingin mendapat restu dari anak-anaknya untuk menikah lagi agar ada yang mengurusinya.
Namun siapa wanita yang mau padanya? Laki-laki pensiunan yang sudah tua. Mungkin ada wanita yang masih mencintainya yaitu Enok, tapi ia sudah jadi milik orang lain. Encim juga tidak tahu tentang keadaannya sekarang. Hanya satu kali ia bertemu dengannya saat H. Darmuri meninggal dunia 20 tahun silam.
Ny. Enok pun telah dikaruniai enam putra-putri. Pada waktu itu hanya tinggal si bungsu yang masih kuliah sementara kakak-kakaknya sudah berumah tangga bahkan ada dua kakaknya yang sudah memimpin pesantren di Jawa Tengah. Konon Ny. Enok-pun sudah tidak memimpin pesantren wanita karena sudah digantikan menantunya.
Tahun 2001 H. Ghafur suami Ny. Enok meninggal dunia karena terserang penyakit gula. Dengan kembali keharibaanNya, pondok pesantren dipimpin anak sulungnya. Selang beberapa bulan, Enok merasa tidak betah tinggal tanpa suami di Jawa-Tengah. Dia berencana kembali ke Bandung mumpung masih ada seorang adik kandung perempuan. Dan ingin membangun rumah karena lahan tanahnya masih ada sisa warisan dari orangtuanya.
Si sulung sebetulnya tidak mengizinkan ibunya pulang kampung. Begitu juga keenam anak-anaknya tidak menyetujui berpisah tempat dengan ibu tercintanya. Namun, Ny Enok tetap ingin pulang ke tanah kelahirannya yang sudah hampir setengah abad ditinggalkannya.
"Ibu ingin membangun rumah di Bandung. Toh lahan tanah untuk membangun rumah masih ada peninggalan kakekmu. Ibu sudah rindu ingin merasakan sejuknya udara Bandung. Rumah di sini silakan pakai untuk kalian," begitu ungkap Ny. Enok kepada anak-anaknya. (bersambung)**
0 comments:
Post a Comment