Kisah Pedih Seorang Anak Buruh (2-Tamat)
Akhirnya Aku Dapat Rumah Layak Huni
SEBELUMNYA diceritakan, Nasih (53), warga Cisarua, Kabupaten Bandung Barat yang tidak lulus SD itu bekerja sebagai buruh tani membantu orangtuanya. Beruntung baginya, pemilik sawah yang digarap oleh ayahnya, menaruh hati padanya. Laki-laki itu ditinggal mati istrinya. Nesih pun tidak menolaknya. Mereka menikah. Namun kebahagiaannya hanya sebentar saja. Suami tercinta meninggal dunia. Bagaimana nasib Nesih? Inilah akhir kisahnya yang ditulis D. Ruspiyandy. Semoga ada hikmahnya.
ALMARHUM suamiku meninggalkan sedikit warisan. Setelah dibagi dengan anak-anak dari isteri sebelumnya, aku mendapat rumah tinggal yang sederhana di daerah Sindangsari, Kelurahan Cigugur Tengah, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi. Sebetulnya rumah itu tak layak huni, tetapi karena keterbatasan biaya terpaksa kutempati saja. Ya, lumayanlah untuk sekadar berteduh dari panas dan hujan.
Waktu pun terus berjalan. Suamiku telah lama meninggal. Suatu hari ada seorang duda beranak tiga yang ditinggal mati istrinya, tertarik padaku. Ia sering lewat rumahku dan mandi di jamban dekat tempat tinggalku. Perkenalan pun berlangsung. Bahkan ia langsung mengutarakan maksudnya untuk menikah dengaku. Permintaan itu tidak langsung kurespon. Jujur saja aku masih teringat pada suami pertama. Namun, setelah kupikir lagi, aku memang butuh orang yang membiayai kehidupanku dan keempat anakku. Setelah kupikir dengan matang, kuterima lamarannya dan kami pun menikah. Ponimin nama laki-laki itu.
Aku berharap di pernikahan kedua ini aku bisa hidup bahagia dengannya. Aku menikah sekitar tahun 1992. Saat hidup berumah tangga denganku, Ponimin bekerja di bengkel mobil. Ia bekerja hingga larut malam bahkan ada kalanya sampai Subuh. Lantaran upahnya tidak seimbang dengan beban kerjanya, suamiku keluar dari bengkel dan memilih berjualan mainan anak-anak dekat SD Cimahi Mandiri 3, di daerah Jati, dekat Kantor Pemerintahan Kota Cimahi saat ini. Hasilnya, hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Darinya aku dikaruniai anak laki-laki bernama Wahyudin, dia bekerja di perusahaan bata press di kawasan Cibaligo, Sri Rahayu sekolah di SMA di daerah Tanjung Priok Jakarta Utara bersama bibinya, Juaningsih jadi pengasuh anak, Saparudin tidak sekolah, Tika Lestari, dan Safitri yang saat ini tinggal di Panti Asuhan Anak Saleh di Jalan Pasantren Kota Cimahi. Mereka duduk di kelas 5 SD dan kelas 2 SD.
Belakangan suamiku terkena penyakit paru-paru akibat terlalu sering bekerja malam hari waktu di bengkel dulu. Ia jarang makan dan terlalu banyak merokok. Kucoba berobat mulai dipuskesmas, hingga ke RS Paru-paru di Jalan Cibadak, Kota Bandung. Bahkan ia sempat dirawat selama dua minggu di RSU Cibabat, Kota Cimahi. Kondisi kesehatannya semakin memburuk dan suamiku meninggal tahun 2008 setelah banyak memuntahkan darah segar. Penyakit itu dideritanya hampir tiga tahun. Jenazah suamiku dimakamkan di pemakaman umum di daerah itu juga.
Untuk kedua kalinya aku ditinggal mati oleh suamiku tercinta. Yang tertinggal kini enam orang anak dan bila digabung dengan yang sebelumnya anakku seluruhnya sepuluh orang.
Tetap bertahan
Hidup terus berjalan dan aku tetap bertahan dengan apa pun yang bisa kulakukan. Yang terpenting anak-anakku itu bisa makan. Beruntung sewaktu masih ada suamiku, aku belajar memijat secara otodidak. Keahlian itu kumanfaatkan untuk mencari biaya hidup kami. Walaupun penghasilanku tidaklah besar tetapi telah meringankan beban yang kutanggung saat itu. Aku bersyukur karena banyak orang yang mengetahui keahlianku. Untuk memudahkan langganan memanggilku, kuberikan nomor HP Esih, anakku dari suami pertama. Saat ini aku bisa memijit sampai Soreang, Padalarang, Cimahi bahkan ada langgananku yang tinggal di Kota Bandung. Tetapi kalau tak ada yang memanggil aku tetap menjadi buruh cuci.
Ketika suamiku masih hidup, sebenarnya rumahku yang tak layak huni itu sudah diusulkan untuk diperbaiki melalui bedah rumah Pemerintah Kota Cimahi. Suamiku saat itu mencoba melakukannya tetapi tak berhasil. Tahun 2010 ada yang menyarankan agar aku menulis surat pembaca di sebuah harian terbesar di Jawa Barat agar rumahku bisa dibedah dibantu seorang kader PKK di daerahku. Hasilnya di luar dugaan, setelah surat yang kutulis itu dimuat, banyak yang simpati dengan penderitaan yang kualami. Ada yang memberikan beras atau kebutuhan sehari-hari, termasuk bantuan dari PKK Keluarahan dan PKK Kecamatan. Bahkan rumahku kemudian diperbaiki. Surat pembaca itu dimuat bulan Juli dan bedah rumah dilakukan sekitar bulan Oktober 2010.
Sewaktu rumah dibedah, aku sementara tinggal di salah seorang anakku yang masih dekat dengan tempat tinggalku. Bedah rumah itu berlangsungs elama satu bulan dan menghabiskan dana sebesar 22 juta. Aku bersyukur rumah yang kutempati saat ini membuatku dan anak-anakku betah menempatinya. Paling tidak keadaan rumahku itu lebih baik dari yang dulu. Aku bersyukur karena Allah telah memberikanku kesempatan memiliki rumah yang layak huni padahal hal itu tak pernah aku duga sebelumnya.
Menjadi tukang pijat adalah profesi yang kuandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Sehari rata-rata dua sampai lima orang pelanggan. Rata-rata setiap orang memberi upah sebesar Rp 20.000. Uang itu bisa menutupi kebutuhan hidup sehari kami bertiga. Dua orang sudah mampu menghasilkan uang sendiri. Anakku yang pertama dari Ponimin bahkan mengkredit sepeda motor. Kendaraan itu biasa kugunakan untuk mendatangi pelanggan yang jauh.
Meskipun kehidupanku seperti ini, aku tetap bersyukur karena dengan segala ujian yang diberikan Tuhan telah membuatku sadar, manusia tetaplah lemah tanpa ada kekuatan yang diberikan oleh-Nya. Aku hanya berharap di masa tuaku aku bisa hidup bahagia dan cita-cita semua anakku dapat tercapai pada suatu hari kelak. Sebagai seorang ibu aku akan terus bedoa untuk mereka, karena kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaanku juga. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengantarkan mereka untuk bisa meraih segala cita-citanya. **
0 comments:
Post a Comment