Mimpi Seorang Petani Kecil (1)

Anak-anakku Harus Menjadi Orang Sukses
KISAH ini dialami Ny. Entin (50, bukan nama sebenarnya), warga Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Seorang petani kecil yang hidup pas-pasan yang berjuang untuk menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Ia menginginkan kedua anaknya, Cecep dan Cucu (keduanya bukan nama asli), menjadi orang sukses di masa depan. Mampukah Ny. Entin meraih impiannya itu? Ikuti kisahnya yang ditulis M. Irfan untuk Anda. Semoga ada manfaatnya.

SETELAH menunggu selama empat tahun, akhirnya kami sampai pada puncak kebahagiaan. Aku dan suamiku tersenyum bangga ketika Cecep, anakku, dengan mata berbinar mengatakan lulus sidang dengan yudisium cum laude(dengan pujian) dan akan diwisuda satu bulan berikutnya.

"Tidak sia-sia aku menyekolahkanmu, Nak!" kata suamiku sambil menepuk pundak Cecep. Matanya tampak berkaca-kaca. Tampak sekali kebahagiaan di matanya.Aku merangkul Cecep erat-erat. Beberapa kali kucium pipinya. Aku tak lagi bisa menyembunyikan rasa sukacitaku.

Air mata kebahagiaan membasahi pipiku. Boleh jadi bagi orang lain ini berlebihan, tapi tidak bagiku dan suamiku, karena aku merasakan betul bagaimana beratnya mendorong Cecep untuk menyelesaikan kuliahnya.

Kami bukanlah orang yang berkecukupan, sehingga untuk memenuhi semua biaya kuliah Cecep dan biaya sekolah adiknya, kami harus jungkir balik, peras otak peras keringat. Kami juga rela kehilangan sepetak sawah, satusatunya sumber kehidupan kami, demi ijazah sarjana anakku.

"Kamu jangan patah semangat, Nak. Berjuang terus. Jangan malas. Tunjukkan kesungguhanmu pada emak dan bapak," kataku setiap malam, usai salat isya berjemaah.

"Insya Allah. Saya akan melakukan semua nasihat Emak dan Bapak. Doakan Cecep agar mendapat kemudahan menjalani kuliah dan mendapatkan pekerjaan dengan mudah pula," katanya sambil mencium punggung tanganku. Jauh di lubuk hatiku doa meluncur dengan deras. Aku berharap Allah mendengar semua kata hatiku. Aku ingin segera melihat anakku hidup layak. Dialah satu-satunya harapanku.

Dia harus tumbuh menjadi manusia yang tegar, mandiri, maju, dan sukses. Jangan sampai menjalani kehidupan kami yang pas-pasan. "Kamu harus sukses, kamu harus maju. Tunjukkan pada kami dan adikmu. Kami juga titip adikmu. Jika sudah berhasil jangan lupakan dia. Tidak perlu memikirkan emak dan bapak. Cukuplah perhatikan adikmu," kataku.

"Iya, Mak. Insya Allah semua pesan Emak dan Bapak akan selalu Cecep ingat. Semoga Allah memberikan kekuatan pada keluarga kita, melindungi, memberikan kemudahan, memberi kesempatan bersyukur, dan menjauhkan kita dari kesombongan," katanya waktu itu. Kami sangat bangga mempunyai anak saleh sepertinya.

Kendati mahasiswa, Cecep tidak pernah malu dan ragu untuk membantu ayahnya mencangkul di sawah. Pernah kudengar ayahnya melarang tetapi Cecep menjawab dengan tegas. "Tanpa keringat tidak mungkin orang sukses. Saya ingin bukan hanya keringat Bapak yang mengalir dalam perjalanan kuliah saya, saya pun ingin ada keringat saya," katanya.

Ah, aku sangat terharu melihat semangatnya yang luar biasa. Tidak hanya semangat belajar, ia juga semangat bekerja. Waktu luangnya digunakan untuk membaca. Entahlah buku apa dan buku siapa yang dia baca karena Cecep tidak pernah merengek meminta uang untuk membeli buku.

Hari demi hari beban itu terus kami pikul sekuat tenaga, jalan terjal dan berkerikil terus kami lalui. Tak kuhiraukan semua rintangan yang menghalangi. Hanya satu tujuan kami: Cecep harus menjadi orang sukses.

Kini cahaya kesuksesan itu sudah mulai tampak. Setidaknya gerbang terberat sudah kami lalui. Lulusnya Cecep dari perguruan tinggi merupakan gerbang awal menuju kesuksesan. Kami sangat berharap banyak pada Cecep. Kami ingin dia segera mendapat pekerjaan dan penghasilan yang baik. Tinggal satu lagi beban bagiku: Cucu, adik Cecep yang baru masuk SMK.

Meskipun Cucu seorang perempuan, kami tidak ingin membeda-bedakan. Dia pun harus sukses, harus mendapat penghasilan yang tetap untuk membantu ekonomi keluarganya nanti, membantu meringankan beban suaminya juga. Aku merasakan betapa pentingnya peran seorang wanita bagi suami. Tanpa seorang istri, suami tidak akan meraih sukses dalam keluarga. Seperti yang kami alami. Aku pun terpaksa banting tulang membantu suami untuk menghidupi anak-anak dan biaya pendidikan mereka.

Seandainya Cucu mendapat penghasilan, tentu suaminya nanti tidak akan terlalu berat untuk membiayai rumah tangganya.

Meski hanya seorang petani kecil, aku tidak ingin Cucu hanya jadi perempuan yang dulang tinande, hanya berada di dapur, memasak nasi, mencuci, dan mengasuh anak. Dia harus berwawasan luas, harus berpikiran maju seperti Dewi Sartika. Pengetahuan dan penghasilannya harus setara dengan laki-laki. Itulah sebabnya kami selalu mengatakan padanya agar tidak pernah kehilangan semangat.

"Jangan berpikir tentang biaya. Tugas kamu adalah sekolah. Belajarlah dengan baik. Ikuti langkah kakakmu. Raih cita-cita setinggi langit!" ucap suamiku suatu ketika usai makan bersama sambil duduk bersila. Kami selalu berupaya membiasakan makan bersama meski makan seadanya karena nikmatnya luar biasa.

"Kamu dengan ucapan bapakmu, Cu?" ujarku.

Ia menengadah, melempar pandangan ke arahku, lalu mengangguk. Perlahan-lahan kutatap anak perempuanku itu. Ia sangat cantik. Kata bapaknya mirip denganku, tapi hidung dan kulitya mirip bapaknya. Dia putih dan mancung. Seandainya ditakdirkan menjadi anak orang kaya, tentu kecantikannya akan lebih terlihat dengan balutan pakaian yang bagus. Kalau ingat itu, aku rasanya ingin sekali menangis. Remaja seusia Cucu adalah masa bersolek, masa mempercantik diri. Tetapi kami tidak bisa memanjakannya.

Malah kami kadang membaluri tubuhnya dengan tanah sawah yang pekat, membakar kulitnya dengan terik matahari. Ah, maafkan emak, Nak! Ini semua terpaksa kita jalani karena keadaan kita tidak seberuntung orang lain. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP