Mimpi Seorang Petani Kecil (2)

Akulah Orang Paling Bahagia Sedunia
SEBELUMNYA diceritakan, Ny. Entin merasa sangat bahagia karena anaknya, Cecep, lulus sidang akhir di kampusnya dengan yudicium cumlaude (dengan pujian). Bulan mendatang Cecep akan diwisuda. Ny. Entin merasa bangga karena jerih payahnya berbuah manis. Anak seorang petani kecil berhasil lulus kuliah dengan prestasi sangat membanggakan. Berlanjutkah kebahagiaan Ny. Entin? Ikuti lanjutan kisahnya yang diungkap kembali oleh M. Irfan.

"SUDAHLAH, yang penting kita syukuri nikmat yang kita terima." Tak kuduga kata-kata itu keluar dari mulut Cucu ketika aku mencoba mencurahkan isi hatiku padanya.

Subhanallah. Aku merasa sangat bahagia mempunyai anak yang salehah. Mudah-mudahan Allah memberikan jalan hidup yang mudah baginya. Cukuplah sudah kepahitannya ia rasakan pada masa remajanya. Biarlah ia menikmati kebahagiaannya di masa dewasa.

Aku sangat besar harapan kedua anakku akan mendapatkan yang kuimpikan selama ini. Mereka akan berumah tangga didampingi pasangan hidup yang baik pilihan mereka. Aku tidak akan turut campur urusan yang satu itu, biarlah mereka yang menentukannya karena aku dan suamiku yakin, mereka tidak akan salah pilih. Pendidikan moral dan agama yang kami berikan, kupikir cukup menjadi fondasi bagi mereka untuk menentukan pasangan hidup.

Cecep yang saat ini sudah lulus dengan hasil membanggakan sudah kuanggap sebagai separuh kesuksesan hidupnya. Tinggal selangkah lagi ia akan mendapatkan semua yang dicita-citakannya.

"Seandainya nanti Cecep lulus, kemudian mendapat pekerjaan dan penghasilan, Cecep ingin berkonsentrasi dulu pada Cucu. Ia harus sekolah, harus pintar, harus mendapat pekerjaan yang layak agar ia lebih dihargai oleh suaminya nanti," ujar Cecep.

Aku hanya mengangguk pelan. Jauh di lubuk hatiku ada gemuruh yang luar biasa besarnya. Gemuruh kebanggaan sekaligus kesedihan. Betapa mulianya niat yang ada dalam hati anakku itu. Ya, ini memang buah pendidikan rumah tangga yang diberikan suamiku padanya. Kedua anakku, Cecep dan Cucu, sangat akur dan saling menyayangi. Mereka selalu saling memerhatikan dalam segala hal, dari mulai hal-hal yang besar hingga pada persoalan yang remeh temeh. Setiap hari aku mendengar Cecep bertanya, apakah adiknya sudah makan atau belum. Ia juga selalu mengingatkan agar adiknya tidak terlambat melaksanakan salat. Demikian pula sebaliknya, Cucu selalu mengingatkan Cecep agar tidak lupa menyisir rambut sebelum pergi kuliah. Aku biasanya hanya tersenyum melihat tingkah kedua anakku itu. Kurasa di dunia ini tidak ada orangtua yang paling bahagia melihat kerukunan anak-anaknya selain aku dan suamiku.

Cecep adalah pemuda yang berpikiran dewasa dan tidak pernah terpengaruh oleh lingkungan buruk di sekitarnya. Ia juga selalu memerhatikan dan mengingatkan adiknya agar tidak terjerumus pada perbuatan nista yang akan mencoreng nama baik pribadi dan nama baik keluarga.

"Meskipun kita bukan orang berada, kita ini punya agama, Neng. Pegang teguh agama kita. Insya Allah kita akan selamat. Berbakti pada orangtua itu tidak hanya dengan menghormatinya, mengurusnya, dan memberinya rezeki kalau kita punya, tetapi juga berbakti itu dengan menjaga perasaannya, jangan coreng nama baiknya oleh perilaku buruk kita. Kita berperilaku baik sama dengan berbakti kepada mereka," kata Cecep.

Kata-katanya itu kudengar secara tidak sengaja ketika mereka duduk bersantai di ruang depan, ruang tamu yang merangkap ruang keluarga. Kupejamkan mata, kutundukkan jiwaku. Hatiku mengucap syukur pada Ilahi atas berkah dan nikmat yang luar biasa ini. Cecep dan Cucu adalah karunia bagiku, bagi suamiku. Terima kasih, ya Rabb, Engkau telah menitipkan amanat yang sangat baik pada kami. Lindungilah diri kami selamanya dari segala bentuk kemaksiatan, lindungi dan hindarkan kami dari rasa sombong dan tidak bersyukur, karuniakanlah kepada kami rasa cukup atas semua nikmat dan berkah yang telah kaucurahkan pada kami, jangan gelincirkan kami dari akidah, dan jangan lemahkan iman kami karena kemiskinan. Engkaulah yang Maha Terpuji dan Mahakasih.

"Mak, katanya A Cecep lulus sidang, ya? Wah, asyik dong. Mudah-mudahan A Cecep segera dapat pekerjaan dan penghasilan," kata Cucu sepulang sekolah.

"Alhamdulillah hari ini dia lulus sidang. Tinggal menunggu wisuda," jawabku.

"Selamat deh, A. Mana dong hadiahnya? Traktir Neng, ya?" ucap Cucu ketika bertemu kakaknya.

"Apa enggak kebalik tuh? Mestinya Neng yang ngasih hadiah ke Aa sebab Aa udah lulus. Terus Neng yang nraktir Aa," jawab Cecep sambil mencuil hidung adiknya.

"Ah, dasar pelit." Cucu cemberut.

"Iya deh, iya deh, nanti kalau Aa sudah dapat penghasilan, Neng Aa traktir. Aa janji lo. Sekarang untuk makan aja kita masih dikasih sama Emak. Punya uang dari mana?" timpal Cecep.

Ah, aku sangat bahagia menyaksikan adegan harmonis anak-anakku itu. Semua beban pikiran dan rasa capek sirna oleh keceriaan anak-anakku. Aku bangga pada mereka. Orang Sunda bilang kabeuli hate najan kudu dug hulu pet nyawa oge.

Mendengar Cecep lulus sidang dengan nilai yang sangat bagus, semua tetanggaku mengucapkan selamat. Mereka memuji-muji kehebatan dan kesalehan anakku. Mereka juga memujiku dan suamiku yang telah memapu menyekolahkan anak hingga ke jenjang perguruaan tinggi. Jujur saja, hidungku kembang kempis mendengar pujian itu. Tapi aku segera sadar tidak ada yang lebih pantas dipuji selain Allah. Kesuksesan anakku, kesuksesanku dan suamiku bukanlah apa-apa tanpa izin dan kasih sayang Allah. Oleh karena itu semua pujian tetangga hanya kutimpali dengan senyum dan ucapan hamdallah. "Alhamdulillah. Terima kasih atas doa dari kalian. Semoga Allah mencatat kebaikan kalian," ucapku. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP