Liku-liku Seorang Buruh Pabrik (1)

Sejak Suami Meninggal, Hidupku Tak Tentu
BAK layang-layang putus talinya. Begitulah pengakuan Ratih warga Kabupaten Bandung, sejak suaminya meninggal. Namun, ia cepat sadar bahwa hidup masih harus berjalan dan tidak boleh larut dalam kesedihan. Ia pun bangkit demi masa depan kedua anaknya. Lalu ia bekerja di pabrik handuk Majalaya. Kisah selanjutnya ditulis Denny Kurniadi.

HANYA dalam hitungan minggu, suamiku menyerah. Ia seolah tak kuat lagi menahan sakit jantungnya. Ia meninggal jam 5 sore, tepat di hadapanku dan kedua anakku. "Mah, jaga anak-anak kita, Bapak pamit, yah," begitu kata-kata terkahir yang diucapkannya sebelum ia berpulang ke rahmatullah.
Sontak air mata kesedihan terus bercucuran. Aku dan anak-anakku memeluk erat tubuh kaku suamiku. Bibirku terus bergumam, "Kenapa Allah begitu cepat memanggil dia, satu-satunya orang yang aku cintai. Satu-satu orang tempat kami mengadu dan menggantungkan harapan." Bak layang-layang putus talinya. Aku kehilangan orang yang selalu membimbing kami, yang menghidupi kami meski pas-pasan. Namun, bagiku kesederhanaan itu adalah sebuah kebahagiaan. Seperti perempuan kebanyakan bahwa sesuatu yang paling membahagiakan dalam hidup adalah ketika memiliki suami yang setia dan anak-anak yang lucu-lucu.

Kehampaan hidup sempat aku rasakan beberapa bulan. Kedua anakku pun terlihat tak seceria dulu. Mereka tampak lebih sering melamun. Tak terlihat lagi canda tawa. Bahkan, ia sering menanyakan, "Mah, kenapa bapak meninggal?" ujarnya. Maklum, namanya juga anak-anak.

Aku tersadar bahwa aku harus segera bangkit. Aku tidak boleh terus bergelut dengan kesedihan. Aku khawatir akan masa depan anak-anakku. Maka, ditengah kesedihan yang begitu dalam, aku hibur anak-anakku agar mereka tak murung lagi.

Waktu pun terus berputar. Tak terasa status janda sudah menginjak tahun kedua. Aku mulai merasakan betapa sakitnya memiliki status janda itu. Lelaki cunihin satu per satu mendekatiku. Ada yang sekadar iseng-iseng hanya ingin mencicipi kehangatan tubuhku, ada juga yang serius mengajak menikah. Di sisi lain ibu-ibu mulai memperlihatkan wajah sinisnya. Padahal, aku tak pernah bertingkah aneh-aneh, apalagi menggoda lelaki. Kalau sekadar murah senyum itu memang sudah sifatku sejak dulu. Aku mafhum. Status janda memang serba salah.

Bersolek sedikit saja disangka beger dan mau mencari "mangsa". Lantas, demi mempertahankan hidup, aku harus segera mempunyai penghasilan. Kurang enak rasanya kalau aku terus bergantung kepada saudara-saudaraku, termasuk keluarga suamiku. Aku harus bekerja, meski hanya bermodal ijazah SD. Kebetulan aku banyak teman yang sedang bekerja di beberapa pabrik di Majalaya. Aku pun terus mencari tahu kalau-kalau ada pabrik yang membuka lowongan pekerjaan. Dan akhirnya aku diterima di sebuah pabrik handuk, meski aku harus merogoh kocek terlebih dahulu sebagai uang pelican sebesar Rp 500.000. Tentu saja uang sebesar itu sangat besar bagiku. Namun, kebetulan temanku bersedia memberi pinjaman dengan perjanjian dua minggu gajih harus aku serahkan kepadanya. Aku pun menyanggupinya yang penting aku bisa bekerja.

Maka, resmi sudah aku menjadi buruh pabrik handuk itu. Tak terasa aku sudah bekerja enam bulan di pabrik handuk itu. Luka hatiku ditinggal suami tercinta berangsur terobati. Hari-hariku penuh canda tawa. Teman-temanku sangat memahami kondisi spikisku. Mereka sering menghiburku dengan gurauan- gurauan.

Yang terpenting bagiku adalah mencukupi kebutuhan hidup seharihari, termasuk biaya sekolah anakanak. Ya itu tadi meski penghasilanku jauh dari mencukupi seminggu sekali hanya Rp 250.000, tapi paling tidak aku telah mampu berdiri sendiri tidak lagi bersandar kepada orang lain.

Bayaran sebesar Rp 250.000 itu memang belum bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ongkos dari Ciparay ke Majalaya saja pulang pergi dalam hitungan per minggu mencapai Rp 100.000. Sisanya aku irit-irit saja untuk makan sehari-hari dan jajan anak-anak. Itu artinya agar aku bisa bertahan dalam kondisi pahit seperti itu aku harus terus masuk kerja. Bolos sehari saja pasti kena potongan yang akhirnya penghasilanku jadi berkurang.

Tak apalah, aku rela menahan letih yang penting anak-anak tidak kelaparan. Jam kerjaku berubah-rubah tergantung shift. Shift pagi, masuk jam 7 dan keluar jam 4 sore. Shift siang masuk jam 2 pulang jam 11 malam. Dan Kalau shift malam masuk jam 11 keluar jam 5.30 pagi.

Semua itu aku jalani dengan ikhlas. Biar hidup pas-pasan yang penting aku bisa melupakan rasa sedihku. Aku bisa kembali merasakan hangatnya mentari pagi, dan aku yakin suatu saat nanti masih ada setitik harapan untuk menggapai kebahagiaan yang dulu pernah aku rasakan bersama suamiku.

Benar saja seiring putaran waktu sejumlah lelaki mulai menggodaku. Mulai dari lelaki berstatus bujangan, duda banyak juga yang justru masih punya istri. Satu sisi aku bahagia sebab ternyata aku masih laku. Namun, di sisi lain aku pun sering bertanyatanya apakah godaan mereka itu hanya iseng-iseng saja karena mereka tahu bahwa aku seorang janda? Atau memang benar-benar ingin memilikiku sepenuh hati.

Tapi akhirnya aku bisa menilai siapa yang hanya iseng dan siapa yang berniat baik mengawiniku. Hanya saja hingga saat itu aku belum berniat untuk mencari pengganti suamiku. Anak-anakku pasti belum siap dengan kehadiran lelaki lain di rumahku.

Makanya, ketika ada satu dua orang yang berniat melamarku aku tolak secara halus hingga mereka mengerti.

Suatu ketika ada seorang lelaki yang cukup tampan dan berwibawa. Sebut saja namanya Bram. Ia adalah kepala shift. Tiba-tiba ia mengutarakan isi hatinya dan berniat memperistriku.

Namun ia pun mengaku masih punya istri. Tentu saja aku menolaknya karena aku tak mau menyakiti perasaan sesama kaumku.(bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP