Liku-liku Seorang Buruh Pabrik (2)

Aku Terjebak dan Kena Perangkap Bram
Sebelumnya diceritakan, Bram terus mengejar Ratih. Keukeuh terhadap niatnya ingin memilikinya. Hingga suatu saat ketika Ratih kebingungan mencari uang pinjaman untuk mengobati anak bungsunya yang sedang sakit keras, Bram datang bak dewa penolong. Lantas apa yang terjadi? Simak kisah selanjutnya seperti dituturkan kepada Denny Kurniadi.

SETELAH ia tahu kekalutanku saat itu, tanpa basa basi Bram memberikan aku uang yang lumayan besar. Aku tak kuasa menolaknya karena aku memang sangat membutuhkannya.

"Sudahlah terima saja uang ini, aku rela kok," ujarnya seraya tersenyum. Aku pun akhirnya menerimanya lalu aku pamit hendak membawa anakku ke rumah sakit.

Beruntung anakku tidak harus dirawat, sehingga keesokan harinya aku bisa masuk kerja. Saat jam istirahat Bram menghampiriku dan menanyakan kondisi anakku. Sejak itulah kedekatanku dengan Bram mulai lengket dan mulai jadi gunjingan di pabrik.

Padahal, aku dan Bram tidak punya hubungan serius. Hanya memang Bram berlebihan cara memperlakukan aku. Wajar saja kalau teman-teman sepabrik mencemburuiku. Celakanya, Bram menjadi semakin sering memberi aku uang. Bahkan, aku pun sudah berani minta uang.

Apa mau dikata, sejak ibuku aku urus praktis kebutuhanku menjadi bertambah. Aku harus bisa membuktikan kepada ibu bahwa aku bisa menjalankan amanah almarhum ayah yang menitipkan ibu kepadaku ketimbang kepada saudara-saudara yang lain.

Aku sudah terjebak dengan kondisi ekonomiku sendiri. Dan aku tahu bahwa aku sudah kena perangkap Bram. Ia sengaja membantuku mengatasi masalah keuanganku yang akhirnya Bram dengan mudah memilikiku.

Terbukti. Suatu saat Bram mengajakku ke Cipanas Garut. Tiba-tiba saja bibirku kelu tak kuasa menolaknya mengingat kebaikan Bram selama itu. Maka, berangkatlah aku dengannya menginap satu malam. Kebetulan saat itu sif pagi, jadi kami bisa berangkat siang hari dan pulang pagi hari.

Apa yang terjadi disana? Lagi-lagi aku tak kuasa menolak ajakan Bram untuk bermesraan. Anehnya, saat itu aku merasa mendapatkan kembali kebahagiaan. Mungkin karena aku sudah empat tahun tak merasakan kembali kehangatan lelaki. Dan, itu terus berulang-ulang. Aku jadi budak nafsu lelaki bernama Bram.

Gunjingan semakin meluas. Ada yang sinis ada pula yang justru mempengaruhi agar aku mau menjadi istri kedua Bram. "Mau apa lagi, Bram itukan ganteng, banyak duit. Jangan memikirkan istrinya, 'toh banyak buruh pabrik yang dimadu," begitu beberapa temanku mempengaruhiku.

Celakanya lagi, benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku. Aku merasa bahwa hanya Bram yang mampu menggantikan almarhum suamiku. Anak-anakku pun ternyata mau menerima kehadiran Bram. Dan aku tak punya lagi pilihan kecuali meminta Bram untuk mengawiniku meski harus dimadu.

Tapi, Allah berkehendak lain. Belum juga aku mengutarakan niatku, tiba-tiba saja istri dan anak Bram datang ke pabrik dan mencariku. Aku dimaki habis-habisan dengan dibumbui bahasa binatang. Tidak hanya itu aku pun disiksanya, dijambak dan ditempeleng. Aku benar-benar menjadi bulan-bulanan amarah mereka.

Anehnya meski kejadian itu persis di hadapan teman-temanku, namun tak seorang pun yang mau menolongku, melerainya. Kecuali satpam, itupun datang setelah aku babak belur keluar darah dari hidungku.

Kalau soal sakit bisa aku tahan. Tapi menanggung rasa malu rasanya sulit untuk kubuang. Aku seolah menjadi perempuan yang tak punya arti. Aku pulang sembari menangis hingga satu minggu lamanya aku tak masuk kerja.

Aku dipanggil oleh seorang manajer. Aku dimarahi namun ia masih memberi kesempatan untuk bekerja. Tentu saja dengan sarat bahwa aku tidak boleh mengulangi perbuatan yang nota bene telah mencoreng nama baik perusahaan. "Kalau mau bercinta bukan dengan lelaki sepabrik biar tidak mengundang masalah," ujarnya.

Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku. Aku pun kembali bekerja seperti biasa. Tapi hatiku tetap bertekad bahwa aku harus minta pertanggungjawaban Bram. Aku tanya sana tanya sini, di mana keberadaan Bram yang telah sebulan tidak masuk kerja.

Satu bulan lamanya temanku itu mengintai Bram. Ternyata Bram bersama keluarganya sudah pindah alamat. Rumah itu adalah rumah kontrakan. Tak seorang pun yang tahu kemana Bram pindah. Namun, belakangan ada kabar bahwa mereka pulang ke Jawa Timur.

Pupus sudah harapanku. Aku kembali menjalani hidup penuh kehampaan. Tak ada lagi lelaki yang menghiasi mimpi-mimpiku. Tak ada lagi lelaki yang bisa menolong dikala aku sedang kesusahan, terutama soal keuangan. Padahal, kebutuhanku semakin banyak.

Ibu semakin sakit-sakitan dan selalu harus ke dokter. Anak paling besar sudah masuk SMP yang tentu saja biayanya menjadi bertambah. Pendek kata, gaji per minggu Rp 250.000 itu sangat tidak cukup. Terpaksa aku harus pinjam sana pinjam sini, sehingga gaji pun selalu habis untuk bayar utang itu. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP