Liku-liku Seorang Buruh Pabrik (3-Tamat)

Aku Sempat Menjadi Wanita Panggilan
SEBELUMNYA diceritakan, Ratih sempat dikejar-kejar oleh Bram. Pria itu betul-betul tergila-gila oleh Ratih, namun Ratih menolaknya karena Bram punya istri. Ia tak ingin menyakiti sesama kaumnya. Bram terus ngotot hingga suatu hari anak dan istri Bram datang ke tempat kerja. Bram pergi, Ratih menjadi bahan cemoohan. Apa yang terjadi selanjutnya? Denny Kurniadi masih mengisahkannya.

AKU memutuskan untuk pindah ke pabrik lain dengan harapan mendapat penghasilan lebih baik. Alhamdulillah tidak sulit aku bekerja di pabrik garmen. Tapi penghasilanku per minggu hanya unggul sedikit, yaitu Rp 275.000 per minggu. Praktis kondisi ekonomiku belum membaik. Aku masih kalangkabut mengatasi masalah kebutuhanku itu.


Bahkan, di pabrik yang baru itu, aku justru terjebak dalam pergaulan urakan. Jujur, aku telah terperosok ke lembah hitam. Aku siap melayani ajakan lelaki mana pun, yang penting aku mendapat uang tambahan. Betapa hinanya diriku. Namun, percayalah semua itu aku lakukan demi mempertahankan hidupku dan keluargaku.

Memang benar sejak aku menjadi wanita booking-an, aku mendapat uang tambahan. Kebutuhanku sedikit demi sedikit bisa teratasi. Mungkin itu jalan yang harus aku lakukan, tapi aku berniat suatu saat kelak kelakuan burukku itu harus aku sudahi.

Ternyata tidak hanya aku yang seolah-seolah menjadi buruh pabrik plus. Banyak juga wanita lain yang berkelakuan seperti itu. Tapi akhirnya tercium oleh pihak manajemen, satu per satu dikenai sanksi, kami dikeluarkan. Pihak manajemen tidak mau perusahaannya tercoreng. Aku pun memakluminya.

Aku berpikir, suatu saat kelakuanku pasti juga tercium pihak manajemen. Ketimbang dikeluarkan lebih baik keluar sendiri meski tidak mendapat pesangon karena memang tidak ada aturan karyawan yang minta keluar sendiri mendapat uang pesangon. Kalaupun ada, tidak seberapa paling satu kali bayaran.

Namun, tampaknya Allah masih menyayangiku. Belum juga aku mengutarakan niatku, pihak manajemen mengumumkan akan ada PHK besar-besaran. Aku pun lebih memilih untuk diPHK saja, uang pesangonnya akan aku jadikan modal membuka warung kecil-kecilan di rumah.

PHK pun terjadi, lumayan aku mendapat pesangon sebesar Rp 5 juta. Jumlah yang lumayan cukup untuk membuka warung. Aku berharap hidupku menjadi membaik dan keluar dari lembah dosa.

Sayangnya, niatku tak dapat terealisasi. Uang pesangon aku gunakan untuk Ibu berobat. Ibu memang sudah lama mengidap penyakit jantung, komplikasi dengan diabet. Menurut dokter, ibu harus segera dirawat di rumah sakit tidak cukup dengan berobat jalan. Aku pun menuruti. Ibu dua kali dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Entah kenapa ibu tak kunjung sembuh.

Tapi demi ibuku tercinta aku iklas kalau uang pesangon itu dipakai untuk biaya berobat ibu hingga mencapai 3 juta.

Ketika ibu baru sebulan pulang dari RSHS, anakku yang SMP kena musibah. Ia menabrak anak kecil hingga terluka parah.

Aku pun harus berurusan dengan orangtua anak itu. Uang satu juta aku serahkan sebagai biaya berobat. Sejak itu pupus sudah harapanku untuk membuka warung. Padahal, aku yakin kalau saja aku punya warung mungkin hidupku akan sedikit tertolong. Kalau sekedar makan saja mungkin bisa aku dapatkan dari hasil warung.

Mencoba bangkit

Penderitaanku ternyata belum berakhir. Tapi kucoba untuk tegar. Aku pun kembali mencari lowongan pekerjaan di pabrik lain. Karena aku punya pengalaman, tidak sulit diterima di pabrik lain.

Aku kembali menjalani hari-hari yang melelahkan namun tetap mengasyikan. Kendati dengan upah kecil namun rasa bingungku memikirkan hidup bisa terobati, ya seperti dulu ketika pertama kali aku bekerja di pabrik.

Tapi aku tetap ingin membuka warung. Entah kenapa firasatku selalu mengatakan bahwa dengan membuka warung hidupku akan berangsur membaik. Sedekit demi sedikit pengasilanku akan aku tabungkan untuk modal.

Tiga bulan setelah masuk pabrik itu aku sudah punya teman laki-laki. Ia duda ditinggal mati istrinya. Aku merasa nasib kami berdua sama, maka hubunan yang kami jalin pun terasa nyaman. Namun, bicara persoalan menikah, sama sekali aku belum ada niat. Padahal, lelaki itu sudah sangat ingin melamarku. Tapi aku bersikeras menolaknya.

Hingga saat ini aku tetap bekerja di pabrik dan membina hubungan cinta dengan lelaki itu. Kami saling menyayangi. Soal penghasilan lumayan karena aku diangkat menjadi kepala sif. Walhasil, secara ekonomi kini tidak serepot dulu.

Dalam menjalani hidup kini aku berprinsip biarlah seperti air mengalir. Aku jalani meski dengan segala keterbatasan. Oh, iya, ibu yang dulu sakit-sakitan akhirnya meninggal. Tentu saja aku merasa kehilangan, tapi apa mau dikata semua itu adalah sudah guratan takdir. Kini aku terus bekerja demi anakku. Semoga Allah mengampuni dosaku dan memberi jalan terbaik untukku. Amin. **

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP