Kisah Pedih Serang Anak Buruh (1)

Aku Membantu Membuat Lubang, Upahku Rp 25
KISAH ini dialami oleh Nasih (53), warga Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Sejak kecil ia sudah mengalami penderitaan. Taraf ekonomi orangtuanya yang berada di bawah garis kemiskinan memaksanya untuk drop out dari SD saat masih kelas dua. Selanjutnya, ia ikut bersama orangtuanya menjadi buruh. Ia membantu menggali lubang untuk menanam palawija dengan upah yang sangat kecil. Semua dijalaninya untukmembantu orangtuanya. Bagaimana kisahnya? D. Ruspiandy menuturkannya kembali untuk Anda.

BETAPA pun sulitnya hidup, aku harus melakoninya. Sewaktu kecil aku hidup di daerah Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Kedua orangtuaku bekerja sebagai buruh tani dan pengumpul kayu bakar. Kami berdua selalu mencari kayu bakar sampai ke hutan di sekitar lereng gunung.

Aku lahir sebagai anak kedua dari 14 bersaudara tetapi yang masih hidup kini hanya tinggal delapan orang. Ada yang meninggal sewaktu delapan bulan ada yang meninggal s ewaktu usia dua tahun. Ada yang meninggal karena sakit dan ada pula yang meninggal karena terjatuh. Ibuku bernama Mariah dan ayahku bernama Nana. Keduanya kini masih hidup dan usia mereka sudah memasuki tujuh puluh tahun.

Aku tak bisa menamatkan sekolah dan berhenti sekolah saat kelas dua SD. Sedangkan adik-adikku masih beruntung bisa menamatkan sekolah sampai kelas enam kecuali adik yang bungsu, ia bahkan bisa menamatkan sekolah sampai SMA. Tetapi itu semua tak kusesali, mungkin sudah garis nasib hidup harus seperti itu, makanya aku menerimanya.

Karena tidak sekolah aku menjadi buruh tani, ikut membantu menanam kubis atau menggali tanah untuk memanen kentang. Upahnya sehari dua puluh lima rupiah karena kalau empat hari bekerja aku mendapatkan uang seratus rupiah. Aku menyebut dengan istilah ngabedug, yaitu mulai bekerja jam enam pagi dan berakhir saat zuhur. Hasilnya dari ngabedug kutabung di celengan. Setelah terkumpul kugunakan untuk kebutuhanku serta membantu orangtuaku memenuhi kebutuhan sehar-hari seperti membeli beras dan lauk pauknya.

Tahun 1970 terjadi musibah menimpa keluargaku. Salah seorang adik wanitaku. Ia jatuh dari pohon jambu. Ia memang agak bandel dan suka memanjat pohon. Beberapa kali diingatkan tidak pernah mendengar. Akhirnya peristiwa itu terjadi. Ia terkapar bersimbah darah. Luka menganga di bagian perutnya terus mengeluarkan darah. Untuk menyelamatkannya, orangtuaku segera membawanya ke RS Dustira di Kota Cimahi.

Biaya operasi dan pengobatan di rumah sakit isangat mahal untuk ukuran orangtuaku yang bekerja sebagai buruh tani. Tak ada pilihan lain untuk menyelamatkannya yaitu dengan melakukan hal itu. Tentu saja hal ini megurus seluruh kekayaan orangtuaku hingga mereka menjual rumah untuk memenuhi biaya itu dan setelah adiknya sembuh kira-kira setelah tiga minggu dirawat di rumah sakit milik TNI AD Darat itu maka orangtuaku memutuskan untuk pindah ke daerah Paniisan, Kota Cimahi.

Tentu saja orangtuaku harus banting tulang memenuhi kebutuhan keluarga dengan menjadi buruh tani sebagai penggarap sawah daris eorang pemilik sawah Pak Uca. Aku pun tak tinggal diam. Sewaktu aku menginjak usia 12 tahun, aku mencoba melamar ke perusahaan tenun Oriental Besar dan diterima melalui tes yang dilakukan selama dua hari. Saat itu tak perlu menunjukkan ijazah yang penting bisa mengerjakan tugas atau pekerjaan di sana, aku bisa diterima bekerja. Selanjutnya aku bekerja di pabrik bumbu di daerah Cigugur Tengah. Selama aku bekerja, aku jarang dekat dengan laki-laki apalagi berpacaran.

Suatu hari ayahku mengatakan bahwa Pak Uca, sang pemilik sawah ingin menikah denganku setelah beberapa tahun menduda. Walaupun dia seorang duda dan memiliki tiga orang anak, bagiku yang terpenting sebagai isteri aku bsia mengabdi kepadanya. Bukankah isteri salehah itu sendiri jaminannya adalah surga. Aku pun akhirnya menikah dengan Pak Uca sekitar tahun 1979.

Anak pertamaku lahir tahun 1980 dan diberi nama Esih, lalu berturut-turut lahir anakku yang lain, yaitu Sumpena, Suryana yang kini bekerja sebagai tukang bangunan serta Surpiadi, saat sekarang bekerja di sebuah perusahaan farmasi yang ada di Kota Bandung. Kehidupan rumah tangga kami berjalan bahagia dan aku tak merasa kekurangan sebab kebutuhans ehari-hari terpenuhi pula. Maklum dari hasil sawah itulah semua kebutuhan hidup bisa terpenuhi.

Sayang ketika usia anakku yang bungsu hasil pernikahan dengan Pak Uca sekitar dua bulan. Tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan peristiwa yang meluluhlantakkan hatiku. Suamiku tertabrak oleh mobil elf di depan Kantor Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat jalan Cibabat, Kota Cimahi. Kepalanya berlumuran darah dan tangannya patah. Dengan kondisi terluka seperti itu beruntung, orang-orang segera menolongnya dan membawanya ke Rumah sakit Hasan Sadikin, Kota Bandung. Sekitar dua jam ia mendapatkan perawatan termasuk lukanya dijahit terlebih dahulu. Rupanya Tuhan menentukan lain, setelah mendapatkan penanganand ari dokter di sana, suamiku menghembuskan napas terakhirnya. Aku benar-benar kehilangannya karena setidaknya empat orang anak harus kubesarkan tanpa ada suamiku. Jasad suamiku di makamkan di pemakaman umum di daerah tempat tinggalku dan saat itu mendapat santunan dari jasa raharja sebesar 1,5 juta rupiah.

Hal ini tentu saja menjadi pukulan berat bagiku. Dengan segala keterbatasan yang ada, aku mencoba bertahan hidup dan membesarkan keempat anakku. (Bersambung)

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP