Mimpi Seorang Petani Kecil (3)

Aku Tak Akan Menyerah Sebelum Melangkah
SEBELUMNYA diceritakan, Ny. Entin yang mendengar anaknya lulus ujian, hatinya sangat berbunga-bunga. Berbagai impian berkelebat dalam benaknya. Kesuksesannya menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi juga dipuji oleh tetangganya. Mereka kagum pada kegigihan Ny. Entin dan anak-anaknya. Tapi, semua itu hanya ditanggapinya dengan senyum dan ucapan hamdalah. Tergapaikan semua impian Ny. Entin? Ikuti lanjutan kisahnya yang ditulis M. Irfan. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik.

AKU dan suamiku sudah tak sabar ingin segera melihat anakku mengenakan toga dan topi sarjana. Aku sudah membayangkan betapa gagahnya Cecep naik ke atas panggung untuk diwisuda sebagai sarjana ekonomi. Langkahnya tegap dan pasti, senyumnya merekah menaburkan sejuta harapan yang akan membimbing hidupnya ke masa depan yang lebih baik dan lebih maju.

Sudah terbayang pula, saat itu, aku, suamiku, dan Cucu duduk terpaku, mata terpana melihat sosok yang selama ini kami banggakan. Riuhnya tepuk tangan para undangan saat nama Cecep disebut sebagai wisudawan terbaik menggetarkan sendi-sendi tubuhku, mengguncangkan dada, menggerakkan rasa bangga yang luar biasa. Hari ini, hari yang amat bahagia.

"Anak kita jadi sarjana, Pak!" aku berbisik lirih pada suamiku. Aku tak mampu menahan air mata bahagia yang keluar dari sudut mataku. Suamiku melirik sambil mengangguk. Wajahnya yang hitam terbakar matahari menyemburatkan sinar kepuasan. Ia tersenyum sambil memegang erat tanganku.

"Mak, uang wisuda paling lambat pekan depan harus sudah lunas," kata Cecep sambil menunduk. Kehadirannya membuyarkan semua pengembaraanku ke masa depan yang bertabur bunga.

Tiba-tiba saja aku merasa tersedak. Nafas seakan berhenti sejenak. Kerongkongan kering. Dadaku berat sekali. Mendatangkan uang lima juta dalam waktu satu pekan bukan persoalan gampang. Aku harus puter otak dan peras keringat. Itu pun belum tentu berhasil.

Ingin rasanya aku menangis meratapi nasib anakku. Seandainya aku menjadi orang kaya, seperti orang-orang yang sering berlalu-lalang dengan mobil pribadinya, mungkin anakku tidak usah mengeluh dan menunduk sedih saat meminta uang untuk wisuda. Jika keadaan ekonomiku sebaik orang lain, mungkin aku tidak perlu merasa sesak dan kepala bagian belakang panas bagai terbakar. Mungkin tingal datang ke ATM, menggesek dan memberikan uang itu pada Cecep. Ah, maafkan Emak dan Bapak, Cep. Kami tidak bisa membahagiakanmu. Tidak bisa memberi ketenangan di saat kau menuju pada puncak kesuksesanmu.

Tak boleh menyerah

Aku tidak boleh menyerah! Aku harus mendorong suamiku agar melangkah lebih kencang lagi untuk mendapatkan uang yang dibutuhkan Cecep, meskipun jujur saja, aku dan suamiku belum mendapat gambaran dari mana uang sebesar itu harus kami dapat.

Ayo, jangan menyerah Entin! Kamu harus bisa membahagiakan anakmu. Kamu jangan kalah oleh burung yang mengepakkan sayapnya, terbang jauh mencari makanan untuk anaknya. Kamu manusia, berakal, punya otak! Gumanku. Membakar semangat sendiri.

"Insya Allah. Kita usahakan. Kita bicara dengan Bapakmu nanti. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Jangan khawatir, Nak!" jawabku meyakinkan Cecep.

Pantang bagiku untuk mengatakan "tidak" pada sesuatu yang belum sama sekali diusahakan. Itulah yang selalu dikatakan dan dilakukan oleh suamiku tercinta. Dia selalu mengajariku agar berusaha maksimal sambil berdoa, hasilnya kembali serahkan pada Allah. "Dialah yang Mahasegalanya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Mahakaya, dan Maha Terpuji. Tidak ada yang sulit bagi-Nya. Apa pun akan terjadi sesuai kehendak-Nya. Yakinlah Dia akan menolong kita!" Begitu suamiku selalu menancapkan semangat dalam dadaku. Aku bangga punya suami seperti dia. Tidak pernah menyerah dalam keadaan bagaimana pun.

Sifat itu sebetulnya menetes pada Cecep dan Cucu. Kedua anakku termasuk orang yang sangat gigih dalam belajar. Mereka belajar dengan sungguh-sungguh meskipun mereka harus berjalan kaki ke rumah teman mereka untuk meminjam buku. Cecep kerap meminta izin padaku dan membawa bekal nasi dari rumah untuk menghabiskan waktu luangnya di perpustakaan atau kemudian menginap di rumah temannya yang memiliki banyak buku. Sebetulnya aku tak tega mengizinkannya, tetapi demi sesuatu yang lebih bermakna, demi masa depan yang harus diraihnya, kurelakan dia melakukannya. Aku hanya mampu menaburkan sejuta karangan doa ke pangkuan Ilahi. Aku yakin kasih sayangku adalah kasih sayang-Nya, doaku adalah ijabah-Nya.

Kuyakinkan pada Cecep dan Cucu, Allah menyukai orang-orang yang bekerja dengan susngguh-sungguh dengan segenap kemampuannya, berdoa, berserah diri pada-Nya, lalu jika telah hasil, maka bersyukur pada-Nya. Petuah itu kudapatkan dari pengajian rutin di majelis taklim. Mungkin ustazah yang sering memberikan ceramah itu hanya menyampaikan teori, tapi aku dan suamiku menjalaninya secara nyata. Semua sudah kurasakan. Setidaknya, hari ini aku sudah mampu menyekolahkan anakku dengan segala beban yang harus kuhadapi, meskipun belum sampai pada gerbang akhir.

"Besok saya akan mencoba datang ke Wa Haji Junaedi. Mudah-mudahan beliau masih berkenan dan percaya memberi bantuan pinjaman pada kita. Mintalah pada Allah! Dialah yang membolak-balikkan hati manusia. Kita milik-Nya, Wa Haji Junaedi juga milik-Nya. Jika Dia berkehendak, siapa yang sanggup menghalangi-Nya?" bisik suamiku sebelum merebahkan tubuhnya di tempat tidur selepas Isya.

Kutatap wajahnya. Ia tampak lebih tua dari usianya. Namun semangatnya terpahat dalam tatap matanya, dalam kuat tulang rahangnya. Suamiku seorang pejuang yang tangguh. Aku salut padanya. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP