Mimpi Seorang Petani Kecil (4)

Kubuat Nasi Timbel untuk Pesta Wisuda
SEBELUMNYA diceritakan, Ny. Entin yang sudah berbunga-bunga menghadapi masa wisuda anaknya, agak tersentak karena harus menyediakan uang untuk biaya wisuda dalam waktu hanya sepekan. Kendati terasa sangat memberatkan, ia tetap menyanggupi permintaan Cecep. Berhasilkan Ny. Entin dan suaminya mendapatkan uang itu? Ikutilah kisahnya yang ditulis oleh M. Irfan. Semoga bermanfaat dan menjadi cerminan bagi Anda.

ADA peribahasa man jadda wajada, siapa pun yang bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu, pasti akan terwujud. Orang Sunda bilang lamun keyeng tangtu pareng. Meskipun dengan susah payah, akhirnya uang lima juta yang dibutuhkan untuk wisuda anakku, kami dapatkan pula.


"Alhamdulillah, Wa Haji Junaedi masih mempercayai kita," ujar suamiku dengan wajah cerah ceria.

"Jadi uang itu sudah Bapak dapatkan?" tanyaku untuk meyakinkan.

"Ya. Ini!" jawabnya sambil mengeluarkan sebuah amplop besar tebal.

Setelah kulihat isinya lima gepok uang pecahan seratus ribuan. Kuciumi uang itu dan kuletakkan di atas kepala sambil mengucap syukur pada Allah yang telah memberi jalan pada kami. Betapa bahagianya hati ini karena dengan uang inilah kami akan menyaksikan Cecep menjadi orang paling gagah di tengah-tengah ratusan wisudawan lainnya.

"Terus, uang ini kapan harus kita kembalikan?" tanyaku.

"Sebetulnya Wa Haji tidak menentukan kapan kita harus mengembalikan uang itu. Dia hanya bilang, 'Pakai saja dulu. Kalau kalian sudah punya uang, kalian boleh mengembalikannya.' Ini sebenanrnya beban. Kita tidak boleh keenakan," jawab suamiku.

"Ya, mudah-mudahan hasil panen tahun ini memuaskan agar kita bisa menyicilnya," kataku sambil menyimpan uang di lemari pakaian.

Besok Cecep harus segera membayarkan uang itu ke panitia wisuda agar tidak ada lagi beban.

Rasanya pesta bahagia bagi Cecep lama sekali, padahal tinggal menghitung hari. Mungkin karena aku tidak sabar ingin segera menyaksikan anakku dikalungi medali dari kampusnya. Baju petingan yang dibeli menjelang Lebaran dua tahun lalu kuambil dari lemari. Kucium aroma kapur barus saat pakaian kesayanganku itu berada di tanganku.

"Sebaiknya dicuci dulu agar aroma kapur barusnya hilang. Nanti kita semprot dengan minyak wangi," ujar suamiku.

Aku tersenyum. Aku mengerti maskud suamiku. Ia tidak ingin mengecewakan Cecep. Ia tidak ingin kami berangkat ke pesta istimewa dengan semerbak kapur barus. Aku juga paham. Aku tak ingin Cecep mendapat rasa malu karena orangtuanya yang dianggap terlalu kampungan.

"Jangan lupa, sekalian tolong cucikan pula baju batikku yang berwarna biru," kata suamiku.

"Ya. Celananya yang biru dongker, 'kan?" aku balik tanya.

Ia hanya mengangguk, kemudian berlalu. Kulihat ia mengambil peci hitam yang agak lusuh dan kain sarung yang menggantung di kapstok. Di luar, azan Ashar sudah berkumandang. Suamiku termasuk orang yang sangat disiplin soal waktu. Kendati sedang bekerja di sawah, ia tidak pernah meninggalkan salat Zuhur. Lalu sebelum Asar dia sudah berada di rumah.

"Salat ini seperti makanan. Kalau kita tidak makan, fisik kita akan lemah, tidak bertenaga, bahkan sakit. Demikian pula jiwa kita, tanpa salat akan lemah bahkan juga sakit. Jika jiwa sudah sakit, maka akan sangat berbahaya bagi kehidupan di dunia dan akhirat," ucapnya suatu hari ketika sedang berkumpul bersama anak-anak.

Kami kadang-kadang melaksanakan salat berjamaah di rumah. Usai salat kami mengaji satu dua ayat, lalu suamiku memberikan sedikit nasihat untuk anak-anaknya.

"Tugas manusia itu ibadah dan bekerja. Kedua-duanya harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, penuh kekhusyukan, dan ikhlas. Ibadah harus ikhlas karena Allah pun ikhlas memberi kita tubuh dan perlengkapannya, memberikan rejeki dan jalannya. Bekerja juga harus sungguh-sungguh dan ikhlas karena hasil kerja yang sungguh-sungguh dan ikhlas akan mendatangkan hasil yang manfaat dan penuh berkah. Ibadah dan kerja yang sungguh-sungguh dan ikhlas merupakan bentuk syukur pada Allah. Siapa yang bersyukur, dialah yang akan mendapat kebahagiaan yang lebih," terangnya.

Aku tidak salah mendapatkan suami. Walaupun dia bukan berasal dari keluarga yang berkecukupan, namun keteguhan akidah dan ketangguhan mentalnya sungguh patut dicontoh. Jujur saja, banyak orang yang secara ekonomis lebih baik ingin membina rumah tangga denganku, namun suamiku mempunyai kelebihan dalam urusan agama. Itulah sebabnya aku memilih dia sebagai pendamping hidup.

Dua hari menjelang hari H, segala keperluan sudah kusiapkan. Selama dua hari aku sengaja tidak pergi ke sawah membantu suamiku, selain pekerjaan di sawah sudah tidak terlalu berat karena tinggal menunggu hasil panen, aku ingin berkonsentrasi menghadapi pesta anakku. Aku mencuci dan menyetrika pakaian kami yang akan dipakai pada saatnya nanti. Aku juga sudah meminjam jas berikut dasinya untuk Cecep. Pokoknya dalam hari istimewa itu kami ingin tampil istimewa.

Bahkan kami pun menyediakan sedikit makanan, buat bekal di sana. Inginnya sih kami pergi ke rumah makan usai upacara wisuda, namun keadaan ekonomi kami tidak memungkinkan untuk itu. Oleh karena itu, biarlah kami merayakannya dengan makan nasi timbel yang kami bekal dari rumah. Dua ekor ayam kami potong sebagai lauknya. Aku pikir sudah cukup. Mudah-mudahan ini tidak mengurangi kebahagiaan kami dan bentuk rasa syukur kami. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP