Penyesalan Selalu Datang Terlambat (1)

Sibuk Cari Nafkah, Anak Terabaikan
DADANG (bukan nama sebenarnya) selalu menyesali apa yang telah menimpa anak gadisnya, Kasih (juga bukan nama sebenarnya). Ia pun terkadang menyalahkan dirinya sendiri karena telah lalai mengawasi pergaulan putrinya itu. Namun apa mau dikata, takdir telah berlaku sesuai dengan apa yang telah digariskan Yang Mahakuasa. Dadang sebagai makhluk-Nya tak bisa lain selain menerimanya dengan pasrah dan penuh keikhlasan. Ia hanya berharap semoga anaknya yang telah meninggalkan dunia yang fana, diberi ketenangan dan kelapangan di alam kuburnya. Berikut penuturan Dadang mengenai kisah almarhumah anaknya seperti yang dituturkan kepada Ela Hayati. Semoga dapat diambil hikmahnya.

ANAK ketigaku, Kasih lahir ketika usia perkawinanku dan ibunya genap menginjak usia enam tahun. Tak heran, kelahirannya kami sambut dengan kebahagiaan yang tak terkira.

Apalagi Kasih merupakan anak perempuan yang kami tunggu-tunggu karena dua kakaknya adalah laki-laki. Kini genap sudah, aku memiliki dua anak laki-laki dan si bungsu perempuan. Aku merasa menjadi suami dan ayah yang paling bahagia di dunia.

Beranjak remaja, Kasih tumbuh menjadi gadis yang cantik, kulitnya putih bersih seperti kulit ibunya, hidungnya mancung, dengan tubuh yang tinggi semampai. Tak heran, mulai ada beberapa teman lelakinya yang sering datang ke rumah untuk sekadar menarik perhatian anak bungsuku itu. Sebagai ayah, aku tentu saja bangga melihat anakku tumbuh menjadi wanita yang rupawan. Aku pun memberi kebebasan kepadanya untuk bergaul dengan teman-teman yang disukainya. Meski demikian, aku tetap mengingatkannya untuk selalu berhati-hati memilih teman. Sebenarnya aku sedikit iba pada anakku. Ia memiliki cita-cita untuk bersekolah setinggitingginya.

Semangat belajarnya sejak kecil memang sangat besar. Namun apa daya, aku tak mampu membiayainya. Ketika Kasih mulai duduk di bangku SMA, perusahaan tempatku mencari nafkah mengalami kemunduran dan akhirnya berdampak pada para karyawan. Pegawai kecil sepertiku yang paling pertama kena dampaknya. Aku adalah karyawan dari gelombang pertama yang menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK).

Karena itu, Kasih pun harus merelakan mimpinya mengenyam pendidikan di bangku kuliah terbang begitu saja. Seperti dua kakaknya, Kasih akhirnya harus puas dengan selembar ijazah SMA. Alhamdulillah, anak gadisku itu tidak larut dalam kekecewaan. Tak lama setelah lulus dia diterima bekerja di sebuah pabrik tekstil. Sehingga, ia kini bisa membeli kebutuhan dengan hasil keringatnya sendiri dan tentu saja hal itu meringankan bebanku. Apalagi dua kakaknya sudah berumah tangga dan sudah lepas dari tanggunganku.

Terus terang, selama ini aku bukanlah termasuk ayah yang perhatian pada anak. Aku terlalu sibuk dengan urusan mencari nafkah ke sana kemari demi sesuap nasi, sehingga urusan anak-anak sepenuhnya kuserahkan kepada istriku. Apalagi setelah terkena PHK, aku lebih banyak berada di luar rumah, keluyuran ke sana kemari demi melakukan kerja serabutan.

Ya, kerja apa pun mau kulakukan, asal menghasilkan uang dan halal. Dari mulai menjadi buruh tani, buruh bangunan, tukang ojek, hingga menjadi sopir "tembak" angkutan umum, semua kulakukan, yang penting bisa menghasilkan uang.

Karena itulah, aku tak terlalu tahu dengan urusan anak-anakku dan apa masalah yang sedang mereka hadapi. Yang penting bagiku keluargaku bisa makan, maka urusan anakanak biarlah dibantu sama ibunya saja. Aku sudah terlalu capek dengan urusan mencari nafkah untuk hidup kami dari pagi hingga petang.

Aku tahu sebenarnya hal itu keliru. Walau bagaimanapun, sebagai ayah, aku bertanggung jawab untuk memperhatikan perkembangan anak-anakku. Sayangnya hal itu baru kusadari kemudian, setelah semuanya terlambat.

Anakku yang bungsu, Kasih, yang biasanya ceria dan selalu lincah, tiba-tiba berubah menjadi pemurung. Kalau sedang ada di rumah, ia lebih sering melamun atau mengunci diri di kamar selama berjam-jam. Bahkan istriku sering mendapati matanya bengkak dan sembab seperti orang yang telah menangis berlama- lama. Kalau ditanya ada masalah apa, Kasih tak mau menjawab. Ia justru uringuringan kalau ibunya terus mendesaknya mengungkapkan masalahnya.

Aku yang biasanya tak pernah mau tahu urusan anak-anak, menjadi terusik juga karena istriku mengadukan hal itu. Kutanya istriku apakah belakangan ini Kasih pernah mengeluhkan masalah dalam pekerjaannya; barangkali ia cekcok dengan rekan kerjanya atau mungkin dengan atasan. Istriku menggeleng masygul. Menurutnya, Kasih tidak pernah mengeluhkan tentang pekerjaannya. Selama ini anak bungsu kami itu cukup dekat dengan ibunya sehingga di antara mereka tidak pernah ada rahasia. Dan menurut pengamatan istriku, tidak ada kendala di tempat kerja Kasih.

Aku kemudian bertanya apakah mungkin Kasih terlibat perselisihan dengan pacarnya. Aku sendiri selama ini tidak tahu apakah anak gadisku itu punya pacar atau tidak. Istriku kembali menggelengkan kepalanya. Menurutnya, Kasih memang punya pacar dan pernah memperkenalkannya. Namun, dalam hal pacaran Kasih agak tertutup. Ia tidak pernah menceritakan tentang banyak hal tentang hubungannya dengan pria yang sebut saja namanya Andi (nama samaran). Mungkin ia masih malu-malu, maklum usianya baru jalan 18 tahun.

Aku kemudian meminta istriku mencari tahu siapa Andi dan di mana tempat tinggalnya. Kusuruh istriku menanyakan hal itu kepada Kasih. Atau kalau Kasih keberatan mengungkapkannya, tak ada salahnya ia mencari informasi dengan mengintip isi kamarnya. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP