Mimpi Seorang Petani Kecil (7-Tamat)

Aku Yakin Anakku Akan Bangkit Kembali
SEBELUMNYA diceritakan, Cecep yang jatuh saat wisuda di kampusnya, dibawa ke rumah sakit. Dokter menyatakan Cecep pingsan karena kelelehan. Kondisi jantung dan organ lainnya sehat. Sesampainya di rumah keadaan Cecep tidak banyak perubahan. Ia tampak seperti orang yang kehilangan daya ingatnya. Sehatkah lagikah dia? Inilah akhir kisahnya yang ditulis M.Irfan. Semoga bermanfaat.

AKU sungguh-sungguh kecewa. Pantas ustazah yang biasa memberi ceramah di majelis taklim dekat rumahku sering mengatakan, jangan terlalu berharap karena jika harapan itu tidak tercapai, maka akan kecewa luar biasa. Ini benar-benar aku alami. Aku sangat berharap banyak, bahkan lebih dari itu, pada Cecep. Aku sudah bermimpi anakku menjadi orang sukses yang mampu mengubah nasib keluarga, membawa adiknya ke masa depan yang lebih baik. Kenyataannya, jauh panggang dari api. Dia sendiri tidak mampu berlari ke masa depan.

Setelah peristiwa saat wisuda, Cecep tidak bangkit kembali. Kondisi fisiknya terus melemah. Ia sering mengeluh sakit di bagian tengkuk dan belakang kepala. Jika penyakitnya datang, ia biasanya menjerit-jerit. Mulutnya mengatup kuat, matanya melotot, seluruh tubuhnya kaku. Aku sering salah tingkah menghadapinya, demikian juga suamiku, dan Cucu. Paling-paling kami hanya mengompresnya dengan air dingin sambil terus membisikkan kalimah toyibah ke telinganya agar ia tetap bersabar dan mampu bertahan.

Setiap malam, usai salat Magrib, kami sekeluarga selalu mengaji dan berdoa pada Allah untuk kesembuhan Cecep. Kami berharap kesehatan Cecep akan pulih sedia kala. Ia harus bangkit, ia harus semangat dan menyongsong masa depannya yang lebih baik.

"Maafkan saya, Mak. Kenapa saya jadi begini? Saya mestinya membahagiakan Emak dan Bapak juga Cucu, tapi kenyataannya saya malah menyengsarakan kalian semua. Saya merepotkan kalian," ujarnya suatu saat sambil berlinang air mata.

Kupeluk dia erat-erat. Kubelai lembut rambutnya dan kubisikkan kata semangat di telinganya.

"Jangan berkata seperti itu, Nak. Emak tidak merasa terbebani. Ini adalah tugas orangtua, kewajiban Emak dan Bapakmu. Jangan berpikir yang macam-macam. Tetap semangat agar kamu cepat sehat untuk menghadapi masa depan yang lebih baik," kataku.

Kurasakan ada butiran air membasahi pundakku dan kurasakan bahu Cecep berguncang. Ia menangis dan terus memohon maaf padaku. Kembali kuyakinkan padanya bahwa dia tidak bersalah. Semua terjadi bukan karena siapa-siapa melainkan kehendak Allah, ujian dari-Nya untuk umat-Nya.

"Ini adalah ujian kesabaran bagi kita, Sayang. Bersabarlah. Allah sayang pada kita, Allah akan meningkatkan kualitas hidup kita dengan ujian ini," kembali kukuatkan batinnya.

Aku merasakan kekecewaannya dari setiap guncangan bahunya, dari isak tangisnya, dari kata-katanya yang terputus-putus. Aku merasakan apa yang dirasakannya. Ia pasti punya mimpi yang lebih besar dari pada mimpiku, ia pasti punya sederet rencana setelah lulus kuliah. Itulah sebabnya ia begitu kecewa ketika menghadapi kenyataan pahit seperti ini. Sebetulnya kekecewaanya kekecewaanku juga. Tapi, aku tidak bisa berbuat banyak selain menyerahkan semuanya pada Allah dan berupaya maksimal.

Hari demi hari kesehatan Cecep terus menurun. Sosok pemuda kesayanganku yang dulu tampak tegap dan gagah kini kehilangan aura. Wajahnya pucat, tubuhnya kering kerontang, matanya cekung. Padahal ia makan cukup lahap. Porsi makannya tidak pernah berkurang, bahkan cenderung lebih banyak. Anehnya seperti tak ada sari makanan yang menjadi daging di tubuhnya.

Entah berapa puluh kali aku berusaha mengobatinya. Puluhan dokter yang kami jumpai mempunyai kesimpulan yang sama: Cecep sehat. Sama sekali tidak ada gangguan apa pun. Jantungnya normal, lambungnya bagus, ginjal tidak ada masalah, sirkulasi darah pun lancar.

"Sakit di bagian kepala itu mungkin karena bekas benturan waktu jatuh dulu," jelas dokter.

Ah, aku tidak puas dengan jawaban itu. Kendati aku orang awam, hanya seorang buruh, tetapi aku melihat dengan mata kepala sendiri Cecep jatuh tersungkur bukan dengan kepala bagian belakang. Aku tak habis pikir, penyakit apa yang diderita Cecep.

Untuk menghabiskan rasa penasaranku, aku mencoba datang ke beberapa ahli pengobatan alternatif. Mereka menyebutkan penyakit Cecep itu dan ini, karena itu, karena ini. Ah, aku semakin pusing karena semua hasil pengobatan tidak ada satu pun yang membawa perubahan kesehatan anakku. Uangku kukuras untuk mengobatinya. Tidak penasaran. Meski aku sampai berhutang, tidaklah menjadi masalah yang penting Cecep sehat kembali. Kalaupun kenyataan seperti ini aku pasrah pada Ilahi. Aku telah berupaya.

Tidak terasa lima tahun sudah Cecep menderita. Dari kesehatan fisik merambat pada kesehatan psikisnya. Ia sangat mudah tersinggung, mudah marah, kadang-kadang ia mengamuk bagai orang kesurupan. Aku yakin itu hanya pelampiasan kejengkelannya dan ketidaksabarannya terhadap penderitaannya. Aku sangat sedih ketika mendengar tetanggaku menyebut Cecep gila. Tidak! Cecep tidak gila! Aku berteriak dalam hati.

Karena konsentrasi eknomi terfokus pada Cecep, biaya sekolah Cucu agak keteteran. Ia sering ditegur sekolah karena menunggak beberapa bulan. Bahkan hingga kini, ijazah Cucu masih ditahan oleh sekolah, SMK BK, karena kami belum mampu menyelesaikan utang-utang biaya pendidikan kepada sekolah. Tapi kami tidak menyalahkan sekolah, semua kesalahan ada pada kami. Bahkan aku sangat berterima kasih kepada ketua yayasan yang menaungi sekolah itu karena ia telah memberi Cucu fotokopi ijazah dan melegalisasinya untuk kepentingan melamar pekerjaan di Padang, Sumatra Barat.

Kebaikan itu diberikan Ketua Yayasan BK ketika aku menceritakan semua yang terjadi pada keluarga kami. Bahkan ia menjelaskan bahwa penyakit Cecep adalah epilepsi. Menurutnya, agak susah disembuhkan karena sudah terlalu lama.

"Dia butuh ketenangan dan perhatian dari orang terdekatnya, dari ibu. Sayangilah ia, perhatikan secara lebih, jangan dijauhi karena ia akan merasa semakin ditelantarkan dan merasa tidak berguna jika dijauhi. Di samping itu terus berobat dan berdoa," ujarnya dengan penuh perhatian.

Kini Cecep semakin tertutup, semakin emosional. Ia selalu mengurung diri di kamarnya, tidak mau berkomunikasi dengan siapa pun. Meski demikian aku selalu mendekatinya, mengajaknya bicara, memberinya semangat seperti dulu. Aku yakin satu saat Cecep akan sehat kembali. **

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP