Penyesalan Selalu Datang Terlambat (3)

Bekerja Keras demi Keluarga
PADA kisah sebelumnya, Dadang yang hendak pergi merantau ke Pulau Bali dilanda perasaan waswas karena anak bungsunya, Kasih kerap uring-uringan dan selalu mengurung diri di kamar. Tak hanya itu, mata Kasih pun selalu tampak sembab dan bengkak seperti orang yang habis menangis berlama-lama. Semua itu membuat Dadang khawatir. Beruntung dia memiliki istri yang pengertian dan mampu meredakan keresahan hatinya, sehingga ia pun membulatkan tekad untuk bekerja di Pulau Dewata. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Dadang kepada Ela Hayati.

MENGENAI Andi, menurut istriku, lelaki itu seorang duda tanpa anak dan merupakan teman sekerja Kasih, cuma berlainan bagian. Andi pernah mengatakan bahwa ia sedang dalam proses perceraian dengan istrinya.

Kabar tentang si Andi tidak terlalu mengenakkanku. Walaupun belum pernah bertemu, tapi rasanya aku kurang merasa setuju pada anak itu. Sebenarnya aku ingin Kasih tak usah meneruskan hubungan dengan lelaki yang status dudanya pun belum begitu jelas.

Istriku memahami kekhawatiranku, karena dia juga merasakan hal yang sama. Namun, rupanya Kasih sudah telanjur jatuh hati pada Andi, sehingga akan sangat melukai hatinya kalau kami memaksa memutuskan pacarnya itu. Sanggahan istriku membuatku masygul, yah waktu ada sedikit masalah kemarin dengan Andi, Kasih bisa sampai uring-uringan seperti itu, apalagi kalau dipaksa putus. Tak dapat kubayangkan.

Naluri seorang bapak sebenarnya aku ingin melindungi anakku dari berbagai hal yang berbahaya, namun aku juga tak mau membuat perasaan anakku terluka. Mengenai masalah Andi, ada semacam sirene dalam diriku yang mengingatkan ada yang tak beres pada lelaki itu, namun di sisi lain aku tak berdaya karena tak mau menghanguskan harapan di hati anakku yang sudah tumbuh dan mekar.

Seperti sebelumnya, kuminta istriku membatasi pertemuan Kasih dan Andi, jangan terlalu diberi kebebasan. Aku pun mengharuskannya tahu setiap aktivitas Kasih per harinya, dari jam berapa hingga jam berapa, dan di mana keberadaannya. Istriku agak keberatan dengan permintaanku itu.

Menurutnya, Kasih bukanlah anak kecil lagi yang harus didampingi dan dijaga ke mana-mana. Anak bungsuku itu pun pasti akan merasa risi kalau ibunya selalu mengekor ke mana pun pergi. Sebagai remaja yang sedang tumbuh, ia tentu membutuhkan ruang privasi untuk dirinya sendiri. Apalagi, kata istriku, urusannya bukan hanya Kasih. Ia pun sibuk harus menjaga dua cucu kami dari anak pertama, karena kedua orangtuanya sama-sama bekerja. Ya sudah, kataku pada akhirnya, lakukanlah sebisanya, asal jangan terlalu diberi kebebasan. Istriku menyanggupinya.

Setelah percakapan itu, aku cukup lama tidak menghubungi istriku. Bukan tidak ingin melakukannya, namun pekerjaanku setiap hari di proyek sangat menyita waktu. Kami para pekerja kasar harus membanting tulang setiap hari hingga jauh malam. Deadline yang semakin mendekat membuat kami seperti dikejar-kejar anjing yang sedang senewen. Aku dan teman-temanku baru bisa benar-benar istirahat menjelang tengah malam, dan bangun lagi di pagi buta karena tumpukan pekerjaan masih menunggu. Lelah luar biasa. Sungguh aku tak punya tenaga lagi untuk pergi keluar mes untuk sekadar menelepon dari wartel. Biarlah tak mengapa, yang kuharap keluargaku baik-baik saja. Lagi pula kalau mengingat penghasilanku yang cukup besar untuk ukuran buruh kasar sepertiku, aku seperti diberi tenaga baru untuk tetap semangat bekerja.

Pulang kampung

Proyek pembangunan resor yang kami kerjakan akhirnya tuntas kami kerjakan sesuai jadwal. Setelah enam bulan bekerja bagaikan kuda beban, akhirnya aku dan kawan-kawan bisa pulang ke kampung halaman. Hatiku girang bukan kepalang, inilah saatnya aku bertemu lagi dengan keluargaku. Aku pulang dengan hati yang ringan karena uang upah dan bonus yang kuterima sangat besar untuk ukuranku.

Dari Bali, aku dan tiga rekanku yang berasal dari Bandung naik kapal feri menyeberangi selat Bali, kemudian dilanjutkan dengan naik kereta api dari Surabaya. Perjalanan pulang aku lakukan dengan santai, tidak terburu-buru. Aku dan teman-teman singgah dulu di beberapa pasar dan pertokoan sekadar membeli oleh-oleh untuk buah tangan. Sebelumnya di Pulau Dewata, aku sempat membeli beberapa helai baju untuk Kasih dan dua cucuku.

Tiba di Bandung menjelang sore hari, aku tidak langsung naik angkutan menuju rumah. Aku dan rekan yang lain diajak untuk singgah dulu ke rumah salah seorang teman karena katanya istrinya menyiapkan semacam jamuan untuk kami, rekan-rekan "seperjuangan" selama di Bali. Ajakan itu tentu saja kami sambut dengan sukacita. Bagiku memang tidak alasan untuk buru-buru pulang. Aku memang rindu pada keluargaku, tapi tidak ada salahnya menjalin silaturahmi dulu dengan keluarga temanku. Lagi pula rumah temanku itu tidak terlalu jauh dari Terminal Leuwipanjang.

Aku baru benar-benar pulang menuju rumah selepas isya, dengan naik angkutan umum. Satu jam kemudian aku turun di dekat sebuah halte bus. Dari sini aku harus menyusuri jalan menuju kampungku dengan berjalan kaki.

Jalan menuju kampungku sebenarnya cukup besar dan bisa dilalui mobil, namun tidak ada angkutan umum yang melaluinya. Maklumlah, jalan ini cuma jalan desa. Biasanya ada tukang ojek yang menunggu penumpang di mulut jalan. Namun, saat itu tidak satu pun batang hidung mereka yang kutemui. Mungkin mereka malas narik karena udara yang dingin mencucuk dan hujan gerimis yang cukup menjadi alas an untuk batal keluar rumah. Bahkan aku terpaksa harus mematahkan satu pelepah daun pisang di pinggir jalan untuk kujadikan payung, karena hujan mulai agak deras. Sepi, warung-warung dan rumah di pinggir jalan tak ada satu pun yang buka, padahal belum terlalu malam. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP