Mimpi Seorang Petani Kecil (5)

Aku Tak Percaya Peristiwa itu Terjadi
SEBELUMNYA diceritakan, Ny. Entin sudah mempersiapkan segala kebutuhan untuk menghadapi hari wisuda Cecep, anaknya. Pakaian yang istimewa dicuci dan disetrikanya dua hari sebelumnya. Ny. Entin juga telah menyiapkan jas untuk Cecep. Bahkan, satu hal yang tak kalah pentingnya, Ny. Entin mempersiapkan nasi timbel dengan dua ekor ayam goreng. Bagaimana lanjutan kisahnya? Sukseskah Cecep? Ikuti terus kisahnya yang ditulis M. Irfan. Semoga bermanfaat.

AKU tak bisa menahan air mata bahagia ketika anakku dipanggil oleh panitia wisuda untuk dilantik sebagai sarjana ekonomi. Selama empat tahun aku dan suamiku berusaha sekuat tenaga agar anakku sukses menjadi sarjana, hari ini menjadi sebuah kenyataan. Rasanya dunia ini menjadi demikian luas dan penuh dengan bunga.


Usahaku selama empat tahun tidaklah sia-sia. Aku juga berhasil meyakinkan anakku bahwa ia bisa bersaing dengan orang-orang yang punya uang. Sekolah itu bukan hanya dengan uang melainkan dengan belajar yang gigih, berusaha keras, tidak pantang menyerah, dan tidak boleh mau kalah dalam persaingan yang sehat. Semua itu kutanamkan pada Cecep. Hari ini usaha Cecep itu terbukti. Aku sangat bangga, apalagi dari sekian ratus wisudawan Cecep termasuk yang berpredikat istimewa. Ia lulus dengan pujian.

Kupegang erat tangan suamiku sebagai ungkapan hatiku. Kulihat suamiku melirik ke arahku. Matanya jelas berbicara penuh kebanggaan. Mata yang tajam itu seolah-olah ingin mengatakan kepadaku, "Lihatlah anak kita! Dia sanggup bersaing dengan orang-orang yang hidup berkecukupan!"

Pandanganku terus mengikuti Cecep, sejak ia bangkit dari kursi menuju panggung. Kulihat langkahnya sangat tegap dan pasti. Senyumnya merekah mengembang. Ah, anakku ini semakin terlihat tampan dan gagah dengan pakaian seperti itu. Wajahnya mirip sekali ayahnya. Hidungnya mancung, sorot matanya tajam, dan badannya tegap. Ia semakin sempurna dengan gelar yang disandangnya.

"Lihat, kakakmu begitu tampan, Neng!" bisikku pada Cucu yang sejak tadi terus menatap wajah kakaknya.

"Iya, Mak. Neng juga ingin seperti Aa. Ingin menjadi sarjana. Ingin mengubah hidup kita," jawabnya. Tatapannya tetap menancap ke Cecep.

Aku mengangguk. Jauh di dalam lubuk hatiku aku memuji tekad dan cita-cita Cucu. Dia memang harus menjadi perempuan yang berhasil. Ia tidak boleh seperti aku, tidak boleh seperti ibunya. Dia harus maju dan mengubah hidup. Cucu harus menjadi seorang istri sekaligus menjadi seorang ibu yang cerdas, tegas, dan penuh semangat. Ia harus menjadi pendamping yang baik bagi suaminya dalam segala hal termasuk dalam persoalan ekonomi. Wanita harus mempunyai penghasilan yang tetap untuk membantu memperbaiki ekonomi keluarga. Suami memang bertanggung jawab penuh terhadap keluarganya, tetapi istri yang baik tidak hanya cukup menerima dan mengelola uang suaminya. Kebutuhan masa sekarang jauh lebih berat. Aku merasakannya sendiri, aku harus banting tulang mencari biaya untuk sekolah anak-anakku. Cucu tidak boleh mempunyai beban seperti yang kualami sekarang.

Ah, pikiranku tiba-tiba saja menjadi liar. Ini karena ada rasa bahagia yang meledak-ledak dalam hatiku. Aku tak bosan-bosan memuji Cecep dalam hati sambil bersyukur pada Allah yang telah memberi kekuatan, kesabaran, dan kemampuan paku dan suamiku. Aku juga bersyukur pada Allah yang telah memberi jalan rijki pada kami. Seandainya Allah tidak memberikan semuanya, aku sangat yakin hari ini Cecep tidak akan berdiri di tengah-tengah ratusan wisudawan dan aku tidak akan mendapat kebahagiaan yang luar biasa ini.

Mataku kembali menatap ke depan. Tiba-tiba.... Oh, aku tak percaya pada penglihatanku. Aku memekik. Tetapi suaraku tertahan. Mataku seolah tak bisa berkedip, jantung berhenti sejenak, dan nafas tersenggal. "Ceceeeep!" teriakku ketika kulihat tiba-tiba saja Cecep jatuh tersungkur. Bukan tersandung, bukan pula keseleo. Ia jatuh secara tiba-tiba. Ijazah yang tadi dipegangnya terlempar jauh. Topi sarjananya terlepas. Wajahnya membentur lantai demikian keras. Aku mendengar suaranya.

Aku merasakan ada sambaran petir yang luar biasa kerasnya memekakkan telinga. Dunia terasa bagai diguncang gempa. Aku menyeruak di antara kerumunan orang-orang yang berusaha menolong Cecep. Aku terus berteriak. Beberapa orang mencoba menahanku, tapi aku memberontak dan terus berlari ke depan.

Kulihat Cecep tak bergerak. Matanya terbalik. Tubuhnya kejang. Mulutnya mengatup kuat dan nafasnya tersenggal. Allahu Akbar, apa yang terjadi padamu, Nak? Ya, Allah mengapa musibah ini kautimpakan kepada kami di saat kami baru akan merangkak menikmati kebahagiaan? Mengapa musibah ini Kau timpakan kepada orang yang paling membanggakan kami. Mengapa, ya Allah? Aku berteriak dalam hati. Memekik menyembul ke langit. Aku ingin segera dapat jawaban dari-Nya, namun yang kudengar hanya gemuruh orang dan tangisan Cucu.

"Siapkan kendaraan. Cepat. Kita bawa ke rumah sakit!" kudengar salah seorang panitia berteriak.

Suasana menjadi hiruk pikuk, prosesi terganggu sejenak.

Aku tak tega ketika tubuh yang tegap itu digotong oleh beberapa orang menuju mobil yang disediakan panitia. Aku cepat mengikutinya. Naik ke mobil mewah ini. Tapi aku tak peduli. Aku lebih peduli terhadap anakku. Kupegangi dan kuciumi terus anakku sambil menangis.

"Tabah, Bu. Dokter akan segera menolong. Kita bawa ke rumah sakit," kata salah seorang panitia.

Aku melirik kepada suamiku yang hanya duduk terpaku dengan wajah penuh ketegangan.

"Pak, anak kita, Pak!" ucapku.

Kulihat matanya berlinang. Bibirnya bergetar. Menahan tangis. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP