Mimpi Seorang Petani Kecil (6)

Anakku Nyaris Hilang Kesadaran
SEBELUMNYA diceritakan, Cecep yang baru saja naik ke panggung dilantik sebagai sarjana dan menerima ijasah S-1, tiba-tiba saja jatuh tersungkur tanpa sebab yang jelas. Ny. Entin, suaminya, dan Cucu menjerit histeris melihat peristiwa itu. Mereka segera menghambur ke depan memburu Cecep yang tidak sadarkan diri. Saat itu Cecep segera dibawa ke rumah sakit. Apa yang sebenarnya terjadi pada Cecep? Kembali sehatkah? Ikuti lanjutan kisahnya yang ditulis M. Irfan.

PUPUSLAH sudah harapanku. Anak yang semula kubanggakan dan diharapkan dapat mengubah kehidupan gagal menjelang garis finis. Di saat Cecep hampir menjadi juara setelah menjalani perlombaan lari maraton, harus terjatuh beberapa jengkal menjelang garis finis. Menyakitkan memang. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Semuanya kuserahkan pada Allah.


Ingin sekali aku menangis dan berteriak, protes kepada Allah, mengapa musibah ini ditimpakan pada Cecep, pada keluargaku, yang sudah berjuang mati-matian untuk meraih sukses dan mencoba mengubah nasib? Mengapa musibah itu justru terjadi di saat-saat kami baru menginjakkan kaki pada gerbang kebahagiaan. Tapi setelah kupikir dengan jernih, aku menyadari mungkin Allah punya rencana lain yang lebih baik. Boleh jadi yang kuanggap buruk saat ini sebenarnya adalah bentuk kebaikan yang Allah berikan karena aku tidak tahu rahasia di balik semua ini.

Orangtua mana yang tidak merasa kecewa ketika anaknya hampir menjadi juara, gagal karena persoalan yang tidak terduga. Kupikir manusiawi sekali aku merasakan kekecewaan itu. Hingga berbulan-bulan bahkan sampai kini kekecewaan itu masih menggelayut dalam dada, meski aku sudah berusaha pasrah dan menerima keadaan.

Menurut dokter yang memeriksanya, Cecep terjatuh dan pingsan karena faktor kelelahan. Ia terlalu memforsir diri saat akan menghadapi sidang akhir dan widusa. Pada saat puncak kelelahan, kondisi fisik Cecep tidak fit sehingga ia tak mampu menahan kesimbangan dan pingsan. Aku hanya menarik nafas panjang menerima penjelasan dari dokter. Kuharap anakku dapat pulih kembali.

"Tidak usah khawatir. Anak ibu akan segera pulih dan sehat kembali. Ia harus banyak istirahat. Pikirannya jangan terlalu diforsir," ujar dokter. Aku mengangguk dan berjanji akan mengingatkan Cecep untuk beraktivitas secara normal.

"Apakah dia akan kembali normal, dok?" tanya suamiku. Di wajahnya menyemburat warna kegelisahan.

"Ya, ya, ya.... Dia akan normal karena dia memang normal, kok. Tidak ada apa-apa. Dia cuma kecapaian saja. Istirahatkan di rumah. Tiga hari paling lambat seminggu juga sudah pulih kembali,” ujar dokter.

Aku mengucap hamdallah mendengar ucapan dokter. Menurut dokter cecep Cukup rawat jalan, tidak perlu rawat inap apalagi dirujuk ke rumah sakit. Syukurlah kalau begitu.

Ya, Allah sembuhkanlah dan sehatkanlah kembali anakku. Dialah harapanku. Dialah kebanggaanku. Jangan Kauhilangkan kemampuannya. Dia harus menyelesaikan tugas hidupnya dengan mulus dan normal seperti orang lain.

"Saya di mana?" tanya Cecep ketika ia telah kembali sadar.

Kuciumi pipinya. Kuhujani dengan air mata. Sementara suamiku membelai trambut Cecep dengan wajah sekelam malam. Cucu sejak peristiwa terjadi terus menangis hingga matanya membengkak.

"Lo, kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi padaku, Mak?" tanyanya lagi.

"Tidak apa-apa. Kamu hanya pingsan saja tadi. Mungkin karena kecapaian dan belum sarapan dulu," dokter yang masih berada bersama kami mewakili kami.

"Oooh...." katanya. Tatap matanya kosong. Dia sepertinya belum dapat mengingat peristiwa sebelum jatuh di hadapana senat universitas beberapa detik setelah pelantikan.

Dengan izin dokter. Kami pulang menggunakan kendaraan rumah sakit. Ada sembilu yang mengiris pedih dalam hatiku ketika melihat anakku yang semula gagah dan tegap turun dari mobil rumah sakit dengan langkah bagai diseret. Aku dan suamiku memeganginya dari kiri dan kanannya.

"Bu, ini ketinggalan!" kata petugas rumah sakit yang mengantar kami sambil memberikan tas berisi nasi timbel. Makanan yang telah kusiapkan untuk merayakan pesta kemenangan ini terpaksa kembali kubawa ke rumah. Mungkin nasi dan ayamnya sudah sangat dingin, sedingin hatiku yang dirundung pilu.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Mak?" Cecep kembali bertanya setelah berbaring di kamarnya.

Kembali hatiku perih bagai diiris, ternyata anakku lupa apa yang menimpa dirinya. Bahkan ia pun lupa bahwa hari itu ia diwisuda. Ya, Allah, segera kembalikan kesadaran anakku. Sehatkan ia seperti semula. Kembalikan kemampuan fisik dan daya pikirnya.

"Kamu baru saja di wisuda, Nak! Kamu sudah jadi sarjana!" jawab suamiku. Suaranya terasa berat menahan tangis.

"Oooo, iya. Saya diwisuda. Saya diwisuda. Tetapi, ke mana teman-temanku?"

Alhamdulillah. Dia mulai sadar. Pikirku.

"Kamu tadi pingsan setelah diwisuda. Makanya kamu dibawa pulang," kataku.

"Pantas Saya merasa lemas sekali. Saya mau salat dulu, Mak. Mungkin sudah waktunya salat Zuhur. Matahari sudah berada di barat," katanya sambil melihat sinar matahari yang menerobos kaca jendela rumah kami.

Bahagia bercampur duka. Di saat seperti itu Cecep masih ingat waktu salat, padahal kulihat kondisi fisik dan pikirannya belum kembali pulih. Inilah hasil didikan matang dari sumiku. Dialah orang paling berjasa yang memancangkan akidah dalam hati anak-anak kami.

"Biar Emak ambilkan air. Kamu tidak usah turun. Emak khawatir kamu jatuh lagi."

"Biarlah Neng yang ngambilin air, Mak. Emak tunggu Aa saja di sini." Tanpa menunggu jawaban, Cucu langsung mengambilkan air dalam ember dan handuk kecil.

"Sekalian kopeah Aa, Neng."

"Ya," jawab Cucu. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP