Dramatika Hidup Seorang Karyawan Periklanan (2)

Semua Terjadi karena Keteledoranku
SEBELUMNYA diceritakan, Ujang Deden yang sangat sukses dan dipercaya perusahaannya dalam bidang periklanan tiba-tiba tergiur oleh usaha investasi tanah. Laki-laki bernama Alex mendatangi dan meyakinkannya bahwa usaha itu sangat menjanjikan. Sukseskah Ujang? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis Kuswari. Semoga menjadi cermin.

BULAN berganti bulan, bonus yang dijanjikan Pak Alex tidak juga aku terima. Bahkan Pak Alex berkali-kali kutelepon, tidak pernah mau menjawab. Aku mulai jengkel. Kudatangi kantornya. Aku hanya diterima oleh sekretarisnya. Sang sekretaris bilang bahwa Pak Alex sedang pergi ke luar Jawa.

"Pulangnya kapan?" tanyaku.

"Sekarang ini bapak jarang pulang. Terus terang saja, saya pun di sini sudah 2 bulan belum mendapat gaji," kata sang sekretaris dengan wajah memalas.

Aku menggigit bibir dan menarik napas panjang. Ada rasa kecewa dalam hati. Kalau pegawainya saja tidak digaji, apalagi uang bonus yang dijanjikan padaku, jangan-jangan uangku amblas.

"Perusahaan ini dalam keadaan kolaps. Banyak utang di mana-mana," katanya lagi.

Duk! Seakan ada yang menonjok ulu hatiku mendengar ucapan sang sekretaris. Ingin sekali aku berteriak dan menumpahkan kemarahanku, tapi pada siapa? Sekretaris itu pun tampak tidak berdaya. Dia termasuk orang yang dizalimi.

Impian indah dan kebahagiaan yang terbayang dalam benakku perlahan-lahan mulai memudar. Berubah menjadi hantu yang sangat menakutkan. Terbayang wajah istriku, aku merasa sangat bersalah. Mengapa aku tidak mendengar sarannya. Mengapa aku egois dan keras kepala. Aku mendesah. Kepala tiba-tiba terasa pening. Mataku berkunang-kunang. Keringat dingin mulai mengucur di tengkukku. Tubuhku ambruk dan tidak ingat apa-apa lagi.

Ketika sadar, aku sudah berada di rumah. Kudapati istriku sedang menangis di atas dadaku. Aku mencoba mengingat peristiwa yang membuat aku pingsan. Tubuhku gemetar membayangkan wajah Pak Alex yang sudah ingkar janji. Tanganku mengepal. Gigiku gemeretak. Andai saja orang itu ada di hadapanku, mungkin sudah kuhabisi.

"Sudahlah. Tidak perlu kausesali. Nasi sudah menjadi bubur," ucap istriku.

Hatiku terasa semakin perih.

Ketika aku mencoba kembali ke kantornya, dengan harapan dapat bertemu dengan Pak Alex, hatiku semakin sakit, tubuhku semakin lemas. Ternyata kantor Pa Alex sudah disita oleh bank karena terlilit hutang. Tak ada orang yang bisa kutemui di tempat itu kecuali tulisan besar di pintu depan: "Kantor Ini Telah Disita".

Selain ditagih oleh perusahaan, aku terus dikejar-kejar debt collector karena aku pun meminjam uang ke bank untuk menutupi beberapa kebutuhan lain. Haduh, kepalaku seakan mau pecah. Setiap hari terasa bergolak dan panas. Rasanya aku sudah tidak betah lagi berada di rumah. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya, tetapi itu tidak boleh aku lakukan karena aku punya anak dan istri. Bagaimana pun aku harus tetap bertanggung jawab pada mereka.

Hari demi hari kulalui dengan penuh ketegangan. Aku terus berpikir, dari mana aku mencari uang untuk melunasi utang ke perusahaan dan untuk membayar cicilan ke bank. Anehnya, semakin keras aku berpikir semakin terasa gelap. Kepalaku semakin berdenyut-denyut dan jantungku berdebar sangat kencang. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP