Penyesalan Selalu Datang Terlambat (6-tamat)

Ikhlas Melepaskan Si Bungsu
DADANG yang mendapati anaknya sakit sepulang merantau, segera melakukan berbagai cara demi kesembuhan anak bungsunya itu. Dari mulai pengobatan medis di rumah sakit hingga hal-hal yang berbau klenik dengan mendatangkan "orang pintar" dilakukannya, namun semuanya tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Kasih tetap tergolek lemah di tempat tidurnya dengan keadaan yang makin mengkhawatirkan. Dadang kemudian mendapat kabar penyakit Kasih disebabkan ulah Andi yang kembali rujuk dengan istrinya. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Dadang kepada Ela Hayati.

AKU tak tahu apakah ia merasa bangga dengan tindakannya itu dan merasa diri menjadi Arjuna. Yang aku tahu, begitu lelaki brengsek itu muncul, tanganku sangat gatal ingin "mempermak" mukanya. Namun hasratku yang sangat besar untuk menghakimi lelaki yang telah membawa bencana bagi anakku itu tidak kesampaian karena orang-orang berusaha menahan dan menenangkanku. Empat orang pria harus bekerja keras menjauhkan aku dari Andi.


Beberapa orang lainnya harus menahan anak sulungku yang beberapa kali hendak melayangkan bogem mentah kepada orang yang telah menghancurkan hati adiknya itu. Andi tidak melawan, hanya bisa tertunduk dan tampak pasrah pada apa yang akan terjadi.

Saat itu juga digelar rapat darurat. Ketua RT menjadi fasilitatorku --aku sendiri saat itu sudah tidak mungkin diajak berunding dengan kepala dingin-- saat berunding dengan ketua RT di tempat Andi tinggal. Disepakati, si Andi harus datang ke rumahku untuk menjenguk Kasih. Ia diminta mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Kasih. Andi yang nyalinya sudah menciut, hanya bisa mengangguk tanpa mempu mengeluarkan suara.

Dikawal beberapa orang tetangga dan sesepuh kampung, Andi akhirnya datang menyambangi rumahku. Dengan setengah diseret ia dibawa masuk ke kamar anakku. Begitu melihat kondisi anakku, Andi tampak terkejut dan hanya berdiri mematung. Aku langsung berteriak memerintahkannya untuk berlutut di depan anakku.

Kasih, yang selama berbulan-bulan, bahkan nyaris setahun hanya tergolek lemas dengan mata yang kuyu, melihat kedatangan Andi tampak bereaksi. Matanya yang selama ini redup, tampak menampakkan sedikit binarnya.

"Kang...Kang Andi...?" katanya dengan suara yang sangat lirih.

Adegan yang terjadi kemudian adalah Andi menangis sambil memegang kedua tangan anakku, memohon maaf dan ampunan. Ia tak tahu apa yang telah diperbuatnya telah membuat anakku sangat sengsara dan merana. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa anakku sangat mencintainya dengan sepenuh hati. Ia beralasan kembali rujuk dengan istrinya demi menyelamatkan rumah tangganya dan demi anak yang dikandung istrinya. Menurutnya, ia pun sebenarnya tidak tega telah meninggalkan Kasih begitu saja, namun ia tidak memiliki pilihan lain.

Sebagai bentuk penebus kesalahan, Andi menyatakan bersedia menikahi Kasih dan akan mengganti biaya pengobatan yang selama ini kukeluarkan. Kedua tawaran itu kontan kutampik saat itu juga. Istriku yang ikut emosi melihat batang hidung Andi, berteriak-teriak tidak sudi menerima Andi sebagai menantunya.

Kukatakan bahwa aku tidak minta penggantian biaya ataupun mengharuskannya menikahi anakku. Yang kuinginkan adalah ia menyaksikan sendiri akibat perbuatannya yang telah menyengsarakan orang lain. Yang aku inginkan, ia ikut merasakan penderitaan anakku, menyesali perbuatannya, dan menyadari bahwa dirinya adalah lelaki bejat yang sama sekali tak berguna. Aku ingin dia menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran dan selalu bermimpi buruk karenanya.

Aku tidak tahu apakah saat itu keputusanku tepat atau tidak, tapi aku memang tidak melihat jalan lain sebagai alternatif untuk mengembalikan harga diri anakku yang telah dicabik-cabik dengan sewenang-wenang.

Yang pasti, keesokan harinya setelah kedatangan si Andi, kondisi Kasih semakin memburuk. Beberapa kali ia muntah namun tak ada yang bisa keluar karena perutnya memang tidak pernah terisi. Tubuhnya yang tinggal tulang sering kejang, sebelum kemudian ia kehilangan kesadaran.

Tak mau menunggu lama, aku segera memboyong Kasih ke rumah sakit. Aku yang sudah dalam taraf nyaris putus asa, berharap semoga Allah Yang Mahabijaksana memberikan jalan yang terbaik untuk anakku.

Setelah dua belas jam berada di ruang gawat darurat rumah sakit, Jumat dini hari, anakku Kasih akhirnya mengembuskan napasnya yang terakhir. Ia pergi dengan tenang dalam pelukanku dan ibunya. Ia meninggalkan kami seperti saat ia lahir, diiringi doa dan keridaan kami orangtuanya. Bagi kami, Kasih adalah anak yang salehah. Yang terbaik yang pernah dititipkan Allah SWT kepada kami. Kenangan bersamanya, saat sehat dan saat ia terbaring sakit, akan kami kenang abadi selamanya. Kami berdua menangis, namun seluruh jiwa kami dipenuhi keikhlasan.

Bakda zuhur, Kasih dimakamkan di pemakaman umum kampung kami. Tempat peristirahatannya berdampingan dengan neneknya. Kedua perempuan yang kucintai itu kini bersisian dalam keabadian. Sering terlintas dalam pikiranku, sungguh tidak selayaknya seorang bapak menguburkan buah hatinya. Seorang ayah semestinya mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan yang gilang gemilang. Namun kemudian kusadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah tercatat dalam Lauhul Mahfuz, sudah digariskan Yang Mahakuasa, sebagai takdir bagi makhluk-Nya. **

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP