Perjalanan Hidup Seorang Mantan Penari Ketuk Tilu (1)

Suamiku Meninggal di Atas Panggung
KISAH ini dialami oleh Mak Herta --nama asli di KTP tertulis Hertati (68)-- seorang mantan penari ketuk tilu. Ia pernah melanglangbuana ke seluruh pelosok negeri menjadi seorang pekerja seni. Nasib tragis menimpanya setalah suami pertama dan keduanya meninggalkannya. Kini wanita berdarah Belanda-Sunda itu hidup sendiri. Bagaimana kisah perjalanan hidupnya? D. Ruspiyandy mengisahkannya untuk Anda. Semoga bermanfaat.

MENURUT ibuku, aku dilahirkan sekitar tahun 40-an. Walaupun di KTP tertulis 1943, itu hanya kira-kira saja. Ayahku bertugas di gudang senjata milik Belanda. Ia diculik dan mungkin dibunuh pihak tentara Jepang di daerah Temanggung. Sampai saat ini pun aku tak tahu kuburnya. Kata ibu, ayahku orang Belanda. Anehnya aku tidak seperti orang Belanda, padahal kakak dan adikku justeru hidungnya mancung dan berwajah Indo. Aku asli seperti wanita Sunda. Mungkin gen ibuku yang asli Bogor lebih kuat melekat padaku.

Ayah dan ibu berjodoh di Bogor dan menikah di sana. Ayahku juga sempat bekerja di gudang senjata di kawasan Kiaracondong, Kota Bandung. Lalu setelah itu pindah ke Yogyakarta.

Aku punya kakak laki-laki yang bernama Alex. Usianya terpaut empat tahun denganku. Ia lahir di kawasan jalan Lengkong, Kota Bandung. Sedangkan adikku, Edi, umurnya beda dua tahun denganku. Ia lahir di Kota Gudeg.

Tatkala tentara Jepang masuk ke wilayah Yogyakarta, setelah ayah menghilang, Ibu hidup di pengungsian tanpa ada jaminan yang pasti dan pindah dari satu lokasi menuju lokasi lain. Hingga akhirnya ibu memutuskan untuk memeliharaku. Sementara kakakku dibawa oleh orang lain ke Temanggung dan adikku Edi dibawa oleh orang lain pula ke Parakan, sebuah daerah di Jawa Tengah.

Tidak berapa lama, ibu mendengar kabar bahwa adikku meninggal dunia karena sakit. Aku pun sedih mendengar berita itu. Kami tidak sempat melayat karena jarak yang jauh. Aku juga tak sempat bertemu dengan kakakku, Alex. Kalau harus aku mengatakan sampai aku menjadi nenek-nenek pun belum pernah bertemu dengannya. Aku hanya berharap, seandainya kami sama-sama panjang umur, semoga Tuhan mempertemukan kami sebelum meninggal.

Demi kelangsungan hidup sehari-hari, ibu yang selalu kupanggil mamih, bekerja menjadi buruh di toko pakaian di Temanggung. Saat aku menginjak usia sekolah, aku disekolahkan sampai kelas 6 di Sekolah Rakyat di kota itu. Karena kerinduan ibu terhadap saudara-saudaranya yang tinggal di Bogor, kira-kira tahun 1953 setelah aku menamatkan sekolah, kami bersilaturahmi dengan saudara ibu di Panaragan, Bogor. Setelah itu kami kembali ke Temanggung dan menjalani kehidupan seperti biasanya.

Sampai suatu hari, aku mendapatkan jodoh yang ternyata asli orang Bandung. Parman namanya. Kami bertemu saat menonton nonton ketuk tilu dari lingkung seni Pancawarna di Pekan Raya. Benih-benih cinta itu tumbuh. Selang dua minggu Kang Parman sengaja datang bermain ke desa-desa di Temanggung yang ternyata banyak pula orang Sunda yang tinggal di sana. Kang Parman diri mengungkapkan maksudnya untuk menikahiku. Tanpa banyak pertimbangan aku menerima lamarannya dan kami menikah saat usiaku 14 tahun. Acara pernikahan berlangsung sederhana saja. Itu sekitar tahun 1954.

Aku tak menyangka, setelah menikah dengannya sering pergi ke seluruh pelosok di tanah air. Dua hari setelah menikah, aku bersama rombongan ketuk tilu tersebut melanjutkan perjalanan seninya ke Yogyakarta pada acara pasar malam. Dari sana ke Madiun terus mengunjungi Solo.

Bahkan bersama suamiku aku berkeliling ke Makasar, ke Tanjungkarang, Tebingtinggi, Pangkalan Berandan, Tanjung Balai Karimun, Palembang, Jakarta, dan juga wilayah pulau Jawa. Bahkan di Medan kami menetap sampai tiga tahun. Bulan maduku pun habis di perjalanan. Namun biar begitu aku tidak mengeluh karena istri haruslah tetap taat pada suami. Bahkan karena tuntutan, tadinya aku yang hanya sebagai isteri biasa, lambat laun harus bisa menyesuaikan dengan keadaan lingkung seni itu. Akhirnya aku ikut terjun dan belajar ketuk tilu hanya dalam waktu dua minggu.

Terus terang aku hidup bahagia karena selamanya dilalui dengan menghibur orang-orang. Jadi dapat dipastikan kalau rumah tanggaku dengannya ibarat bekerja dalam lingkung seni saja. Setelah berumah tangga 7 tahun, aku diberi momongan seorang anak laki-laki, yang kami beri nama Heri.

Saat itulah suamiku meninggal. Aku benar-benar merasa kehilangan dirinya. Kalau orang Sunda mengatakan jiga disamber heulang. Kejadian itu tak pernah kusangka sebelumnya. Suatu pagi, suamiku mengikuti konkur atau adu tari di Hotel Preanger, Kota Bandung. O, ya, setelah tujuh tahun berkelana akhirnya aku menempati rumah di daerah Sukapakir, Taman Senang, Kota Bandung. Ketika adu tari Kang Parman mampu mengalahkan penari asal Kabupaten Subang.

Hari Minggunya, suamiku diundang untuk bernnyanyi di pentas Wayang Golek di daerah Tegallega. Saat itu ada yang meminta untuk dinyanyikan "Tilil Kombinasi", "Panon Hideung", dan "Nagin". Dua lagi telah didendangkannya dan tinggal menyanyikan lagu "Nagin". Saat masih memegang mike, suamiku tiba-tiba batuk-batuk dan langsung tersungkur. Ternyata saat rekan-rekannya mencoba menolongnya, suamiku langsung meninggal. Itu terjadi tahun 1963.

Aku menduga itu perbuatan orang yang iri pada keberadaan suamiku dengan mengirimkan santet kepadanya. Jenazah suamiku dimakamkan di daerah Kiaracondong. Selama tiga tahun kemudian aku hidup menyendiri. Aku tetap mejalani profesi sebagai penari ketuk tilu bahkan setahun sekali, setiap Ramadan, aku tampil di lapang Sriwedari Solo. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP