Perjalanan Hidup Seorang Mantan Penari Ketuk Tilu (2)

Aku Kembali Kehilangan Orang-orang Tercinta
Sebelumnya diceritakan Hertati menikah dalam usia muda dengan seorang penari ketuk tilu. Mereka berjumpa dalam sebuah pergeralaran seni. Setelah menikah, Hertati ikut bersama suaminya pentas keliling Indonesia. Rumah tangga mereka pun bahagia terutama setelah kehadiran sang anak. Sayangnya, di saat berbahagia, sang suami meninggal secara mendadak di atas panggung. Bagaimana nasib Hertati? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis oleh D. Ruspiyandy. Semoga bermanfaat.

KARENA aku hidup dalam bidang seni, setelah ditinggal suamiku tercinta aku berjodoh lagi dengan pekerja seni. Kang Anda namanya. Pertemuan kami terjadi saat aku pentas di Pekan Raya di daerah Tegal, Jawa Tengah. Tetapi terus terang, saat itu sesungguhnya kiriman santet selalu datang kepadaku. Hanya kata orang yang tahu, aku dikirim santet memang tidak akan mati tetapi tentu penyakit akan terus diderita dan akan kena kepada pendamping hidup.

Aku menikah dengan Kang Anda pemilik lingkung seni Pancawarna, tahun 1967. Kang Anda seorang duda yang dtinggal mati oleh isterinya. Saat awal berumah tangga aku terus terusan diserang penyakit fisik dan penyakit aneh. Ada biji lada dan jarum keluar dari telingaku. Untuk menyembuhkannya terpaksa kujual gamelan yang ada bahkan sampai akhirnya rumah yang kutempati pun dijual pula untuk pengobatan.

Karena aku sibuk menjadi penari ketuk tilu dan aku sering sakit-sakitan, Heri, anakku titipkan di kakak iparku, Nani Yunengsih, yang juga terjun di dunia seni. Anakku disekolahkan di daerah Cibuntu, Kota Bandung.

Tahun 1979, ketika rumah tanggaku menginjak usia 12 tahun peristiwa menyakitkan kembali terjadi. Kang Anda yang baru saja pulang melatih dari Gedung Merdeka tiba-tiba saja mengeluhkan rasa pusing yang begitu hebat. Malamnya ia muntah darah. Esoknya, tak pernah kusangka sebelumnya, Kang Anda menghembuskan napas terakhirnya dalam pangkuanku.

Menurut orang yang mengerti, penyebab kematian suamiku adalah santet kiriman orang lain. Aku percaya tidak percaya. Dibilang tidak percaya, aku melihat dengan mayat kepala sendiri suamiku muntah darah kemudian meninggal. Disebut percaya, sebetulnya aku masih ragau apakah betul ada penyakit semacam itu?

Aku jadi ingat ucapan salah seorang yang mengerti urusan santet bahwa aku akan terus-terusan diserang, Tapi aku punya daya tahan yang luar biasa sehingga, katanya, akan berimbas pada suami. Aku hanya bisa pasrah menerima semua itu.

Dari Kang Anda aku tak dikaruniai seorang anak pun. Rupanya setelah kematian suamiku, hal-hal yang berbau santet tak berhenti sampai di sana. Hal itu pun ternyata menyerang diriku. Untuk menyembuhkan penyakit itu, apa yang kumiliki akhirnya kujual satu persatu. Terakhir kujual rumahku tahun 1986. Aku tak pernah meyesalinya yang terpenting aku bisa mengurus anakku sampai dewasa kelak. Biarpun nantinya kelak aku tidak main ketuk tilu lagi. Pokoknya aku akan membiayai anakku dengan usaha yang lain saja.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak main ketuk tilu lagi. Aku sudah mengatakan cadu (pantang) bermain ketuk tilu lagi. Bukan tabu karena seninya, karena aku sangat mencintai seni, melainkan karena peristiwa di balik semua itu. Karena aku menggeluti ketuk tilu, dua suamiku meninggal. Aku menjadi trauma. Tetapi sesekali aku diminta kaul, misalnya dalam pesta pernikahan. Sedangkan untuk pentas khusus ketuk tilu, aku tetap menolaknya.

Setelah tidak menjadi penari, aku bekerja serabutan. Dari mulai menjadi buruh sampai berjualan. Aku sementara menumpang hidup di saudara iparku didaerah Cibuntu. Tetapi karena saudaraku sakit-sakitan, kuputuskan untuk hidup mandiri dengan cara mengontrak rumah petak.

Tanpa kusengaja aku bertemu dengan teman-teman sewaktu di lingkung seni yang mengajakku untuk tinggal di rumahnya di daerah Padalarang. Temanku itu berprofesi sebagai pembuat gamelan dan aku di sana ditugaskan untuk memasak. Atas kebaikan temanku, aku disarankan untuk berjualan nasi kuning dengan modal darinya. Alhamdulillah berjalan hingga selama 4 tahun. Aku setuju dan aku jalankan usaha itu perlahan tapi pasti. Walaupun temanku itu sudah tiada, tetapi saat ini anak-anaknya selau ingat dan selalu menanyakan keadaanku. Bahkan selalu mengunjungiku.

Sebelum ke Padalarang itulah aku sempat menikahkan Heri dengan Suryati wanita asal Dungus Cariang, Kota Bandung. Sayang usia anakku setelah menikah tak begitu lama. Tahun 1990 aku menerima kabar bahwa anakku sakit.

Kutengok dia, seluruh badannya bengkak-bengkak. Beberapa minggu aku tinggal bersamanya. Namun setelah kuanggap penyakitnya tidak terlalu berat, aku kembali ke Padalarang dan berjualan. Sepekan kemudian aku mendapat kabar bahwa anak meninggal dunia. Betapa sedihnya aku saat itu karena peristiwa itu merupakan peristiwa ketiga aku kehilangan orang-orang yang aku cintai. Kalau tahu dia akan meninggal, mungkin aku tidak akan meninggalkannya saat sakit. Aku tak tahan menahan tangis saat melihat jenazah anakku saat dimasukkan ke liang lahat di TPU Sirnaraga, Kota Bandung. Langit Bandung terus disaput mendung. Aku meninggalkan Sirnaraga dengan langkah gontai. Wajah anakku masih menggelayut di kelopak mataku. "Ya Allah, ampunillah dosa-dosanya, sayangi dia, dan terimalah ia di sisi-Mu karena Engkau sebaik-baiknya tempat kembali," aku berdoa dalam hati. (bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP