Perjalanan Hidup Seorang Mantan Penari Ketuk Tilu (3-Habis)

Tiba-tiba Aku Tak Dapat Melihat
SEBELUMNYA diceritakan Hertati telah dua kali menikah tetapi kedua suaminya meninggal saat mereka sedang menikmati kebahagiaan. Ada yang bilang suaminya meninggal karena disantet. Hertati memutuskan untuk berhenti bermain Ketuk Tilu karena tidak ingin dimusuhi orang. Ia lalu menjual harta kekayaaannya, termasuk rumahnya, untuk mengobati penyakit batinnya. Bagaimana nasib Hertati selanjutnya? Inilah akhir kisahnya yang ditulis D. Ruspiyandy. Semoga bermanfaat.

SETELAH anakku meninggal, semua cintaku kucurahkan kepada kedua cucuku. Kutinggalkan usaha jualan nasi kuning di Padalarang, aku ingin fokus kepada cucu-cucuku yang juga sering sakit-sakitan. Aku hidup dengan kedua cucuku dan mantan menantuku. Dua tahun kemudian mantan menantuku menikah lagi. Aku begitu senang dan bahagia karena beban mantan menantuku dan bebanku bisa berkurang dengan kehadiran laki-laki pilihannya.

Tetapi dugaanku meleset. Rupanya lelaki yang menikahi mantan menantuku adalah seorang pengangguran yang selalu mengandalkan uang dari isterinya yang bekerja serabutan. Beban kami bukan berkurang, melainkan bertambah satu. Aku sering memberikan uang untuk kebutuhan sehari-hari karena aku bekerja di pabrik plastik dan kemudian berpindah ke pabrik limun.

Rupanya kehadiranku membuat suami mantan menantuku gerah. Ia benci kepadaku karena aku selalu menasihatinya bahwa suami itu adalah kepala keluarga dan bertanggung jawab mencari nafkah. Rupanya kata-kataku menyinggung perasaannya dan ia selalu berupaya membuat masalah agar aku tidak betah di sana. Karena terus menerus sering dibikin masalah, akhirnya mengontrak rumah sendiri. Biar pun tempatnya kurang layak tetapi bagiku lebih senang tinggal sendirian dari pada tiap harus selalu direcoki oleh orang yang membenciku. Aku keluar dari rumah itu tahun 2008.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mau bekerja apa saja asal halal dan menghasilkan uang. Aku jadi buruh cuci, tukang urut, bahkan menjadi pembantu. Pokoknya semua kulakukan untuk kehidupanku dan juga cucuku yang sesekali nengok ke tempat tinggalku. Aku pernah belajar mengurut pada saat masih main di bidang seni. Aku pun selalu melakukan ziarah. Dari sana aku bertemu dengan guru yang bisa mengajariku cara mengurut yang baik. Setelah kupraktekkan, alhamdulillah bisa menghasilkan uang.

Aku mengontrak di sebuah rumah di kawasan RW 05 Dungus Cariang, Kota Bandung. Di sana terus terang aku berjuang sendiri karena kalau mengandalkan orang lain tentu tidak akan mungkin menjamin kehidupanku. Apa pun yang terjadi aku harus bisa mempertahankan sisa hidupku ini. Aku mencoba berjualan susu tepung yang kukemas sendiri. Tahun 2008 aku berjualan di SD YWKA, Jln. Dadali, Kota Bandung tetapi karena sakit aku berhenti. Dari situ aku berjualan di SD Garuda, SD Karang Mulya, dan SD BPMD Taruna. Aku meminjam modal dari rentenir dengan bunga yang sangat tinggi.

Februari 2010 aku mengalamai musibah. Penglihatanku tiba-tiba berubah menjadi remang-remang. Aku berpikir mungkin karena usiaku sudah tua maka penglihatanku jadi seperti ini. Namun lama-lama aku tidak dapat melihat sama sekali. Dunia yang tadinya terang berubah menjadi gelap. Aku tidak bisa ke mana-mana. Usahaku terputus, kecuali memijat. Untuk makan sehari-hari mengandalkan pemberian dari tetanggaku.

Karena kebaikan Udin

Biar begitu, aku tetap yakin aku bisa melihat lagi. Setiap hari aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkan mataku dan mengembalikan penglihatanku. Aku begitu yakin akan ada orang yang menolongku. Entah dari mana caranya aku sendiri tak mengetahuinya. Terus terang keadaan gelap itu berjalan hampir 3 bulan lamanya.

Suatu saat aku teringat cerita orang-orang tentang Udin, yang sering membantu orang. Karena itulah aku meminta bantuan tetanggaku, Mamah Ojat, untuk menemuinya. Padahal aku sendiri tidak tahu siapa Udin. Kepada Mamah Ojat kutitipkan KTP, KK, dan Kartu Jamkesmas. Ternyata usahaku itu tidak sia-sia.

Satu hari setelah itu, Udin menemuiku dan menanyakan maksudnya. Menurutnya mengalami penyakit katarak. Udin membawaku ke Puskesmas Garuda kemudian di rujuk ke RS. Cicendo. Aku dioperasi. Aku begitu bersemangat agar bisa dioperasi padahal aku sendiri tak memiliki uang. Akhirnya aku tahu Udin dan temannya berbicara dengan RT di tempat tinggalku dan ia mengumpulkan uang dari warga. Setelah itu Udin pun mencari tambahan ke Dompet Dhuafa dan meminjam kepada beberapa orang temannya untuk membantu operasiku. Menurutku Udin adalah manusia yang mulia walaupun sebenarnya ia memiliki anak yang lumpuh.

Operasi mata pertama berlangsung tiga hari untuk mata sebelah kanan dan pada Juni 2010 yang sebelah kiri. Masing-masing operasi aku menginap di RS Mata itu selama tiga hari. Aku kembali bisa melihat secara normal setelah kontrol beberapa kali. Aku merasa bahagia karena bisa melihat lagi. Tetapi itu bukan akhir dari segalanya. Waktu terus berjalan dan aku harus tetap melewati hari-hariku. Aku terus berjualan susu tepung itu ke SD yang biasa kutempati. Hal itu kulakukan karena aku harus makan, bisa ngontrak rumah dan mencicil uang dari rentenir.

Aku hanya berharap bisa mengumpulkan sejumlah uang untuk bisa membeli lahan makam saja. Aku ingin meninggal tanpa menyulitkan orang lain, setidaknya, aku punya makam sendiri. Aku tak bisa mengandalkan kedua cucuku karena mereka hidup pas-pasan. Biarlah aku berjuang sendiri. Biar usiaku telah senja, tetapi aku yakin Allah akan member rejeki kepadaku. Aku selalu yakin, suatu saat Allah akan mengubah hidupku. Allah pasti mengabulkan doaku. **

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP