Ketika Orang-orang Tercinta Pergi (1)

Aku Bermimpi, Rumahku Terkena Banjir
KISAH ini dialami Mimi (65), warga Batununggal, Kota Bandung. Musibah menimpanya berkali-kali. Peribahasa mengatakan, sudah jatuh tertimpa tangga. Belum lipur lara pertama, duka berikutnya mendera lagi. Dia harus merelakan anak laki-laki satu-satunya pergi untuk selamanya karena tenggelam saat bermain. Beberapa waktu kemudian cucunya mengalami musibah. Meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Bagaimana kisah pedih yang dialaminya? Berikut penuturannya yang ditulis kembali oleh Kuswari.

BETAPA bahagianya aku ketika anak yang kelima lahir adalah anak laki-laki yang selama ini sangat didambakan. Kulitnya putih, matanya bulat, hidungnya mancung, dan rambutnya ikal. Namun yang membuat aku bangga adalah kecerdasan otaknya yang tidak jauh berbeda dengan kakak sulungnya. Tidak hanya itu, anak yang kemudian kuberi nama Andri ini pun sangat rajin membantu pekerjaan di rumah. Meski aku melarangnya, dia tak peduli. Anak bungsuku ini lebih mandiri dari kakak-kakaknya yang perempuan. Pulang sekolah, segalanya dikerjakan sendiri. Bahkan makan pun mengambil sendiri.

Terus terang saja, aku sagat memanjakannya. Bukan berarti aku tidak menyayangi kakak-kakaknya atau menganakemaskannya. Kendati demiian, dia tidak manja. Tidak pernah berbuat macam-macam. Bahkan aku melihatnya memiliki kelebihan dan mempunyai bakat kepemimpinan. Hal itu terlihat saat bermain dengan teman-temannya, dia selalu tampil sebagai pemimpin. Dia kerap mengatur anak-anak tetangga, sehingga dia dikenal sebagai anak yang suka bergaul.

"Kalau bermain dengan teman jangan sombong dan jangan ingin menang sendiri," kataku suatu ketika mengingatkannya. Dia mengangguk. Ia memang penurut.

Senin siang, sepulang dari sekolah dia makan dengan sayur dan daging ayam kesukaannya. Belum juga selesai makannya, teman-temannya memanggil. Setelah kulihat melalui jendela ternyata teman satu sekolah yang tempat tinggalnya tidak jauh dengan rumah.

"Mau main ke mana?" tanyaku saat anakku meminta uang jajan.

"Main di lapang sepak bola..." katanya.

"Jangan main jauh-jauh ya!" kataku seraya memberikan uang jajan. Beberapa kali aku menatap wajahnya, mendadak ada perasaan khawatir. Entahlah. Bahkan tadi malam aku bermimpi buruk. Rumahku kebanjiran, sampai-sampai kami harus menyingkir agar terhindar dari banjir. Tetapi banjir itu tidak pernah berhenti dan kulihat Andri berteriak-teriak meminta tolong, namun tidak ada seorang pun yang menolongnya. Aku sempat terbangun kaget saat anakku semakin menjauh dan terbawa arus banjir.

"Ibu kenapa?" tanya suamiku malam tu. Mungkin ia kaget mendengar teriakanku. Ia memegang bahuku dan menanyakan apa yang telah terjadi.

"Aku bermmpi buruk, Pak! Andri terbawa arus banjir!"

"Ibu cuma mimpi. Sudah, jangan terlalu dipikirkan itu hanya mimpi."

Aku menarik napas dalam-dalam, semua seperti nyata. "Ya Allah, jangan timpakan kepada kami musibah yang berat," jeritku dalam hati.

Mimpi itu seakan kembali menari-nari dalam benakku, terlebih ketika pagi-pagi akan berangkat sekolah, Andri mencium tanganku lama sekali. Namun aku diam saja.

"Bu, doakan Andri, ya!" katanya sesaat sebelum meninggalkan rumah. Sampai dia menghilang mataku tak lepas menatapnya.

Ada perasaan tidak enak hari itu yang membuat aku tidak begitu bergairah. Selain semalam terganggu mimpi buruk sehingga hampir dua jam aku sulit tidur, ditambah sejak beberapa hari yang lalu kondisiku agak kurang enak.

Sepanjang pagi aku tidak terlalu banyak kegiatan, kecuali hanya berbaring di kursi panjang. Anak-anak sudah pergi sekolah, suami pun sudah berangkat. Di rumah aku hanya dengan pembantu yang setiap hari ikut membantu pekerjaanku di rumah.

"Bu, dua hari yang lalu aku bermimpi rumah ini kebanjiran." Tiba-tiba Ma Eneh berkata begitu.

Tentu saja aku kaget.

"Aneh! Tadi malam juga aku bermimpi yang sama," jawabku. "Mudah-mudahan tidak ada kejadian yang tidak kita inginkan.

Sejak mimpi itu aku selalu teringat Andri. Ah, semoga tidak ada apa-apa yang menimpanya. Semoga Allah melindunginya.

"Kemarin juga Andri memberi uang kepada bibi seribu rupiah untuk membeli makanan kesukaan bibi, padahal tidak seperti biasanya dia begitu," kata Ma Eneh lagi.

Aku tidak berkata sepatah kata pun, selain menarik napas panjang, seakan ingin menjauhkan segala mimpi yang tadi kualami. Ada kekhawatiran yang berkecamuk dalam dadaku dan itu terjadi sampai detik ini.

Untuk menghilangkan lelah dan tidak enak badan, aku minum obat dari warung. Setelah itu aku berbaring di kursi panjang. Tidak lama aku merasakan kantuk yang luar biasa. Aku pun tertidur di kursi.
(bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP