Ketika Orang-orang Tercinta Pergi (2)

Dia Pergi dengan Sesungging Senyum
SEBELUMNYA diceritakan, Ibu Mimi bermimpi rumahnya terendam banjir. Dalam mimpinya, si bungsu, Andri hanyut bersama banjir. Sejak saat itu Ibu Mimi merasa sangat khawatir pada Andri, apalagi pembantunya mengaku bermimpi yang sama. Apakah mimpi itu firasat buruk atau hanya sekadar bunga tidur? Inilah lanjutan kisahnya yang ditulis Kuswari.
ENTAH berapa lama aku tertidur di kursi panjang. Aku terbangun saat mendengar suara ribut anak-anak bermain di halaman rumah. "Ada apa, sih? Kok berisik banget?" Aku bicara sendiri sambil menggosok-gosok mata.

Teriakan itu masih menggaung. "Buuu! Andri tenggelam!" Kudengar salah seorang di antara mereka berteriak keras.


Bagai disambar petir di siang bolong, aku meloncat dari kursi. Kucubit kulitku, ternyata bukan sedang bermimpi. Teriakan itu memang berasal dari luar, dari teman-teman bermain Andri.

"Buuu, Andri tenggelam!" kembali teman-teman Andri berteriak.

Secepat kilat aku berlari ke luar, "Ada apa? Andi kenapa?" tanyaku.

"Ia tenggelam, terbawa arus sungai, Bu!" jelas salah seorang di antara mereka.

Darahku tiba-tiba naik ke kepala, jantungku berdebar kencang. Dunia seakan bergerak terbalik, tubuhku terasa dingin. Penglihatanku jadi gelap. Bruk, aku jatuh. Tidak ingat apa-apa. Aku baru sadar ketika kurasakan ada tetesan air dingin di dahiku. Aku juga menghirup minyak kanyu putih. Samar-samar kudengar orang-orang berbisik.

"Maaa," kudengar seseorang memanggilku. Pelan namun cukup jelas di telingaku, aku tahu persis suara itu suara si sulung.

Kubuka mataku perlahan-lahan, ribuan sinar masuk ke kelopak mataku. Silau. Kututupi mataku dengan telapak tangan. Selintas kulihat banyak orang di sekelilingku. Anak-anakku mengerubungiku.

"Alhamdulillah, sudah siuman," kudengar orang mengucap syukur yang pasti ditujukan kepadaku.

Wajah Andri tiba-tiba saja berkelebat. Jantungku kembali bedebar, darahku bergolak. Keringat dingin mengucur seluruh tubuhku, tubuhku terasa lemas sekali.

"Andri, anakku. Kau ke kenapa, sayang?" ucapku.

Hatiku terasa sakit sekali. Aku menangis, aku kecewa kehilangan anak laki-laki satu-satunya.

Ya, Allah, kenapa Engkau begitu cepat memanggilnya? Ia anak yang sangat cerdas, saleh, penurut, dan tidak pernah membuatku jengkel. Ia juga sangat ramah dan sopan pada semua orang. Masih terbayang dalam benakku, ketika ia makan begitu lahap sepulang sekolah. Masih terlihat jelas ketika ia buru-buru menyudahi makannya saat kawan-kawannya memanggilnya untuk bermain. Aku masih merasakan lembut tangannya saat berpamitan bermain. Senyuman khas dan tatap matanya yang bening masih berkubang di pikiranku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Kupanggil terus namanya. Aku menyesal sekali kenapa kuizinkan ia pergi bermain. Padahal aku sudah mempunyai firasat buruk. Mimpi itu kini menjadi kenyataan, Andri betul-betul hilang ditelan arus air sungai. Aku bersalah, mengapa tak mendengar kata hatiku. Kenapa tidak mendengar firasat buruk itu. Seandainya aku melarangnya pergi, mungkin ia masih ada di sini bersamaku, bersama kakak-kakaknya.

"Sudahlah, kita harus bersabar," kata suamiku sambil mengusap kepalaku.

Kudengar suaranya sangat berat. Kurasakan ada sebuah penyesalan dalam nada suaranya. Aku menangis kembali. Kupengani tangan suamiku. Aku betul-betul menyesal dan merasa bersalah.

"Aku tidak bisa menjaganya, Pa. Maafkan aku!" kataku.

"Sudah, sudah! Ikhlaskan saja. Allah menghendaki dia pergi lebih dulu. Ini adalah kebaikan dari Allah. Tidak perlu disesali," katanya lagi.

"Bagaimana keadaan anak kita, Pak? Di mana dia?" tanyaku.

"Sabar. Sebentar lagi dia datang," jawab suamiku.

Aku tidak tahu suamiku juga baru datang dari tempat kerja. Baru saja suamiku menjawab. Serombongan orang dipimpin Pa RT datang. Kulihat mereka menggendong jasad anakku. Aku menjerit. Kurangkul tubuh anakku yang basah kuyup dan kaku. Perutnya kembung. Pipinya membiru.

"Andriii!" aku berteriak.

Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi. Suara orang membaca Yasin membangunkanku. Kulihat suami dan keempat anakku mengelilingiku. Kudengar dia mengucap hamdallah ketika aku sadar kembali. Kulihat mata mereka merah dan bengkak. Mereka pun pasti menangisi Andri. Mereka pun pasti sangat kehilangan karena Andri anak yang sangat baik.

Jiwaku kembali terguncang hebat ketika jasad Andri digendong oleh ayahnya masuk ke dalam "pasaran" (keranda) usai dikafani dan disalati. Beberapa saat kemudian Andri pergi bersama puluhan orang tetangga ke pemakaman. Aku sebenarnya ingin sekali mengikutinya, tetapi suamiku dan beberapa orang tetangga melarangku. Aku bersama anakku menunggu di rumah. Aku minta anakku mengambilkan air untuk berwudu. Kubaca Yasin dengan terbata-bata lalu kupanjatklan doa untuk Andri.

"Allahumagfir lahuu war hamhu wa' aafihii wa'fu anhu, wa wasi'madkhalahuu wa akrim nuzulahuu, birahmatika ya arhamar raahiimin.. Ya Allah, ampini dia, sayangi dia, maafkan kesalahannya, luaskan tempat masuknya, dan muliakanlah tempat kembalinya. Kuusap wajahku. Terbayang wajah dan senyumnya. Selamat jalan, sayang!
(bersambung)**

0 comments:

History is the discovery, collection, organization, and presentation of information about past events.

  © Blogger template Fishing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP